الـمَشَقَّةُ تَـجْلِبُ التَّيْسِيْـرَ
Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan
Kaidah ini termasuk
kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh
rukhshah (keringanan) yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari
kaidah ini. Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman
Allâh Ta'âla:
Allâh menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(Qs. al-Baqarah/2:185)
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(Qs. al-Baqarah/2:185)
Allâh tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(Qs. al-Baqarah/2:286)
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(Qs. al-Baqarah/2:286)
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Qs. al-Hajj/22:78)
(Qs. al-Hajj/22:78)
Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu.
(Qs. at-Taghâbun/64:16)
(Qs. at-Taghâbun/64:16)
Ayat-ayat di atas
menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Seluruh syari’at dalam
agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, yaitu terbangun
atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allâh Ta'âla semata, tidak
menyekutukannya dengan sesuatu pun dan penuh toleransi dalam hukum-hukum
dan amalan-amalannya.
Sebagai contoh,
ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam seperti ibadah shalat.
Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang mudah dan hanya
membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya memerlukan
sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun
diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap dan zakat ini
dilaksanakan hanya sekali dalam setahun.
Juga ibadah puasa
Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah
haji yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang
mempunyai kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang
secara insidental sesuai dengan sebab yang
melatar-belakanginya. Kesimpulannya, seluruh ibadah-ibadah tersebut
sangat mudah dan ringan.
Allâh Ta'âla juga
mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat
dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan
disyariatkannya berjama’ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan
shalat hari raya.
Demikian pula
pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara bersama-sama pada bulan
Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan
Dzulhijjah.
Tidak diragukan lagi,
pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meringankan pelaksanaan
berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih mendorong untuk
saling berlomba meraih kebaikan. Allâh Ta'âla juga telah menyediakan
pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di
akhirat. Janji Allâh Ta'âla merupakan pendorong terbesar dalam
melaksanakan amal kebaikan dan meninggalkan kejelekan.
Disamping
kemudahan-kemudahan ini, jika ada yang mempunyai udzur sehingga
menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan hukum-hukum
syari’at, maka Allâh Ta'âla telah memberikan keringanan sesuai dengan
kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak jelas dalam
beberapa contoh berikut.
1. |
Seseorang yang sedang dalam keadaan
sakit, jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri maka boleh
shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat dengan
berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
|
2. |
Seseorang
diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika tidak
bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan
melaksanakan tayammum.
|
3. |
Seorang musafir
yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan untuk tidak
berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat, serta
diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci
kaki dalam wudhu‘.
|
4. |
Orang yang sakit atau
sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan pahala dari
amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan
tidak bepergian.
|
Kaidah ini diterapkan
dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam syari’at agama Islam
yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata dapat
diketahui dari contoh-contoh berikut ini.
1. |
Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak harus mencucinya.
|
2. |
Boleh beristijmar (membersihkan najis
dengan batu atau semisalnya) sebagai pengganti dari istinja’
(membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai adanya air.
|
3. |
Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa membedakaan benda-benda di sekelilingnya.
|
4. |
Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam:
إِنَّهَا لَـيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْـنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
Sesungguhnya kucing itu tidak najis.
Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu menyertai kalian.[1] |
5. |
Termaafkan, jika terkena cipratan
tanah jalanan yang diperkirakan bercampur dengan najis. Jika memang
benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis yang sedikit.
|
6. |
Jika pakaian seseorang terkena kencing
bayi laki-laki yang belum makan makanan tambahan selain ASI, maka cukup
membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak perlu mencucinya.
Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.
|
7. |
Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum
asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali jika diketahui secara pasti
tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan adalah halal
dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.
|
8. |
Dalam membersihkan badan, pakaian,
atau bejana dari najis cukup menggunakan perkiraan. Jika tidak bisa atau
kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti, maka cukup dengan
dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup.
|
9. |
Dalam menentukan telah datangnya waktu
shalat, cukup dengan perkiraan kuat bahwa waktunya telah datang. Yaitu,
jika sulit mengetahui datangnya waktu tersebut secara pasti.
|
10. |
Orang yang melaksanakan haji secara
tamattu’ dan qiran, mereka bisa melaksanakan haji sekaligus umrah dalam
sekali perjalanan saja.
|
11. |
Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi orang yang terpaksa untuk memakannya.
|
12. |
Bolehnya jual beli ‘ariyah[2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab (kurma basah).
|
13. |
Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan perlombaan memanah.
|
14. |
Bolehnya seorang laki-laki merdeka
menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut tidak bisa menunda
pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.
|
15. |
Jika seseorang melakukan
pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib kerabat orang yang
melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran diyat (denda yang
harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan pelaku
pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia
mempunyai udzur.
Maka, merupakan hal yang
layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut menanggung pembayaran
diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan membagi diyat
tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran tersebut
diberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Adapun jika pembunuh
tersebut termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut
menanggung pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini
terdapat perselisihan di kalangan para ulama. Implementasi (perwujudan)
dari kaidah ini sangatlah luas.
|
Contoh-contoh di atas mudah-mudahan sudah cukup mewakili untuk menunjukkan pentingnya kaidah ini.
(Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar