HATI CERAH DI BULAN BERKAH
Ramadhan di ambang pintu. Banyak ragam sikap dan cara manusia saat
menyambut kedatangannya. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang sedih
dengan kedatangannya, dan banyak orang bergembira menyambutnya.
Bagi seorang muslim yang memahami musim kebaikan, Ramadhan adalah
momen yang selalu istimewa di setiap tahunnya. Hadirnya, selalu membawa
semangat baru dan komitmen untuk memperbaiki ibadah dan ketaatan.
Kuatkan Tekad Menyambut Bulan Berkah
Seberapa optimal seseorang dalam memanfaatkan momen Ramadhan, bukan
semata bergantung pada kekuatan fisik atau banyaknya konsumsi nutrisi
dan gizi. Justru penopang utamanya lebih dominan pada kekuatan hati.
Banyak orang bertubuh kekar, stamina prima dan masih muda, namun tak
sedikit yang merasakan berat dan payah menjalani shaum. Merasa kewalahan
juga untuk berdiri shalat malam secara rutin, tidak pula sanggup
bersabar untuk mengkhatamkan al-Qur’an. Karena problemnya adalah
lemahnya kemauan dan kekuatan hati.
Kesungguhan ibadah terwujud ketika diawali dengan adanya tekad atau
‘aziimah. Yakni istijma’u quwwatil iraadah ’alal fi’li,
menghimpun kekuatan kehendak untuk berbuat. Sehingga orang yang memiliki
tekad tidak ingin membiarkan dirinya berleha-leha atau tertinggal dari
suatu keutamaan.
Bahkan ia akan menyusun segenap kemampuan agar mampu
menunaikan suatu bentuk perbuatan. Karena ia tahu, keuntungan apa yang
akan diperoleh dan seberapa besar kerugian yang akan dialami jika ia
melewatkan suatu momen dan peluang istimewa. Alangkah indah isi surat
yang ditulis oleh Imam Hasan al-Bashri untuk Umar bin Abdul Aziz
rahimahumallah agar memanfaatkan peluang jabatan untuk kebaikan, “Amma
ba’du, barangsiapa yang mengevaluasi diri ia akan beruntung, barangsiapa
lalai darinya akan merugi, barangsiapa yang mempertimbangkan akibat
perbuatan niscaya akan selamat…”
Tekad yang kuat semestinya juga menjadi bekal seorang muslim yang
menyadari Ramadhan sebagai musim kebaikan dan ketaatan. Tak hanya
mengumbar kerinduan dengan kata-kata atau angan-angan, dia akan
mempersiapakan diri, menyiapkan tekad yang tinggi dan membekali diri
dengan rencana kegiatan sebelum memasuki bulan Ramadhan, agar
benar-benar terisi secara optimal. Ada target bisa full sebulan
menjalankan shiyam, menjalankan shalat tarawih secara rutin dan
berkualitas, sekian kali khatam al-Qur’an dan mengisi saat shaum dengan
berbagai amal ketaatan.
Hati Cerah, Ibadah Ringan dan Mudah
Mengandalkan tekad saja tidaklah cukup. Ada kalanya seseorang telah
bertekad mengisi ramadhan dengan aneka ketaatan, namun tatkala telah
terjun di kancah amal, yang terjadi tak sehebat yang direncanakan. Bahwa
dia bersemangat menggebu di awal memang, begitulah umumnya. Tapi
semangat itu kadang luntur sebelum perjalanan belum mencapai separuhnya,
apalagi finishnya. Kejenuhan mulai mendera, rasa bosan mulai
menggerogoti semangatnya. Apa yang dikerjakan kemudian, berbeda dengan
apa yang menjadi rencana dan tekadnya di awal sebelum memasukinya.
Sayangnya, kejadian seperti ini terus berulang dari tahun ke tahun.
Namun Ramadhan kali ini, jangan sampai kelemahan ini terulang lagi.
Maka, selain tekad yang bulat untuk memperbanyak taat, faktor
kebersihan hati haruslah dijaga. Yakni dengan bertaubat nashuha dari
dosa dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Karena salah satu efek dari
dosa adalah tudh’ifu iraadatal khair, melemahkan kemauan hati untuk
berbuat baik. Maksiat melemahkan kekuatan hati sebagaimana penyakit yang
melemahkan kekuatan jasad. Dosa juga laksana kerak di hati, atau
kegelapan yang menutupi hati dari cahaya kebenaran. Sedangkan
pembersihnyai adalah taubat. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ
سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ، صُقِلَ
قَلْبُهُ
“Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat dosa, akan ada titk
(noda) hitam di hatinya, lalu juga ia bertaubat, menyesal dan mohon
ampunan niscaya kembali bersihlah hatinya.” (HR Ibnu Majah, hadits
hasan)
Hati yang bersih dari kerak dosa kian cerah dan bercahaya, hingga
mampu membedakan secara jelas antara kebaikan dan keburukan, berpihak
kepada kebenaran dan anti terhadap kesesatan. Taubat juga menyembuhkan
penyakit hati, hingga ia menjadi sehat dan ringanlah baginya untuk
menjalankan ketaatan sebagai bukti keberpihakannya terhadap kebenaran.
Bahkan Ibadah Terasa Nikmat
Ada kalanya pula, ketika seseorang masih bersemangat di awal
perjalanan, lalu ia tak kunjung merasai kenikmatan dan kelezatan saat
menjalani ketaatan, kebosanan dan kelelahan lebih dahulu datang
menghampiri, sebelum ia bisa merasakan nikmatnya taat. Maka perlu kita
tahu bagaimana kiat menata hati agar ketaatan bisa dirasakan
kelezatannya.
Sebagaimana lidah bisa merasakan kelezatan saat mengecap makanan,
begitupun hati bisa merasakan kelezatan iman sebagai buah dari ketaatan.
Bahkan, kelezatan yang dirasakan oleh hati lebih permanen, tidak
sebagaimana lidah yang hanya sekejap mengenyam lezatnya makanan saat
mengunyah hingga kemudian larut menuju perut. Nabi shallallahu alahi
wasallam banyak menyebutkan bahwa keimanan memiliki kelezatan yang bisa
dirasa, seperti sabda Nabi,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ:
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا،
وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ
أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal, apabila ada pada seseorang, berarti ia telah merasakan
kelezatan iman; Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada
selain keduanya, apabila seseorang mencinta orang lain semata-mata
karena Allah, dan apabila ia benci kembali kepada kekafiran setelah
Allah selamatkan ia darinya, sebagaimana bencinya ia jika dilemparkan ke
neraka.” (HR Bukhari)
Ibadah shaum yang merupakan ibadah paling istimewa di bulan Ramadhan,
padanya ada kelezatan yang bisa dirasa. Bagaimana seseorang tidak
merasakan kenikmatan dan bersemangat padahal Allah menjanjikan pahala
dan banyak keutamaan bagi orang yang shaum.
Kenikmatan akan dirasakan pula oleh orang yang shaum saat menyadari
bahwa lapar dan dahaganya adalah demi berkhidmat kepada Penciptanya,
inilah yang disebut para ulama dengan istilah al-iltidzadz bil
khidmah, mengenyam kenikmatan dengan jalan mempersembahkan
pengorbanan. Seringkali manusia merasa puas dan lega saat bisa
mempersembahkan sebuah prestasi untuk bangsanya, untuk pemimpin yang
diseganinya atau untuk orang yang dicintainya, lantas bagaimana seorang
mukmin tidak merasa nikmat saat bisa mempersembahkan amal yang bisa
mendatangkan ridha Rabbnya? Sebuah ikhtiyar yang Allah memuji hamba-Nya
yang mau menempuhnya dalam hadits qudsi,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
“(Hamba-Ku) sudi meninggalkan makanan dan syahwatnya karena-Ku.” (HR
Bukhari)
Karenanya,saat seorang mukmin mulai merasakan perihnya lambung
lantaran lapar, atau keringnya tenggorokan karena kehausan, hatinya akan
berkata, “Pengorbanan ini kulakukan demi pengagungan akan hak Allah,
agar Dia melihat pengorbananku dan ridha terhadap jerih payahku,” ia pun
merasa kenyang dan puas oleh ridha Allah terhadapnya, dan tidak ingin
terhalang untuk mengenyam kelezatan yang diperolehnya melalui jerih
payahnya.
Begitupun dengan ibadah unggulan lain seperti shalat dan membaca
al-Qur’an. Dengan menghadirkan hati, menyadari keagungan Dzat yang kita
bermunajat di hadapan-Nya, keduanya akan terasa mudah, bahkan nikmat
dirasakan. Ketika kita membaca Kalamullah, berarti Allah sedang
berbicara kepada kita. Bagaimana hati akan berpaling dan bosan menyimak
kalam ar-Rahman? Apalagi, satu huruf yang kita baca diganjar dengan satu
kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatkan sepuluh kali.
Tatkala seorang hamba dalam keadaan shalat, berarti ia tengah
bermunajah dan berbincang bersama Allah. Ada doa yangdipanjatkan, ada
dzikir yang memuji keagungan-Nya. Sekaligus ada bacaan ayat-ayat-Nya
yang berarti Allah mengajak bicara kepada kita.
Seorang hamba yang menghadapkan arah badannya ke ka’bah, sementara
hatinya tertuju kepada Allah, niscaya akan bisa merasakan manisnya
munajah. Seperti yang dirasakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, “wa
ju’ilat qurratu ‘ainy fish shalaati”, dan dijadikan sejuk pada
pandangan mataku (ibadah) shalat.” (HR an-Nasa’i, hasan shahih)
Ringkasnya, hendaknya kita sambut Ramadhan dengan memperbaiki niat,
membulatkan tekad, menyalakan semangat dan mulai menempuh perjalanan
dengan kesungguhan. Hendaknya ridha dan bersabar jika suatu saat
menapaki jalan mendaki, tidak terpengaruh oleh banyaknya orang yang
berleha-leha, senantiasa fokus dengan tujuan, karena hadiah yang hendak
kita terima sangat berharga, apa yang hendak kita beli dengan jerih
payah kita sangatlah mahal,
أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ، أَلَا إِنَّ
سِلْعَةَ اللَّهِ الجَنَّة
“Ketahuilah bahwa perniagaan (yang dijual) Allah itu mahal,
ketahuilah bahwa perniagaan Allah itu adalah jannah.” (HR Tirmidzi,
al-Albani mengatakan “shahih”)
Semoga Allah mmpertemukan kita dengan Ramadhan, dan memberikan taufik
kepada kita untuk memperbagus ibadah kita kepada-Nya, aamiin.[] (Abu
Umar Abdillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar