Rabu, 08 Agustus 2012

Waktu Itu Mahal

MAHALNYA WAKTU BAGI SEORANG MUKMIN

Kaum muslimin seiman dan seaqidah yang dimuliakan Allah SWT
Jika orang barat mengatakan “time is money” waktu adalah uang, maka pepatah arab mengatakan “al-waqtu huwa al-hayâh” waktu adalah kehidupan. Ada juga yang mengatakan
الوَقْتُ كَالسَّيْفِ #   فَإِنْلَمْ تَقْطَعْ قَطَعَكَ
Waktu ibarat pedang
Jika kau tidak menggunakannya, maka akan memotongmu

Tiga kata mutiara ini menggambarkan akan pentingnya waktu bagi kehidupan seseorang. Jika yang pertama menggambarkan akan pemikiran materialistis, tetapi yang kedua dan ketiga menggambarkan arti yang lebih penting dari sekedar uang.
Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah ‘kumpulan hari-hari’, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [Hilyatul Auliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
Sekali lagi, ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu,  tanpa hal yang berarti untuk agama dan kemaslahatan umat, maknanya kita telah membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu itu sangat berharga, maka jangan biarkan ia berlalu begitu saja.

Jama’ah shalat jum’ah yang dimuliakan Allah SWT
Ulama dan Waktu
Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu. Mereka adalah contoh terbaik dalam menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223 H-310 H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika  sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad.
Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim, beliau tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya beliau mengisinya dengan menulis hingga menghasilkan karya ‘Zaadul Ma`aad’. Imam Nawawi tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya.
Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek dari  Imam Ibnu Taimiyah, tiap kali masuk ke kakus, beliau memerintahkan anaknya (orang tua Imam Ibnu Taimiyah) untuk membacakan suatu kitab dengan suara keras, hingga terdengar olehnya. Tak aneh jika sikap sang kakek ini tertular kepada cucunya. Suatu ketika Imam Ibnu Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan agar beliau untuk sementara waktu menghentikan dulu kegiatan belajar mengajarnya karena hal itu dikhawatirkan dapat memperparah kondisinya. Berkata Imam Ibnu Taimiyah kepada dokternya, "bukankah jika jiwa bahagia dan gembira, ia bisa  memperkuat daya tahan tubuh", sang dokter membenarkannya. "Maka sesungguhnya jiwaku merasa tenang jika berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa kuat dan hanya dengan itu saya dapat beristirahat."
Itulah beberapa gambaran para salaf dalam menggunakan waktunya. Mereka tidak ingin waktu terbuang sia-sia tanpa suatu amalan yang bermanfaat. Sekarang marilah kita bertanya pada diri kita, sudahkah kita mengikuti jejak mereka dalam menjaga waktu?. Berapa hadis dan ayat yang telah kita baca dan kita hafal pada hari ini?. Seberapakah amalan kebaikan yang kita lakukan pada hari ini?. Ini menjadi instropeksi pada diri kita utuk menyusun program sehingga amalan kita dapat terarah dan dapat dievaluasi.

Kaum muslimin sidang Jum’at yang berbahagia…
Intropeksi Diri
Sudah selazimnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhâsabah an-nafsi 'intropeksi diri', yaitu  menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita.  
Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan kesuksesan dengan modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung kembali perdagangannya. Berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa pemasukannya, di mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di mana keuntungannya, berapa besar keuntungannya dari pada kerugiannya.
Ketika kerugiannya lebih besar dari pada keuntungannya maka ia menjadi sangat menyesal sekali dan mengalami kesedihan yang luar biasa. Dan sebaiknya ketika keuntungannya lebih besar dari pada kerugiannya  maka ia merasa senang dan bergembira sekali. Untuk selanjutnya  ia melakukan kalkulasi bisnisnya kembali, memenej dan membuat schedule untuk tahun berikutnya.
Yang demikian itu pada urusan duniawi, begitu concern-nya  dan sangat telitinya ia dalam urusan dunia ini. Bagaimana dengan urusan akhirat?. Padahal Allah Subhanahu wa SWT  berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(Q.S. An-Nisaa:77)

Karena itu  muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan. Seandainya tidak sanggup setiap hari untuk instropeksi atau menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada setiap pekan. Jika setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, hendaklah setiap bulan. Dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun. Akan tetapi semakin lama kita menunda dalam muhasabah, akan semakin lama pula kita dalam perbaikan diri.
Gunakan waktu malam ketika hendak tidur untuk meneliti kegiatan kita selama satu hari. Bertaubat dan bersitighfarlah jika siang hari melakukan kesalahan. Dan rencanakan hari kemudian dengan kebaikan yang dapat menghapus dosa pada hari yang lalu.

Jama’ah shalat jum’ah yang dimuliakan Allah SWT
Optimalkan Amal
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya. Dan umur manusia merupakan rahasia Allah SWT.  Kwalitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya.
Ibnu Mas’ud RA berkata,
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقُصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
"Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku." (Mawaridu adh-Dham’an : 3/30).

Imam Ibnul Qoyyim RHM juga mengatakan,

اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” [ Al fawaid :48 ]

Bekerjalah pada siang dan malammu, janganlah mengakhirkan pekerjaan siang untuk dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan pekerjaan malam ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di akhirkankan hingga esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena malas diakhirkan hingga lusanya. Jangan katakan, "Nanti akan kuamalkan, sebentar lagi akan kukerjakan." Karena setiap manusia akan ditanya pada hari kiamat, mengenai umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya sudahkah ia amalkan, dan tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ )
Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)

Semoga Allah Subhanahu wa SWT memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam hidup dan umur kita.

جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاُكمْ فِى زُمْرَتِهِ الْمُوَحِّدِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ
[Amru]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar