MERASA SUCI LALU BERDOSA LAGI
Adalah al-Manshur bin Ammar RHM ditanya oleh khalifah Abdul Malik bin
Marwan, “Wahai Manshur, ada masalah yang mengganjal sejak setahun ini,
siapakah sebenarnya orang yang paling pintar, siapa pula orang yang
paling bodoh?”
Al-Manshur pun keluar menemui para ulama untuk mendapatkan
jawabannya, lalu ia menghadap kepada Abdul Malik. Sang Khalifah
bertanya, “Wahai Manshur, jawaban apa yang kamu bawa?”
Beliau berkata, “Wahai amirul mikminin, orang yang paling berakal
adalah orang yang berbuat baik, namun dia tetap merasa takut kepada
Allah, sedangkan orang yang paling bodoh adalah orang yang mengumbar
dosa, namun merasa aman dari siksa Allah.”
Jawaban itu membuat Abdul Malik menangis, hingga air mata membasahi
bajunya, “Demi Allah, ini jawaban yang bagus wahai Manshur.” Sahutnya.
Merasa Suci, Padahal Belum Pasti
Fragmen nyata yang terjadi di zaman salaf tersebut tampaknya relevan
dengan situasi kita yang telah melewati hari demi hari selama Ramadhan.
Banyak peluang kebaikan, bertabur pula harapan pahala dan pengampunan.
Bervariasi jenis dan kadar amal shalih yang dilakukan masing-masing
orang, dan beragam pula tingkat kepuasan para pelaku amal. Ada yang
sedih karena merasa belum optimal, namun tak sedikit yang merasa diri
telah berjuang total.
Ada baiknya kita mengevaluasi diri sendiri. Tapi evaluasi yang jujur,
muhasabah yang menimbulkan efek positif di kemudian hari. Bukan
perhitungan orang yang tertipu, merasa diri panen pahala, ternyata
pailit kenyataannya.
Apa yang disampaikan oleh al-Manshur tentang orang yang paling pintar
dan orang yang paling bodoh, bisa kita jadikan rujukan mengaca diri,
sejauh mana tingkat keshalihan kita. Apakah dekat dengan ring paling
tinggi yang telah berbuat baik namun tetap merasa takut, ataukah lebih
dekat dengan ring paling bawah, yang tak beres usahanya, namun merasa
aman dari siksa.
Dengan berakhirnya ramadhan, banyak yang terkecoh dengan ungkapan
kembali suci. Mereka merasa bersih dari dosa, begitu melewati ramadhan
dan memasuki ‘Iedul Fithri. Istilah ‘iedul fithri pun diartikan menjadi
hari kembali suci. Makna ini perlu diteliti kembali. Karena Nabi SAW
sendiri telah memberikan makna yang berbeda dari makna yang biasa
dipahami khalayak. Beliau bersabda,
وَأَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ
“Dan adapun, (maksud) hari Fithri adalah hari berbuka kamu dari
shaum.” (HR Abu Dawud dan dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan “dan
hari raya bagi kaum muslimin.”)
Berharap Itu Harus, Tapi…
Memang janji Nabi SAW tidaklah dusta. Bahwa shalat malam di bulan
Ramadhan menghapus dosa yang telah lalu, begitupun dengan shaum di siang
harinya. Dan mungkin kitapun telah menjalani amalan itu dengan komplit.
Kita harus berharap, agar semua ibadah kita diterima, dosa-dosa kitapun
terampuni. Tapi kita juga perlu khawatir, sekiranya semua yang kita
jalani belum memenuhi kriteria ‘maqbul’ sebagai amal shalih. Termasuk
kebodohan, jika seseorang mengklaim sudah mengantongi banyak pahala,
atau telah bersih dari dosa. Apalagi bila yang dilakukannya ternyata
belum seberapa.
Klaim ini akan menimbulkan efek negatif di belakangnya. Bukan saja
tidak ada upaya perbaikan dan peningkatan amal. Bahkan cenderung
menganggap sepele dosa. Lantaran sudah bersih dari dosa, maka ia merasa
masih berpeluang untuk berdosa.
Padahal, amal yang bisa menghapuskan dosa adalah amalan yang maqbul,
diterima oleh Allah. Yakni amal yang benar dan juga ikhlas. Siapakah
yang berani menjamin amalnya telah ikhlas dan tetap ikhlas? Karena
keikhlasan itu harus dituntut adanya tak hanya sebelum dan ketika
beramal saja. Bahkan setelah menjalani amal, dan batas akhirnya adalah
ajalnya. Boleh jadi seseorang bisa ikhlas sesaat setelah beramal, namun
di kemudian hari dia batalkan keikhlasannya dengan riya’, sum’ah maupun
ujub. Maka amal yang telah lalu tidak diterima sebagai amal yang
diterima dan tidak bisa berfaedah sebagai penghapus dosa. Maka
sepantasnya kita tidak terpedaya dengan amal yang telah kita lakukan.
Mungkin inilah alasan sahabat Abdullah bin Umar yang meskipun telah
beramal luar biasa, tetap saja mengatakan, “Andai saja aku tahu pasti,
ada satu sujud (shalat) saya telah diterima, maka aku berangan-angan
sekiranya aku mati sekarang juga.”
Lihat pula bagaimana jawaban Hatim al-Asham RHM, tatakala ditanya
bagaimana cara beliau mendirikan shalat. Beliau menjawab, “Apabila
datang waktu shalat aku segera berwudlu dengan sempurna, lalu datang
ketempat shalatku, akupun duduk mengkonsentrasikan seluruh jiwa ragaku,
kemudian aku berdiri dengan ketundukan dan rendah diri, kujadikan ka’bah
seakan diantara kedua mataku, titian shirat dibawah kedua telapak
kakiku, surga disebelah kananku, dan neraka disebelah kiriku, malaikat
maut dibelakangku, dan kubayangkan bahwa ini adalah shalat terakhirku,
selanjutnya aku tempatkan diriku diantara rasa takut dan penuh
pengharapan. Kemudian aku bertakbir dengan penuh keyakinan akan
kebesaran Allah, lalu aku membaca al-Fatihah dan surat dengan
sedalam-dalamnya penghayatan. Kemudian aku ruku’ dengan tuma’ninah,
selanjutnya akupun sujud dengan segala rasa rendah diri, lalu aku duduk
diatas pangkal paha kiriku, dan kutegakkan telapak kaki kananku diatas
ibu jarinya, semua itu aku usahakan di atas keikhlasan hati
setulus-tulusnya. Dan selanjutnya…aku tak tahu pasti, apakah shalatku
itu diterima oleh Allah ataukah tidak!
Memaknai Amal Pendulang Pahala dan Penghapus Dosa
Orang yang hatinya tulus dalam mengabdi kepada Allah, juga jujur
dalam memaknai nash-nash hadits dan ayat-ayat suci, pastilah memahami.
Bahwa disebutkannya keutamaan suatu amal shalih dengan janji-janji
pahala adalah supaya kita terdorong untuk melakukannya. Dan sama sekali
bukan untuk meremehkan amal yang selainnya. Misalnya tentang keutamaan
tahmid,
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ.
“Dan bacaan ‘alhamdulillah’ itu bisa memenuhi timbangan.”
(HR Muslim)
Arahan hadits ini adalah untuk memperbanyak ucapan tahmid, sama
sekali bukan untuk menafikan amalan lain. Atau karena merasa timbangan
sudah penuh lantas menganggap kurang perlu amalan yang lain. Lebih parah
lagi jika amal-amal yang wajib seperti shalat lima waktu juga
ditinggalkan karenanya. Padahal, fadhilah tahmid tersebut, betapapun
besar tidak bisa menutup kewajiban menjalankan shalat. Bahkan tanpa
shalat, sama sekali fadhilah itu tidak berguna karena batas antara
muslim dan kafir adalahmeninggalkan shalat.
Orang yang cerdik juga memahami, bahwa tujuan disebutkannya amal-amal
yang berfaedah menghapus dosa adalah menghasung kita agar segera
bertaubat dan membersihkan diri dari dosa. Bukan justru dijadikan alasan
untuk menumpuk dosa baru dengan alasan dosa yang lalu telah terhapus.
Seperti hadits,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa shalat di malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan
mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari)
Jelas, bahwa inti pesan Nabi SAW tersebut supaya umatnya menjalankan
shalat malam di bulan Ramadhan, bukan supaya melakukan maksiat setelah
menjalankan shalat malam.
Lagi pula, menurut Imam an-Nawawi, juga ulama yang lain menyebutkan
bahwa maksud dosa yang otomatis diampuni karena shalat tarawih tersebut
adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Shalat tarawih tidak bisa
menghapus dosa syirik secara otomatis, atau dosa meninggalkan shalat
lima waktu, apalagi menggantikannya. Hanya orang bingung yang
mengandalkan shalat tarawih lalu meninggalkan shalat wajibnya.
Mohon Ampunan-Nya, Tapi Sengaja Memancing Murka
Selain terpedaya oleh amal penghapus dosa, ada juga yang salah dalam
memahami makna istighfar. Begitu mudah seseorang melakukan dosa, karena
merasa mudah pula untuk menebusnya. Cukup dengan bacaan istighfar, serta
merta dosanya lenyap seketika.
Orang yang merasa telah bersih dari dosa, lalu menyengaja berbuat
dosa, hakikatnya adalah seorang pembangkang dan durjana. Dia
menyalahartikan pengampunan Allah dan menggunakannya sebagai pemicu
untuk berbuat dosa. Dia sengaja memancing kemurkaan Allah dengan dosa,
lalu menyandarkan alasannya pada kasih sayang Allah dan kemurahan
ampunanNya. Alangkah tidak sopannya kepada Allah, dan amat jauhlah ia
dari sifat pengagungan kepada Allah.
Bukankah anak dikatakan durhaka bila sengaja membuat jengkel ayahnya,
atau memancing kemarahannya, lantaran dia tahu bahwa sang ayah sangat
penyabar dan suka memaafkan kesalahannya? Lantas bagaimana jika perilaku
seperti itu dilakukan terhadap Allah Azza wa Jalla?
Istighfar adalah realisasi taubat yang wajib disertai tekad untuk
tidak mengulangi dosa kembali. Tanpanya, taubatnya hanya bohong belaka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari dosa yang kita sengaja, dan mengampuni
dosa yang tidak kita sengaja atau tidak kita ketahui. Amien. (Abu Umar
Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar