Hukum Syar'i
Hukum Syar’I terbagi 
menjadi dua  ; Hukum Taklify, dan Hukum Wadh’y. Hukum Taklify  terbagi 
menjadi lima : Wajib, Mandub, Haram, Makruh, dan Mubah. Sebagian ulama 
membaginya menjadi tujuh macam :  Fardhu, Wajib, Mandub,  Makruh 
 Tanzihiyan, Makruh Tahrimiyan, Haram dan Mubah.
Adapun Hukum Wadh’y terbagi menjadi tiga : Sebab, Syarat dan Halangan.
HUKUM TAKLIFY :
1/ Wajib ;
Wajib secara bahasa berarti jatuh atau roboh, sebagaimana firman Allah swt :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم
 مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ 
عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا 
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ 
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“ Dan telah Kami jadikan untuk
 kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh 
kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika 
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian 
apabila telah roboh (mati), maka makanlah 
sebahagiannya dan beri 
makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak 
meminta-minta) dan orang yang meminta. “ ( QS Al Hajj : 36 )
Tata cara menyembelih unta yang benar 
menurut para ulama adalah dengan mengikat  tangan  kiri ( kaki kiri 
depan ) unta dan disembelih dari sebelah kanan, sehingga secara otomatis
 dia akan jatuh disebelah kiri atau dalam istilah Al Qur’an disebut ( 
wajabat junubuha )
Wajib juga berarti keharusan, sebagaimana sabda Rosulullah saw :
غسل الجــمعة واجـب
“ Mandi pada hari jum’at itu adalah suatu keharusan . “ ( HR Bukhari , no : 879 , Muslim, no : 1925 )
Adapun pengertian “ Wajib “ 
secara syar’I adalah : Sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara 
tegas. “  Atau : “ Sesuatu yang apabila dikerjakan   akan mendapatkan 
pahala, dan jika ditinggalkan akan  mendapatkan sangsi, contohnya adalah
 firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
 diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang 
sebelum kamu agar kamu bertakwa “ ( QS Al Baqarah : 183 )
Mayoritas ulama memandang 
bahwa  pengertian “ wajib “ sama dengan pengertian “ fardhu “. Sedang 
menurut ulama Madzhab Hanafi  “ Wajib “ adalah sesuatu yang diketahui 
dengan praduga.
Sedang Fardhu secara bahasa adalah  ketentuan, sebagaimana firman Allah swt :
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“  Bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “ ( QS Al Baqarah : 237 )
سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا
“ Ini adalah) satu surat yang 
Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di 
dalam)nya. “ ( QS. An Nur : 1) 
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fardhu bersifat tegas dan ketat, sekaligus mengandung ketentuan yang sangat jelas. Itu semua agar ketentuan-ketentuan tersebut bisa dilaksanakan dengan disiplin dan mudah.
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fardhu bersifat tegas dan ketat, sekaligus mengandung ketentuan yang sangat jelas. Itu semua agar ketentuan-ketentuan tersebut bisa dilaksanakan dengan disiplin dan mudah.
Adapun arti Fardhu secara 
syar’I  adalah “ Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’ 
 secara jelas dan tegas, serta pasti.  Ketentuan –ketentuan tersebut  
tidak boleh dikurangi maupun ditambah.  Hal itu, karena dalil- dalil 
yang menjadi sandarannya adalah dalil yang kuat dan tidak diragukan  
lagi, seperti kewajiban sholat, zakat, haji dan lain-lainnya.
Sedangkan “ Wajib “ adalah : “
 Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’  secara tidak 
tegas , dikarenakan dalil-dalil yang menjadi sandarannya, tidak terlalu 
kuat.  Oleh karenanya orang yang mengingkari kewajiban, karena tidak 
menyakininya, dia tidak dikatagorikan sebagai oang yang kafir. Berbeda 
dengan Fardhu, orang yang mengingkarinya dikatagorikan kafir dan keluar 
dari Islam.
Secara ringkas Fardhu dan Wajib, mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya :
- Fardhu dan Wajib sama-sama menunjukkan suatu keharusan, akan tetapi keharusan yang terdapat di dalam Fardhu lebih kuat dari apa yang dikandung di dalam “ wajib “ .
 - Fardhu berlandaskan dalil-dalil yang kuat dan pasti, sedang Wajib berlandaskan dalil-dalil yang masih mempunyai kelemahan dari beberapa sisi.
 - Orang yang mengingkari fardhu, tergolong orang yang murtad dan kafir. Berbeda dengan orang yang mengingkari “ Wajib “ , dia tidak dihukumi murtad, tetapi dikatakan sesat. Dan Jika dia mengingkari “ wajib ‘ karena menganggapnya tidak termasuk yang wajib dengan alasan-alasan tertentu, dia tidak dikatagorikan sesat.
 
BEBERAPA MASALAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN WAJIB DAN FARDHU
- 1/ Membaca surat Al Fatihah di dalam sholat.
 
Mayoritas Ulama memandang 
bahwa membaca surat Al Fatihah di dalam sholat hukumnya wajib yang 
berarti fardhu, jika ditinggalkan,  maka sholatnya dinyatakan tidak 
syah, karena dia termasuk rukun sholat.
Namun bagi ulama mazdhab 
Hanafi membaca surat Al Fatihah di dalam sholat  hukumnya wajib, yang 
berarti bukan fardhu.  Mereka beralasan bahwa Al Qur’an yang merupakan 
dalil qath’I  tidak menyebutkan keharusan membaca surat Al Fatihah, 
Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. “ ( QS Al Muzammil : 20 )
Ayat di atas menyatakan bahwa 
yang fardhu adalah membaca Al Qur’an , baik itu membaca surat Al Fatihah
 maupun membaca ayat-ayat lain di dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, jika 
seseorang tidak bisa atau belum bisa membaca Al Fatihah, dibolehkan 
baginya untuk membaca tiga ayat .
Sedang hadist yang menyebutkan
 tentang kewajiban membaca Al Fatihah di dalam sholat tidak sampai pada 
derajat mutawatir, sehingga tidak kuat jika dihadapkan pada ayat di 
atas. Hadits tersebut adalah sabda Rosulullah saw :
لا صلاة لمن لا يقرأ بفاتحة الكتاب
“ Tidak ( syah ) sholatnya bagi siapa yang tidak membaca Al Fatihah “ ( HR Bukhari , Muslim )
2/ Hukum Umrah.
Ulama madzhab Hanafi 
menyatakan bahwa haji hukumnya fardhu, bukan wajib, karena mempunyai 
landasan kuat dari Al Qur’an, yaitu firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“mengerjakan haji adalah 
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup 
mengadakan perjalanan ke Baitullah ( QS Ali Imran : 97 )
Sedang umrah  hukumnya wajib atau bahkan sunnah, karena landasannya berupa hadits ahad.
3/ Suci ketika mengerjakan Thowaf
Mayoritas ulama menyatakan 
bahwa suci dari hadast  termasuk salah satu syarat syahnya syahnya 
Thowaf . Dalilnya adalah sabda Rosulullah saw :
الطواف بالبيت صلاة ، إلا أنكم تتكلمون فيه
“ Thowaf di Ka’bah merupakan ibadah sholat, hanyasanya kalian  boleh berbicara di dalamnya “ ( HR Tirmidzi )
Hadist di atas menyatakan 
bahwa thowaf hukumnya seperti sholat.  Sholat disyaratkan di dalamnya 
suci dari  hadast , maka thowaf demikian juga.
Adapun ulama madzhab Hanafi ([1])
 menyatakan bahwa suci bukan syarat syah Thowaf, karena syarat tersebut 
hanya berlandaskan hadist ahad, yang mana hadits tersebut tidak kuat 
jika dihadapkan pada ayat Al Qur’an yang menyatakan keharusan untuk 
melakukan thowaf tanpa menyebut di dalamnya syarat suci dari hadast   , 
yaitu firman Allah swt :
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” ( QS Al Hajj : 29 )
4/ Hukum sholat witir
Imam Abu Hanifah berpendapat 
bahwa sholat witir hukumnya wajib, bukan fardhu , karena landasannya 
adalah hadist ahad, yaitu sabda Rosulullah saw :
إنَّ اللَّهَ تَعَالَى زَادَكُمْ صَلَاةً أَلَا وَهِيَ الْوِتْرُ
“ Sesungguhnya Allah telah menambahkan kepada kamu kewajiban sholat, yaitu sholat witir. “  ) ([2]
PEMBAGIAN WAJIB
Wajib bisa diklasifikasikan menjadi  empat bagian    :
- Bagian Pertama ; adalah Kewajiban ditinjau dari obyek tuntutannya.
 
Kewajiban  ditinjau dari obyek tuntutannya , dibagi menjadi  dua :
a/ Wajib Mu’ayyan ( wajib yang
 telah ditetapkan ) : yaitu kewajiban untuk mengerjakan hal-hal yang 
tertentu dan tidak ada pilihan di dalamnya, seperti  halnya kewajiban 
membayar zakat, kewajiban menegakkan solat , kewajiban berpuasa pada 
bulan Ramadhan.
b/ Wajib Mukhayyar ( wajib 
yang boleh dipilih ) : adalah kewajiban yang  mana seorang mulakkaf 
dibolehkan  memilih satu dari kewajiban –kewajiban yang ada, seperti : 
kewajiban seseorang membayar kaffarah , jika melanggar sumpah. Allah 
berfirman :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ 
بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ 
الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ 
مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ 
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ 
أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ 
يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
«   Allah tidak menghukum kamu
 disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), 
tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, 
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang 
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, 
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. 
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya 
puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat 
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah 
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar 
kamu bersyukur (kepada-Nya) ( QS Al Maidah : 89 ) .
Dalam ayat di atas, Allah 
memberikan pilihan bagi seseorang yang melanggar sumpah untuk membayar 
salah satu dari tiga bentuk kaffarah :  yaitu :
1/ memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis  makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya.
2/  memberi pakaian kepada mereka.
3/ memerdekakan seorang budak.
Jika seorang mukallaf mengerjakan salah satu dari tiga pilihan di atas, bisa dikatakan bahwa dia telah mengerjakan kewajiban.
Contoh kedua adalah firman Allah :
إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاء حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
“ Sehingga apabila kamu telah 
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh 
membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir “ .( QS 
Muhammad : 4 )
Dalam ayat di atas, Allah 
mewajibkan bagi pemimpin kaum muslimin, jika telah menawan musuh-musuh 
Islam di dalam peperangan untuk mengerjakan salah satu dari dua pilihan,
 yaitu : melepaskan tawanan tersebut tanpa imbalan, atau melepaskannya 
dengan mengambil tebusan dari musuh.
- Bagian Kedua : Kewajiban ditinjau dari waktu pelaksanan.
 
Kewajiban  jika ditinjau dari waktu pelaksanaannya dibagi menjadi tiga :
a/ Wajib Mutlaq : yaitu 
kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ tanpa membatasi waktu 
pelaksanaannya . Seperti : orang yang bernazar untuk puasa tiga hari, 
maka dia bebas menentukan kapan puasa tersebut mau dilaksanakan.
Hal ini beradasarkan kaedah ushuliyah yang mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر لا يقتضي الفور
“ Pada dasanya suatu perintah itu tidak harus dilaksanakan secepatnya “
Kaedah ini dipegang oleh ulama
 madzhab Hanafi. Sedangkan ulama  madzhab Syafi’I dan Abu Hasan Al 
Karkhi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر يقتضي الفور
“ Pada dasarnya suatu perintah itu menuntut untuk  dilaksanakan secepatnya “
b/ Wajib Muqayyad : yaitu 
kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan dibatasi waktu pelaksanaannya.
  Wajib Muqayyad ini dibagi menjadi tiga macam :
b.1/ Wajib Mudhoyaq : “ Yaitu 
kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ batasan waktunya, tidak boleh 
lebih dan tidak boleh kurang, seperti kewajiban puasa pada bulan 
Ramadhan, kewajiban wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan 
lain-lainnya.
b.2/Wajib Muwassa’ : yaitu 
kewajiban yang ditetapkan syareah batasan waktunya  secara lebih luas, 
seperti waktu sholat Isya, yang dimulai dari hilangnya awan merah hingga
 datang waktu subuh.
b.3/ Wajib yang  
pelaksanaannya melebihi waktu yang tersedia, seperti orang yang baligh, 
atau wanita yang bersih dari haidh , atau orang gila yang sembuh, atau 
orang yang sadar dari pingsan, yang kesemuanya terjadi  beberapa menit 
sebelum adzan maghrib.  Mereka itu wajib melaksanakan kewajiban sholat 
ashar, walaupun waktunya tidak mencukupi untuk mengerjakan sholat  
ashar  secara sempurna yaitu empat rekaat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar