Sumber-Sumber Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh bersumber dari  5  ilmu  :
1/ Ilmu Ushuludin , yaitu 
ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqh  bersumber 
dari ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqh 
adalah dalil yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah , dan 
keduanya diturunkan oleh Allah swt.  Kalau tidak ada keyakinan seperti 
ini ,  niscaya ilmu ushul fiqh ini tidak akan pernah muncul ke 
permukaan, karena salah satu tujuan ilmu ini adalah meletakkan 
kaidah-kaidah di dalam  proses pengambilan hukum dari kedua sumber tadi.
2/  Ilmu Bahasa Arab, yaitu 
ilmu-ilmu yang membahas tentang Bahasa Arab dengan segala cabangnya. 
 Ilmu Ushul Fiqh  bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini 
mempelajari teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang 
keduanya menggunakan bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai 
hubungan yang paling erat dengan ilmu ushul fiqh, karena mayoritas 
kajiannya  adalah berkisar tentang metodologi penggunaan dalil-dalil  
syar’I, baik yang bersifat al-lafdhi ( tekstual ) maupun yang bersifat 
al ma’nawi ( substansial ) – sebagaimana yang pernah diterangkan -  
yang
 pada hakekatnya adalah pembahasan tentang  bahasa Arab.
3, 4, 5/ Ilmu Al Qur’an , dan 
Hadist, serta Fiqh, karena pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini tidak bisa 
dilepaskan dari tiga cabang ilmu tersebut.
Perbedaan antara Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Qawa’d Fiqhiyah
Sebagian orang menyangka bahwa
 Ilmu Ushul Fiqh identik dengan Ilmu Qawa’id Fiqhiyah, karena 
kedua-duanya membahas tentang kaidah-kaidah di dalam fiqh. Namun 
anggapan tersebut tidaklah tepat, karena keduanya mempunyai perbedaan 
yang sangat menyolok.  Diantara perbedaan itu adalah sebagai berikut :
1/ Ilmu Ushul Fiqh membahas 
tentang kaidah-kaidah yang akan dijadikan sandaran di dalam pengambilan 
suatu hukum . Sedang Ilmu Qawa’id Fiqhiyah membahas tentang 
kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai permasalahan 
fiqh yang berserakan., Masalah-masalah fiqh yang mempunyai persamaan 
dalam hukum dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah. 
Walhasil, kaidah-kaidah tersebut mempunyai cabang-cabang yang sangat  
banyak.
2/  Ilmu Ushul Fiqh membahas dalil-dalil fiqh secara umum, seperti :
الأصل في الأمر للوجوب  ،  الأصل في النهي للتحريم
sedang Ilmu Qawa’id Fiqhiyah membahas hukum-hukum fiqh secara umum, seperti :
الأمور بمقاصدها ، المشقة تجلب التيسير ، الضرر يزال ، العادة محكمة .
3/ Yang menjadi obyek Ushul Fiqh adalah dalil dan hukum, sedang obyek Ilmu Qowa’id Fiqhiyah adalah  perbuatan mukallaf .
4/ Kaedah yang ada di dalam 
Ushul Fiqh berlaku bagi seluruh masalah yang berada di dalamnya, sedang 
kaedah yang terdapat Qawaid Fiqhiyah hanya berlaku bagi sebagian besar 
masalah yang berada di dalamnya.
5/ Ushul Fiqh berada terlebih dahulu sebelum adanya hukum, sedang Qawa’id Fiqhiyah berada setelah terwujudnya hukum.
HUKUM-HUKUM SYARE’AH
Karena  ushul fiqh adalah  
sarana untuk untuk menyimpulkan hukum syare’ah dalam suatu masalah, maka
 terlebih dahulu kita  membahas tentang hukum-hukum syare’ah ; 
pengertian hukum, peletak hukum ini, yang menjadi obyek hukum, dan  
masalah-masalah yang di dalam hukum ini.
Pengertian Hukum :
Hukum  Syar’I  adalah : 
pesan-pesan Allah yang  berhubungan dengan  perbuatan mukallaf, baik 
yang bersifat tuntutan, atau pilihan atau apa yang djadikan oleh 
syara’sebagai tanda atas syah atau tidaknya suatu pebuatan
( Pesan-pesan Allah )
adalah firman-firman Allah 
yang ada di dalam Al Qur’an,  Termasuk pesan-pesan Allah adalah apa yang
 terdapat di dalam hadist, karena hadist adalah pesan Allah kepada 
manusia melalui  perantara Rosulullah saw dengan  redaksi  dari 
Rosulullah saw .
Adapun Ijma’ , Qiyas dan dalil
 –dalil lainnya, masuk dalam pesan Allah juga, walaupun secara tidak 
langsung, karena dalil-dalil tersebut bersandar  pada pesan Allah yang 
ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
(yang  berhubungan dengan  perbuatan  mukallaf )
Perbuatan mukallaf mencakup : perkataan dan  perbuatan serta niat.
Dalil bahwa niat termasuk 
dalam katagori perbuatan mukalaf adalah adanya hukum yang membedakan 
antara kejahatan yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, 
seperti ; membunuh seorang muslim secara sengaja, hukumannya adalah 
qishos. Adapun membunuh seorang muslim secara tidak sengaja, hukumannya 
adalah membayar diyat.  Makan di siang bulan Romadlan secara sengaja, 
adalah perbuatan dosa besar dan puasanya tidak syah. Sedangkan  kalau 
dia makan secara tidak sengaja, karena lupa atau yang lainnya, maka dia 
tidak berdosa dan puasanya syah. Oleh karenanya,  di dalam Kaedah Fiqh 
disebutkan bahwa : “ Segala sesuatu itu, tergantung pada niatnya.”
Adapun masalah “ keyakinan “ 
tidak dibahas di dalam hukum di sini. Begitu juga  hal-hal yang 
berhubungan dengan Dzat Allah , seperti firman Allah :
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ
“Allah menyatakan bahwasanya 
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan 
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan 
yang demikian itu). “ ( Qs Ali Imran : 18 ) ([1])
Mukallaf adalah orang yang terkena kewajiban menjalankan syareat. Maka bayi dan orang gila tidak termasuk mukallaf.  ([2])
  Sebagian ulama  melihat bahwa pada dasarnya  bayi dan orang gila 
termasuk mukallaf , hanya karena adanya halangan, sehingga keduanya 
tidak dikenakan kewajiban.
Oleh karenanya, benda-benda 
mati, seperti gunung , batu, pohon dan sebagainya,  tidak terkena hukum ,
 karena  tidak masuk dalam katagori mukallaf   ([3]) , walaupun  ada juga pesan-pesan Allah yang berkaitan dengan benda mati , seperti  firman Allah swt :
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“ Dan (ingatlah) akan hari 
(yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat 
melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak 
kami tinggalkan seorangpun dari mereka. “ ( QS Al Kahfi : 57 ) ([4])
Adapun Jin secara umum 
termasuk mukallaf  juga. Dia mempunyai kewajiban-kewajiban  sebagaimana 
manusia dan jika melanggar larangan-larangan Allah, niscaya akan 
mendapatkan sangsi . Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “ ( QS Adz Dzariyat :  56 )
Allah swt juga berfirman :
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ 
وَالإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ 
آيَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَـذَا
“ Hai golongan jin dan 
manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu 
sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan 
kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini. “ ( QS Al An’am : 130 ) .
( baik yang bersifat tuntutan )
Tuntutan ini meliputi tuntutan
 untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Tuntutan untuk 
mengerjakan, jika bersifat tegas disebut kewajiban, jika tidak, maka 
disebut anjuran. Tuntutan untuk meninggalkan jika bersifat tegas 
disebut  haram, jika tidak, maka disebut ; makruh ( sesuatu yang dibenci
 ) .
( atau yang bersifat pilihan ) yaitu sesuatu yang mubah atau dibolehkan.
Akan tetapi hal-hal yang mubah
 atau dibolehkan ini bisa menjadi sebuah kewajiban, atau anjuran atau 
sesuatu yang dilarang atau dibenci . Itu semua tergantung kepada  niat 
dan keadaan. Seperti : makan, yang pada dasarnya hukumnya adalah mubah, 
akan tetapi kalau diniatkan untuk  memperkuat diri dalam beribadah, maka
 hukumnya menjadi wajib atau  mustahab, sebaliknya jika diniatkan untuk 
memperkuat diri dalam perbuatan jahat, maka hukumnya menjadi  haram.
(atau apa yang diletakkan oleh
 syara’ - sebagai tanda atas syah atau tidaknya suatu pebuatan - ) 
 Tanda-tanda ini mencakup : Sebab, Syarat dan Halangan.
(
 [1] )    Ayat tersebut, walaupun berbicara tentang Dzat Allah, dan 
bersifat informasi namun sebenarnya mengandung pesan agar umat manusia 
ini ikut  bersaksi akan ke-Esaan Allah swt.  Akan tetapi isinya 
perintah, dan ini berhubungan dengan perbuatan mukalaf, otomatis masuk  
dalam pembahasan hukum .
(
 [2] )  Dalam beberapa masalah, bayi atau anak kecil dan orang gila 
mempunyai kewajiban  untuk mengeluarkan harta atau membayar kerugian 
akibat perbuatannya, akan tetapi yang menjadi pelaksana adalah orang 
tuanya atau walinya, seperti berkewajiban membayar  zakat, jika ia 
mempunyai harta sampai nishob dan sudah datang masa pembayaran. Begitu 
juga, jika dia merusak barang milik orang lain, maka orang tua atau 
walinya berkewajiban untuk menggantikannya.
(
 [3] )  Ada beberapa benda yang mukallaf, diantaranya adalah batu yang 
membawa lari baju nabi Musa  as, ketika beliau sedang mandi . Oleh 
karena itu nabi Musa mengejarnya dan memukulinya ( HR Bukhari , no : 278
 , dan Muslim no : 754 ) Tentunya ini adalah pengecualian dan  hanya 
dalam keadaan tertentu saja. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar