Status Waria
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia ini dalam dua jenis saja yaitu laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah swt :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى
“ Dan Dia ( Allah ) menciptakan dua pasang dari dua jenis laki-laki dan perempuan “ ( Qs An Najm : 45 )
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
“ Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan “ ( Qs Al Hujurat: 13)
Kedua ayat di atas, dan ayat-ayat lainnya
menunjukkan bahwa manusia di dunia ini hanya terdiri dari dua jenis
saja, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada jenis lainnya.
Tetapi di dalam kenyataannya, kita dapatkan seseorang tidak mempunyai
status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Bagaimana Islam
memandang orang tersebut ? Bagaimana cara memperlakukannya ? Apakah dia
mendapatkan jatah warisan ? Dan bagaimana pernikahannya ? dan seabrek
pertanyaan-pertanyaan lain yang timbul akibat status yang tidak jelas
tersebut.
Antara Khuntsa dan Waria
Al Khuntsa, dari kata khanitsa yang secara bahasa berarti : lemah dan lembut. Maka dikatakan : Khannatsa Ar Rajulu Kalamahu, yaitu : laki-laki yang cara bicaranya seperti perempuan, yaitu lembut dan halus. ( al Fayumi, al-Misbah al Munir - Kairo, Daar al Hadist, 2003,- hlm : 112 )
al-Khuntsa secara istilah adalah : seseorang yang mempunyai
dua kelamin ; kelamin laki-laki dan kelamin perempuan, atau orang yang
tidak mempunyai salah satu dari dua alat vital tersebut, tetapi ada
lubang untuk keluar air kencing. ( al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 , Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al Islami wa Adilatuhu: 8 / 426 )
Adapun Waria atau dalam bahasa Arabnya disebut al Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan dalam kelembutan, cara bicara, melihat, dan gerakannya. Dalam kamus Wikipedia disebutkan
bahwa Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau Wadam (dari hawa-adam)
adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam
kehidupannya sehari-hari.
Waria ini terbagi menjadi dua :
Pertama : orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut
sejak dilahirkan, maka tidak ada dosa baginya, karena sifat-sifat
tersebut bukan atas kehendaknya, tetapi dia harus berusaha untuk
menyesuaikan diri.
Kedua : orang yang sebenarnya laki-laki, tetapi
sengaja menyerupai sifat-sifat wanita. Orang seperti ini termasuk dalam
katagori yang dilaknat oleh Allah swt dan Rasulullah saw di dalam
beberapa hadistnya.
Dari keterangan di atas, bisa dinyatakan bahwa waria bukanlah
khuntsa. Karena waria statusnya sudah jelas, yaitu laki-laki, sedang
khuntsa statusnya masih belum jelas.
Perbedaan antara istilah khuntsa dan waria seperti yang diterangkan
di atas sangat membantu bagi kita untuk membahas hukum-hukum yang
menyangkut keduanya.
Cara menetapkan Status Khuntsa
Sudah dijelaskan di atas, bahwa waria itu statusnya adalah laki-laki,
maka di di sini hanya diterangkan tata cara menetapkan status khuntsa.
Namun sebelumnya, perlu disebutkan bahwa khuntsa ada dua macam :
1. Khuntsa Ghoiru Musykil ( khuntsa yang mudah ditentukan statusnya )
2. Khuntsa Musykil ( khuntsa yang sulit ditentukan statusnya )
Pertama : Khuntsa Ghoiru Musykil
Untuk menetapkan Khuntsa Ghoru Musykil, para ulama telah
menjelaskan cara-caranya, walaupun hal itu belum menjadi kesepakatan
ulama, paling tidak bisa menjadi pedoman awal di dalam menentukan status
seorang khuntsa, diantara cara-cara tersebut adalah :
1. Melihat cara keluar air kencingnya.
Bila air kencingnya keluar lewat penis berarti waria tersebut
dihukumi sebagi laki-laki, sebaliknya jika air kencingnya keluar dari
vagina, maka dia dihukumi sebagai perempuan. Bagaimana jika air
kencingnya keluar dari keduanya ? Bila air kencing tersebut keluar dari
kedua alatnya, maka ditentukan dengan yang terlebih dahulu keluar, jika
yang keluar terlebih dahulu dari penis, maka dihukumi laki-laki, begitu
juga sebaliknya. Jika keluar air kencingnya bersamaan, maka dilihat mana
yang lebih lama keluarnya. Jika keluar dari kedua alat kelamin secara
bersamaan dan selesainya juga secara bersamaan, maka khuntsa tersebut
dihukumi khuntsa musykil.
2. Melihat cara keluarnya sperma atau air mani.
Bila sperma khuntsa keluar dari alat kelamin lelaki berarti status
hukumnya lelaki dan bila keluar dari vagina berarti statusnya perempuan.
Jika keluarnya berubah-ubah kadang dari alat kelamin laki-laki dan
kadang-kadang dari alat kelamin perempuan, maka dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.
3. Keluarnya darah haidh.
Bila seorang khuntsa mengeluarkan darah haidh dari kemaluannya, maka
dikatagorikan perempuan, karena laki-laki tidak akan keluar darah haidh
dari kemaluanya. Jika ia mengeluarkan darah haidh dari vagina, tetapi
dia mengeluarkan kencing dari alat kelamin laki-laki, maka dalam hal ini
dikatagorikan sebagai khuntsa musykil.
4. Kehamilan dan melahirkan.
Bila seorang khuntsa hamil dan melahirkan, maka dihukumi sebagai perempuan.
5. Pertumbuhan organ tubuh.
Bila waria tersebut ia berkumis atau berjenggot, serta mempunyai
kecenderungan untuk mendekati perempuan dan mempunyai raca cinta kepada
mereka, maka waria tersebut dihukumi sebagai laki-laki. Sebaliknya jika
payudaranya tumbuh dan montok, dan mempunyai kecenderungan dan rasa
cinta kepada laki-laki, maka dia ditetapkan sebagai perempuan. (Ibnu al Hammam, Fathu al Qadir : 10/515-516, al Mawardi, al Hawi al Kabir : 8/ 168 )
Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa Islam pada dasarnya
tidak membiarkan seorang khuntsa begitu saja tanpa status, sehingga
diambil langkah-langkah untuk menentukan jenis kelaminnya melalui
cara-cara di atas. Jika para ulama dan ahli sudah menentukan seorang
khuntsa, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempaun, maka status
tersebut berlaku baginya untuk mendapatkan hak-haknya, sekaligus dia
mempunyai kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana orang
laki-laki atau perempuan yang lainnya.
Kedua : Khuntsa Musykil
Khuntsa Musykil ( khuntsa yang sulit ditentukan statusnya ),
yaitu seseorang yang ditaqdirkan Allah mempunyai memiliki fisik yang
mendua atau memiliki dua jenis alat kelamin ; laki-laki dan perempuan,
dan kedua-duanya sama-sama dominan, tidak bisa dibedakan lagi mana yang
lebih berpengaruh terhadap kepribadiannya.
Untuk Khuntsa Musykil seperti ini, para ulamapun masih berbeda
pendapat akan statusnya, tertutama di dalam menentukan jatah warisan,
cara menikah dan lain sebagainya.
Dicopy Dari Situs Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Jakarta, 22 Muharram 1431/ 8 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar