Pengertian Ushul Fiqh ( 2 )
Makalah ini 
adalah lanjutan dari dua makalah sebelumnya, yang pembahasannya berkisar
 tentang hubungan antara pembaharuan dengan penguasaan Ilmu Ushul Fiqh, 
 perkembangan  Ilmu Ushul Fiqh  secara umum, perlunya  me-revisi ulang 
kajian ushul fiqh, dan membungkus kajian-nya  dengan bingkai dan 
metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia, memaksimalkan
 perannya di dalam menyelesaikan  berbagai permasalahan yang dihadapi 
umat manusia pada abad ini, dan seterusnya. Begitu juga telah dibahas 
tentang  pengertian Ushul dan Fiqh secara lebih mendetail,  disertai 
dengan contoh dan sebagian permasalahan yang terkait dengannya.  Untuk 
kali ini, insya Allah kita fokuskan pada pengertian Ushul Fiqh sebagai 
salah satu disiplin keilmuan  Islam.
Menurut pengertian para ulama ,
 Ushul Fiqh adalah :  “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil  fiqh 
secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang 
kondisi orang-orang yang menggunakannya . “  
- Dalil- dalil fiqh secara global ( Reverensi Penelitian )
 - Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut. ( Metodologi Penelitian )
 - Kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut, yaitu para mujtahid . ( Syarat-syarat Peneliti )
 
Kalau kita perhatikan secara 
seksama tiga bidang garapan tersebut, ternyata sesuai dengan kriteria 
yang ditawarkan oleh berbagai  Lembaga Penelitian yang sedang merebak 
akhir-akhir ini . Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Islam, jauh-jauh 
sebelumnya telah menyusun kajian yang sangat mendetail dan sistematis.  
Penelitian apapun, tidak bisa dipisahkan dengan tiga unsur di atas. Tak 
ayal, kalau sebagian ulama kontemporer menjadikan manhaj ushul fiqh 
sebagai pijakan di dalam menentukan manhaj-manhaj bagi  disiplin 
keilmuan lainnya .
Adapun keterangan dari pengertian ilmu ushul fiqh di atas adalah sebagai berikut :
( Ilmu yang membahas dalil- dalil  fiqh secara global )
Ilmu Ushul Fiqh ini hanya 
membahas dalil-dalil fiqh secara global, seperti Al Qur’an dan Sunnah  
dengan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kedua sumber 
tersebut seperti : Al ‘Am, Al Khos, Al Mutlaq, Al Muqayad, Al Mujmal, Al
 Mubayin,  Al Hakikah , Al Majaz dan lain-lainnya .  Selain itu, ilmu 
ini juga  membahas tentang Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil yang masih 
diperselisihkan oleh para ulama, yaitu Qaul Shohabi , Al Istishab, Al 
Istihsan, Sadd al-Dzara’idan Al Masholih al-Mursalah.
Adapun Ilmu Fiqh  ([1])
 pembahasannya terfokus pada dalil-dalil syar’i secara lebih terperinci ,
 seperti  : kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dengan menggunakan
 dalil firman Allah swt :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak ) 
menunjukkan  bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini 
dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ ( HR Bukhari no  : 1, Muslim  no : 4844 )
( Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut )
Selain membahas dalil- dalil secara global, Ilmu Ushul Fiqh juga membahas tata cara penggunaan dalil- dalil tersebut.
Tata cara penggunaan  dalil – dalil syar’I, bisa dibagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama ; Yang bersifat
 “ Al lafdhi “ ( tekstual) , yaitu tata cara penggunaan dalil-dalil 
syar’I yang terkait dengan  teks –teks Al Qur’an dan Sunnah . Tata cara 
ini bisa juga disebut dengan “ Al Ijtihad A-lBayani “ , seperti firman 
Allah  swt :
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ
“ Dan dirikanlah sholat “ ( QS Al An’am : 72 )
Perkataan “ Aqimuu “ 
menunjukkan perintah , dan perintah ini tidak terikat dengan unsur lain,
 di dalam kaedah ushul fiqh  disebutkan bahwa “ suatu perintah pada 
dasarnya  menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada hal-hal yang 
memalingkannya dari makna asli. “ . Dengan demikan kita mengetahui dari 
ayat di atas,bahwa  sholat hukumnya wajib.
Bagian kedua : Yang bersifat “
 Al-ma’nawy”  ( substansial ), yaitu tata cara menggunakan dalil-dali 
syar’I dengan melihat subtansi atau pesan dari teks-teks yang ada di 
dalam Al Qur’an dan Al Hadist , kemudian pesan tersebut diterapkan pada 
masalah-masalah lain yang tidak tersebut di dalam teks. Bagian ini bisa 
disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Qiyasi “ .  Tata cara ini dibagi 
menjadi tiga macam :
1/ Takhrij Al Manat , yaitu : mengeluarkan pesan atau alasan dari teks .
2 / Tanqih Al Manat , yaitu : menyeleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai.
3/ Tahqiq Al Manat : Menerapkan  pesan atau alasan yang sudah terseleksi pada masalah-masalh yang tidak tersebut dalam teks.
( Membahas kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut )
Orang-orang yang  menggunakan 
dalil- dalil tersebut adalah para mujtahid, yaitu orang yang mampu 
melakukan istinbath  hukum dari dalil syar’I.
Ilmu Ushul Fiqh ini membahas 
juga pengertian ijtihad dan mujtahid, syarat-syarat yang harus dimiliki 
oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid, tingkatan-tingkatan  
mujtahid, bentuk-bentuk ijtihad. Selain itu dibahas juga  pengertian “ 
muqallid ‘’, yaitu seseorang yang belum mampu melakukan proses ijitihad 
secara sendiri, sehingga dia harus mengikuti perkataan mujtahid di dalam
 mengetahui hukum-hukum syar’I. Di dalamnya diterangkan juga  tentang 
beberapa kondisi dimana seseorang dibolehkan bertaqlid. Berikutnya, 
dibahas juga pengertian ‘ talfiq ‘ , yaitu menggabungkan 
pendapat-pendapat di dalam berbagai madzhab dalam satu masalah atau 
lebih,kemudian diamalkan secar a bersama .
Jika ada pertanyaan : “ Al 
Maqasid dan Al Maslahat “ , dua hal yang akhir-akhir ini sering dilirik 
oleh sebagian  pemerhati syare’ah,  apakah termasuk dalam bagian dari 
ilmu ushul fiqh ? Jawabannya bahwa Al Ilmu bil-Maqasid atau pengetahuan 
tentang tujuan diturunkan syare’ah  oleh sebagain ulama dikatagorikan 
sebagai salah satu syarat ijitihad yang harus dimiliki oleh seorang 
mujtahid. Namun mayoritas ulama menganggapnya sebagai syarat pelengkap 
saja, bukan syarat utama, karena maqashid syare’ah  tidak bisa diketahui
 kecuali melalui teks-teks yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As 
Sunnah ([2]) . Ijitihad dengan menggunakan pertimbangan maslahat bisa disebut dengan “ Al Ijtihad Al Maqasidy “
Adapun Maslahat, atau Mashalih Mursalah  ([3])
 adalah dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama,  walaupun pada
 hakekatnya mereka menyepakati  bahwa maslahat yang masih dalam koridor 
sayre’ah bisa dipakai sebagai pembantu di dalam menentukan hukum dalam 
suatu masalah. Dan itu semua kembalinya kepada pemahaman terhadap 
teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijtihad dengan 
menggunakan koridor maslahat disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al 
Istislahy “
Dari keterangan di atas bisa 
disimpulkan,  bahwa seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak 
bisa dilepaskan dari pemahaman kita terhadap teks-teks Al Qur’an dan As 
Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu 
yang mempelajari kaidah-kaidah dalam teks-teks tersebut. Kaidah-kaidah 
tersebut didasarkan pada kaidah Bahasa Arab. Kaidah semacam ini sudah 
baku dan telah disepakati oleh para ulama, walaupun terdapat perbedaan 
di dalam beberapa masalah.  Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi 
seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti 
kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak 
memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi 
setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan 
alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut 
disiplin keilmuan yang ada.
Semoga tulisan yang sedikit 
dan singkat ini, bisa memacu kita untuk bersungguh-sungguh mempelajari 
Ilmu Ushul Fiqh ini.  Tanpa itu , proses ijtihad akan menyimpang dari 
jalannya yang benar, dan selanjutnya akan  menunai kerusakan dan 
kekacauan . Semoga  Allah memberikan kepada kita pemahaman yang benar  
terhadap agama ini, untuk selanjutkan kita amalkan  di dalam kehiduan 
kita sehari-hari.  Wallahu A’lam.   * * *
*
 Makalah ini disampaikan dalam acara  Paket Kader Syare’ah  ( PAKAIS )  
yang diadakan oleh  Senat Mahasiswa Fakultas  Syare’ah Islamiyah ( 
SEMA-FSI  ) di Wisma Nusantara pada hari Kamis tanggal 16 Pebruari 2006 M
 .
(
 [1] )  Sebagian ulama membatasi pengertian Ilmu Fiqh pada 
masalah-masalah yang bisa dijadikan obyek proses ijtihad, yaitu  
masalah-masalah yang masih diperselisihkan para ulama,  seperti 
kewajiban membaca sholawat pada tasyahud akhir ketika sholat, kewajiban 
berniat ketika berwudlu, dan lain-lainnya.
(
 [2] )  Para ulama menyebutkan cara-cara untuk mengetahui “ Maqasid 
Syare’ah “ diantaranya adalah : 1/  mengadakan pembacaan yang utuh dan 
menyeluruh terhadap pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks Al 
Qur’an dan As Sunnah, berikut alasan -alasannya, 2/ memahami bahasa Arab
 dengan baik, 3/ memahami  alur pembicaraan yang terdapat di dalam teks,
 4/ mengikuti pemahaman para sahabat, karena  mereka hidup bersama wahyu
 . 5/ mengetahui masalah-masalah yang tidak disinggung oleh wahyu  baik 
secara langsung , maupun tidak langung .

Tidak ada komentar:
Posting Komentar