Menyingkap Cela Orang Ternganga Aib Sendiri
Pernah tersebar gosip keji tentang Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu
anha, yang menuduh beliau telah berbuat serong. Adalah Abu Ayyub
al-Anshari termasuk sahabat yang sangat hati-hati menjaga
pendengarannya, tidak menelan mentah-mentah semua informasi yang mampir
di telinganya. Tatkala istrinya bertanya, “Wahai Abu Ayyub, Tidakkah
kamu mendengar desas desus yang memperbincangkan Aisyah?” Beliau
menjawab, “Itu hanyalah berita bohong.” Lalu beliau bertanya kepada Ummu
Ayyub, “Apakah kamu pernah melakukan (serong), wahai Ummu Ayyub?” Ia
menjawab, “Belum pernah, demi Allah, dan aku tidak akan pernah
melakukannya.” Lalu Abu Ayyub berkata, “Demi Allah (wahai istriku),
Aisyah lebih baik dari dirimu.”
Begitulah cara Abu Ayyub menyeleksi informasi. Tidak semua ucapan
boleh dinikmati oleh telinga, dan tidak setiap informasi boleh
disebarkan kepada orang lain. Ada hal-hal yang seharusnya ia dengar. Ada
pula hal-hal yang tidak layak didengarnya. Dan dalam hal yang ia
mendengarnya tanpa sengaja, ia seleksi mana yang layak dipercayai dan
mana pula yang layak dimusnahkan dari memori. Inilah cara mensyukuri
nikmat pendengaran. Seperti jawaban Abu Hazim rahimahullah tatkala
ditanya, “Bagaimana cara mensyukuri nikmat pendengaran?” Beliau
menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan, maka jagalah dan jika kamu
mendengar tentang keburukan, maka sembunyikanlah.”
Menyebarkan Berita Dusta
Telinga adalah mitra paling setia dari lisan. Dari lisan siapapun
ucapan terlontar, memungkinkan telinga untuk menikmatinya, sengaja atau
tidak sengaja. Maka, seberapa kuat sensor pendengaran untuk menyaring
setiap suara yang masuk, menentukan baik buruknya seseorang. Begitu
strategisnya fungsi pendengaran, hingga kelak secara khusus ia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah didengarnya,
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS al-Isra’ 36)
Di antara berita yang pasti sempat hinggap di telinga adalah kabar
miring mengenai pribadi dan kehormatan seseorang. Sudah tentu, tidak
semua yang didengar telinga itu sesuai dengan realita yang sebenarnya.
Pasti ada berita dusta yang berseliweran di telinga. Karenanya Nabi
shalallahu ‘alaihi wasalam memberi stempel ‘pendusta’ bagi orang yang
suka menceritakan setiap apa yang didengarnya,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta, jika ia menceritakan setiap
apa yang ia dengar.” (HR Muslim)
Betapa ringan lisan membeberkan, betapa nikmat telinga mendengarkan.
Akan tetapi, begitu dahsyat efek yang ditimbulkan. Berapa banyak
orang-orang yang bersaudara dipisahkan oleh berita-berita bohong? Berapa
banyak pasangan suami istri berpisah karena kabar dusta? Dan berapa
banyak pula peperangan antar kaum yang dipicu oleh informasi palsu? Dan
berapa banyak orang terpidana karena kesaksian palsu?
Allah Yang Maha Bijaksana telah mengingatkan umat ini, agar
masyarakat ini tidak tercabik-cabik, tidak terpecahbelah dan terbakar
oleh api fitnah yang tatkala berkobar sulit untuk dipadamkan. Allah
berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita. Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS.
al-Hujurat: 6)
Sebagaimana indikasi ayat di atas, bahwa dampak berita dusta itu tak
hanya menimpa korban tertuduh. Bahkan bisa jadi yang tertuduh
mendapatkan keuntungan. Sebagaimana Allah menghibur Aisyah dan
keluarganya terkait berita dusta tentang dirinya,
“Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu,
bahkan ia adalah baik bagi kamu” (QS. An-Nuur: 11)
Adapun bagi orang yang turut terlibat menyebarkan berita dusta,
justru terancam akan menyesal. Bisa saja ia menyesal karena telah turut
menyiarkan kabar burung tapi akhirnya terbukti sebagai kabar bohong.
Bisa juga ia menyesal karena buntut dari tindakan itu bisa membahayakan
dirinya. Tatkala ia menyebarkan berita dusta, berarti telah berlaku
zhalim kepada orang lain. Sedangkan orang yang dizhalimi memiliki
peluang besar mendoakan keburukan untuk orang yang telah merusak
kehormatannya, dan doa orang yang dizhalimi tidak terhalang untuk
diijabahi.
Seperti kasus yang menimpa orang yang mencemarkan nama baik Sa’ad bin
Abi Waqash ra dengan tuduhan dusta. Sebagaimana diriwayatka oleh Jabir
ra,
“Seorang laki-laki itu berkata, “Kami mengadukan Sa’ad karena ia
tidak membagi rampasan secara sama rata, tidak pernah ikut berperang
bersama pasukannya dan tidak adil dalam menghukumi sesuatu.”
Mendengar tuduhan itu, maka Sa’ad berdoa, “Ya Allah, jika ia
berdusta, maka panjangkanlah umurnya, panjangkan kefakirannya, dan
timpakan berbagai fitnah atasnya.”
Ibnu Amir menceritakan bahwa ia menyaksikan laki-laki yang mengadukan
Sa’ad itu berumur panjang, sampai-sampai alisnya menutupi mata karena
saking panjangnya, ia betul-betul ditimpa kemiskinan, dan di sebuah
jalan ia pernah bertemu dengan budak-budak perempuan kemudian mecolek
mereka, karena itu ia terkena fitnah. Sewaktu ditanya, “Mengapa kamu
bisa jadi begini?” Jawabnya, “Aku menjadi tua bangka dan terkena fitnah
karena doa Sa’ad.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Begitulah balasan di dunia. Adapun di akhirat, Allah mengancam orang
yang suka menuduh dan menyebarkan berita bohong tentang keburukan
seseorang,
”Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikitpun. Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia
pada sisi Allah adalah besar” (QS. an-Nuur: 15)
Hingga firman-Nya,
”…mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka
menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”(QS.
an-Nuur: 23-24)
Menyingkap Aib Orang, Ternganga Aib Sendiri
Berita dusta tentang keburukan seseorang sudah pasti terlarang untuk
disebarkan. Lalu bagaimana jika berita tentang aib seseorang itu benar
adanya? Sering kita dengar, ketika teguran ditujukan kepada orang yang
sedang menggunjing, ia pun segera menyergah, “Saya mengatakan apa
adanya, saya tidak berdusta!” Padahal, tidak semua berita yang benar itu
boleh menjadi konsumsi publik, atau diperdengarkan orang lain. Nabi
shalallahu ‘alaihi wasalam mendefinisikan ghibah atau menggunjing,
“Menyebutkan keburukan tentang saudaramu, hal yang ia tidak suka
(diketahui orang lain).” Lalu Nabi ditanya, “Bagaimana jika ternyata apa
yang saya sebutkan memang benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab,
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika (aib) itu memang ada padanya, berarti kamu telah
menggunjingnya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya,
berarti kamu telah membuat kedustaan tentangnya.” (HR. Muslim)
Itulah ghibah, yang diumpamakan Allah dengan memakan bangkai
saudaranya sendiri.
Jangan disangka, bahwa kerugian hanya menimpa orang yang digunjing.
Sejatinya, akibat yang dialami oleh orang yang menggunjing lebih parah.
Rata-rata orang yang suka mencacat dan mengumbar aib orang, niscaya akan
sedikit mendapat teman. Karena tidak akan ditemukan teman yang tak
memiliki cacat, dan tak banyak orang yang bisa bertahan jika cacatnya
diumbar oleh temannya sendiri. Alangkah indahnya nasihat Imam
asy-Syafi’i kepada Yunus bin Abdil A’la. Beliau berkata, “Wahai Yunus,
jika kamu mendengar seorang temanmu melakukan apa yang tidak kamu suka,
janganlah kamu lekas memusuhinya, atau memutus persahabatan. Karena
sesuatu yang meyakinkan (tentang kebaikan teman) jangan dihapus dengan
sesuatu yang masih meragukan (tentang keburukan teman). Sebaiknya,
temuilah dia, dan katakan kepadanya, “Telah sampai desas-desus tentang
dirimu begini dan begitu…” Tapi ingat, janganlah kamu menyebutkan sumber
beritanya. Jika dia menyanggah dan mengingkari kabar tersebut, maka
katakanlah, “Baiklah, kamu lebih jujur dan lebih layak aku percaya.” Dan
jangan menambahnya dengan pertanyaan atau komentar yang lain. Namun
jika dia mengakui kebenaran berita itu, dan kamu memaklumi alasannya,
maka terimalah alasannya…”
Tak hanya sulit mendapatkan teman, orang yang hobi mengumbar aib
saudaranya, maka kelak aibnya akan tersebar. Ini sebagai balasan yang
setimpal untuk dirinya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ
الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ
عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِه
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya sedangkan iman belum
merasuk di hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan
janganlah mencari-cari aib mereka, karena barangsiapa yang mencari-cari
aib mereka, niscaya Allah akan mengawasi aib mereka, dan barangsiapa
yang diawasi aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membeberkan aibnya di
rumahnya.” (HR. Abu Dawud)
Jika tak ingin aib kita terbuka, maka jangan coba-coba mengumbar aib
saudaranya. Kecuali jika aib itu berupa dosa yang membahayakan orang
lain, atau dilakukan terang-terangan dengan bangga. Semoga Allah
menutupi aib kita, dan menjaga telinga dan lisan kita dari segala bentuk
kezhaliman atas kaum muslimin.aamiin. (Abu Umar Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar