MAHALNYA WAKTU BAGI SEORANG MUKMIN
Kaum muslimin seiman dan seaqidah yang dimuliakan
Allah SWT
Jika orang barat
mengatakan “time is money” waktu adalah uang, maka pepatah arab
mengatakan “al-waqtu huwa al-hayâh” waktu adalah kehidupan.
Ada juga yang mengatakan
الوَقْتُ كَالسَّيْفِ # فَإِنْلَمْ
تَقْطَعْ قَطَعَكَ
Waktu ibarat
pedang
Jika kau tidak
menggunakannya, maka akan memotongmu
Tiga kata mutiara
ini menggambarkan akan pentingnya waktu bagi kehidupan seseorang. Jika
yang pertama menggambarkan akan pemikiran materialistis, tetapi yang
kedua dan ketiga menggambarkan arti yang lebih penting dari sekedar
uang.
Yang dimaksud dengan kehidupan
adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat.
Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia,
dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan sengaja atau tidak
sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan
al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا
ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam
(manusia), sesungguhnya anda hanyalah ‘kumpulan hari-hari’, maka jika
hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [Hilyatul
Auliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
Sekali lagi, ketika kita menyia-nyiakan dan
membuang waktu, tanpa hal yang berarti untuk agama dan
kemaslahatan umat, maknanya kita telah membunuh diri kita sendiri.
Betapa waktu itu sangat berharga, maka jangan biarkan ia berlalu begitu
saja.
Jama’ah shalat jum’ah yang dimuliakan Allah SWT
Ulama dan Waktu
Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran
berharga dalam menghargai waktu. Mereka adalah contoh terbaik dalam
menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223 H-310 H) sepanjang
hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai
karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh
14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap
harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika
sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis
suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad.
Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim, beliau
tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga
selama safarnya beliau mengisinya dengan menulis hingga menghasilkan
karya ‘Zaadul Ma`aad’. Imam Nawawi tidur dengan bersandarkan
sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka
beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya.
Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek dari
Imam Ibnu Taimiyah, tiap kali masuk ke kakus, beliau
memerintahkan anaknya (orang tua Imam Ibnu Taimiyah) untuk membacakan
suatu kitab dengan suara keras, hingga terdengar olehnya. Tak aneh jika
sikap sang kakek ini tertular kepada cucunya. Suatu ketika Imam Ibnu
Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan agar beliau untuk sementara
waktu menghentikan dulu kegiatan belajar mengajarnya karena hal itu
dikhawatirkan dapat memperparah kondisinya. Berkata Imam Ibnu Taimiyah
kepada dokternya, "bukankah jika jiwa bahagia dan gembira, ia bisa memperkuat
daya tahan tubuh", sang dokter membenarkannya. "Maka sesungguhnya
jiwaku merasa tenang jika berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa
kuat dan hanya dengan itu saya dapat beristirahat."
Itulah beberapa gambaran para salaf dalam
menggunakan waktunya. Mereka tidak ingin waktu terbuang sia-sia tanpa
suatu amalan yang bermanfaat. Sekarang marilah kita bertanya pada diri
kita, sudahkah kita mengikuti jejak mereka dalam menjaga waktu?. Berapa
hadis dan ayat yang telah kita baca dan kita hafal pada hari ini?.
Seberapakah amalan kebaikan yang kita lakukan pada hari ini?. Ini
menjadi instropeksi pada diri kita utuk menyusun program sehingga amalan
kita dapat terarah dan dapat dievaluasi.
Kaum
muslimin sidang Jum’at yang berbahagia…
Intropeksi Diri
Sudah selazimnya bagi seorang muslim untuk
melakukan muhâsabah an-nafsi 'intropeksi diri', yaitu menghitung-hitung
dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia
perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang
ia derita.
Sebagaimana yang
dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan kesuksesan dengan
modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung kembali
perdagangannya. Berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa
pemasukannya, di mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di
mana keuntungannya, berapa besar keuntungannya dari pada kerugiannya.
Ketika kerugiannya lebih besar dari pada
keuntungannya maka ia menjadi sangat menyesal sekali dan mengalami
kesedihan yang luar biasa. Dan sebaiknya ketika keuntungannya lebih
besar dari pada kerugiannya maka ia merasa senang dan
bergembira sekali. Untuk selanjutnya ia melakukan
kalkulasi bisnisnya kembali, memenej dan membuat schedule untuk tahun
berikutnya.
Yang demikian itu pada urusan
duniawi, begitu concern-nya dan sangat telitinya ia dalam
urusan dunia ini. Bagaimana dengan urusan akhirat?. Padahal Allah
Subhanahu wa SWT berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا
قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ
فَتِيلاً
“Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan
anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(Q.S. An-Nisaa:77)
Karena itu
muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan. Seandainya tidak
sanggup setiap hari untuk instropeksi atau menghitungkan dirinya
hendaklah dilakukan pada setiap pekan. Jika setiap pekan ia masih juga
tak dapat melakukannya, hendaklah setiap bulan. Dan kalau tidak bisa
juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun.
Akan tetapi semakin lama kita menunda dalam muhasabah, akan semakin lama
pula kita dalam perbaikan diri.
Gunakan waktu malam ketika hendak tidur untuk
meneliti kegiatan kita selama satu hari. Bertaubat dan bersitighfarlah
jika siang hari melakukan kesalahan. Dan rencanakan hari kemudian dengan
kebaikan yang dapat menghapus dosa pada hari yang lalu.
Jama’ah
shalat jum’ah yang dimuliakan Allah SWT
Optimalkan Amal
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya. Dan
umur manusia merupakan rahasia Allah SWT. Kwalitas umur
seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika
dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah maka kematiannya adalah
baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk
menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka
kematiannya merupakan petaka besar baginya.
Ibnu Mas’ud RA berkata,
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ
غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقُصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
"Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila
matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak
bertambah sedikitpun amalanku." (Mawaridu adh-Dham’an : 3/30).
Imam Ibnul Qoyyim
RHM juga mengatakan,
اِضَاعَةُ
الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ
عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا
وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari
kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat)
Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari
dunia dan penghuninya.” [ Al fawaid :48 ]
Bekerjalah pada
siang dan malammu, janganlah mengakhirkan pekerjaan siang untuk
dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan pekerjaan malam
ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di akhirkankan hingga
esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena malas diakhirkan hingga
lusanya. Jangan katakan, "Nanti akan kuamalkan, sebentar lagi akan
kukerjakan." Karena setiap manusia akan ditanya pada hari kiamat,
mengenai umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa
ia gunakan, tentang ilmunya sudahkah ia amalkan, dan tentang hartanya,
dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?. Sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ
عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ
أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ )
Tidak akan
bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang:
tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia
amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia
belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)
Semoga Allah
Subhanahu wa SWT memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam
hidup dan umur kita.
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ
مِنَ الْفَائِزِيْنَ الآمِنِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاُكمْ فِى
زُمْرَتِهِ الْمُوَحِّدِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمِ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ
[Amru]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar