Hukum Operasi Selaput Dara
Selaput dara adalah selaput tipis yang ada di dalam kemaluan wanita, 
yang oleh masyarakat sering disebut keperawanan, karena jika selaput 
dara tersebut belum pecah atau sobek menunjukkan bahwa wanita tersebut 
belum pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki, 
walaupun tanda ini tidaklah mutlak, karena ada sebagian wanita yang 
tidak pecah selaput daranya saat melakukan hubungan seksual.
Operasi selaput dara adalah memperbaiki atau mengembalikannya kepada 
tempat semula. Dan ini termasuk masalah kontemporer yang belum ditemui 
oleh para ulama pada masa lalu. Untuk memudahkan pemahaman, maka 
pembahasaan ini, kita bagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan 
 penyebab hilangnya selaput dara :
Pertama : Hilang selaput dara karena sesuatu yang tidak 
dikatagorikan maksiat .
Seorang gadis mungkin saja kehilangan selaput daranya ( 
keperawanannya ) akibat kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban 
terlalu berat, atau karena terlalu banyak bergerak dan lain-lainnya . 
Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika dalam 
keadaan tidur atau karena ditipu.
Dalam keadaan seperti ini, jika si gadis yang tidak berdosa tadi 
melakukan operasi untuk mengembalikan selaput dara yang hilang atau 
rusak, maka, menurut sebagian ulama hal tersebut dibolehkan, atau 
disunnahkan , bahkan kadang-kadang hukumnya menjadi wajib,( DR. Muh.
 Nu’aim Yasin, , Fikih Kedokteran,  hal 207 ) dengan alasan-alasan 
sebagai berikut  :
1/ Gadis tersebut tidak berbuat maksiat, kejadian yang menimpanya 
merupakan sebuah musibah. Ini sebagaimana orang yang patah tulang atau 
luka bakar atau tekelupas kulitnya akibat sebuah kecelakaan. Jika 
orang-orang yang kena musibah ini dibolehkan untuk melakukan operasi 
dengan tujuan memperbaiki organ tubuhnya yang rusak, maka orang yang 
kehilangan atau tersobek selaput daranyapun dibolehkan untuk melakukan 
operasi demi mengembalikan salah satu organ tubuh yang hilang tadi.
2/ Menyelamatkan gadis ini dari tuduhan dan fitnah yang ditujukan 
kepadanya akibat tidak mempunyai selaput dara lagi, sekaligus menutupi 
aib yang menimpa dirinya. Hal ini sesuai dengan ruh Islam yang 
memerintahkan untuk menutupi aib sauadaranya, sebagaimana yang tersebut 
dalam hadist :
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“ Barang siapa yang menutupi aib saudaranya di dunia, maka Allah 
akan menutupi aibnya di dunia dan akherat “ ( HR Muslim ) 
Namun, walaupun begitu, ada sebagian ulama tidak membolehkannya untuk
 melakukan selaput dara, karena mungkin saja orang lain tahu dari 
pihak-pihak tertentu, walaupun gadis tadi sudah melakakukan operasi 
selaput dara. Selain itu, aurat si gadis tadi akan dilihat oleh para 
dokter padahal operasi ini bukanlah hal yang darurat. Sedangkan untuk 
menghindari fitnah dan tuduhan bisa saja dengan menjelaskan kepada 
masyarakat atau calon suami, bahwa selaput dara yang hilang tadi akibat 
kecelakaan, bukan akibat perbuatan zina. ( DR, Muh. Muhtar Syenkity , Ahkam
 Jirahiyah Tibbiyah, hal 432 )
Dari dua pendapat di atas, maka siapa saja yang selaput daranya robek
 atau hilang karena kecelakaan , atau karena hal-hal lain yang tidak 
termasuk maksiat, sebaiknya tidak usah melakukan operasi selaput dara, 
karena hal tersebut bukanlah hal yang darurat. Akan tetapi jika memang 
keadaannya sangat mendesak,  dan membutuhkan operasi selaput dara serta 
hal itu benar-benar akan membawa maslahat yang besar, maka hal itu 
dibolehkan juga.
Kedua :  Hilang selaput dara karena zina dan masyarakat sudah
 mengetahuinya.
Orang yang berzina bisa dibagi menjadi dua keadaan  :
Keadaan pertama : dia telah melakukan zina, tapi 
masyarakat belum mengetahuinya.
Maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya, sebagian
 membolehkannya untuk melakukan operasi selaput dara, dengan dalih bahwa
 hal itu untuk menutup aib dan maksiat yang pernah dilakukannya, apalagi
 dia bersungguh –sungguh ingin bertaubat, dan ajaran Islam menganjurkan 
untuk menutup aib saudaranya. Namun, sebagian ulama yang lain tidak 
membolehkannya, karena hal itu akan mendorongnya dan mendorong orang 
lain untuk terus-menerus berbuat zina, karena dengan mudah dia akan 
melakukan operasi selaput dara setelah melakukan zina dan ini akan 
membawa mafsadah yang besar dalam masyarakat.
Kesimpulannya, dalam hal ini hendaknya dilihat keadaan orang yang 
ingin melakukan operasi selaput dara, jika memang benar-benar akan 
membawa maslahat yang besar , maka tidaklah mengapa, tapi jika tidak, 
sebaiknya diurungkan untuk melakukan operasi selaput dara.
Keadaan kedua : dia telah melakukan zina, tapi 
masyarakat sudah mengetahuinya.
Dalam keadaan seperti ini, para ulama sepakat untuk mengharamkan 
operasi selaput dara, karena madharatnya jauh lebih besar dan tidak ada 
masalahat dari operasi tersebut sama sekali.
Ketiga : Hilang selaput dara karena pernikahan . 
Hilangnya selaput dara seorang perempuan akibat  hubungan seksual 
dalam pernikahan, adalah sesuatu yang sangat wajar dan normal, bahkan 
hampir semua perempuan yang pernah menikah dan melakukan hubungan 
seksual dalam pernikahan tersebut pasti mengalaminya. Sehingga melakukan
 operasi selaput dara untuk mengembalikan selaput daranya yang telah 
sobek dan hilang adalah perbuatan sia-sia dan menghambur-hamburkan uang 
dan waktu.
Selain itu, mau tidak mau harus membuka auratnya yang paling vital 
dan tentunya akan dilihat oleh para dokter yang akan melakukan operasi. 
Dengan demikian melakukan operasi selaput dara dalam keadaan seperti ini
 adalah perbuatan yang tercela dan dilarang dalam Islam. Para dokter 
yang ikut menyetujui dan melakukan operasi juga ikut berdosa. Para ulama
 sepakat dalam hal ini.
Dicopy Dari Situs Dr. Ahmad Zain An Najah, MA 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar