Kamis, 16 Mei 2013

Sunnah


Sunnah,
Jalan Kejayaan Dunia Akhirat

A
ktsaru iqtida’an lirasuulillah (sahabat yang  paling banyak meneladani Rasulullah) begitulah Abdullah bin Mas’ud  dikenal di kalangan para sahabat, pernah mendengar orang yang bersin sembari membaca, “Alhamdulillah, wash shalaatu wassalamu ‘ala rasulillah,”. Seketika itu, beliau menegurnya dan berkata, “Tidak demikian yang diajarkan oleh Rasulullah! Beliau hanya bersabda, “Barangsiapa yang bersin di antara kalian, maka hendaknya memuji Allah (membaca hamdalah),” beliau tidak mengatakan, “Dan hendaknya bershalawat atas Rasulullah!”
Begitulah para sahabat terdahulu, senantiasa berusaha meneladani sunnah Rasulullah kapanpun dan di manapun mereka berada. Karena mereka sadar hanya dengan sunnah Rasulullah, hidup seseorang ataupun masyarakat akan menjadi mulia. Sebaliknya, bila lawan dari sunnah yaitu bid’ah merajalela di setiap lapisan, maka kebinasaanlah akhirnya. Walaupun, bid’ah itu dianggap baik oleh seluruh manusia sehingga dengannya banyak orang yang tertipu, menganggap bahwa amalan itu akan mengantarkannya menuju Jannah.

·      Menelisik makna sunnah dan bid’ah
Rasa cinta atau benci adalah faktor yang menggerakkan hati untuk menerima atau menolak, diam atau bergerak. Namun rasa itu baru muncul ketika seseorang telah mengenali objek yang hendak dicinta atau dibenci. Tanpa mengenali, seseorang belum memiliki keberpihakan, sedangkan salah dalam mengenali, maka akibatnya lebih fatal lagi. Dia akan mencintai sesuatu yang mestinya dia benci dan membenci apa yang selayaknya dia cinta. Oleh karenanya, mengenali sunnah dan lawannya adalah sebuah kepastian yang harus dilakukan.
Dalam matan kedelapan puluh dari kitab Aqidah Ath Thahawiyah, penulis mengatakan “Kami mengikuti Sunnah dan Jamaah; menjauhi syudzudz, khilaf dan furqah” ini adalah prinsip dasar ahlu sunnah wal jama’ah. Inilah cara menjadi ahlus sunnah wal jama’ah menurut perspektif ahlus sunnah wal jama’ah. Sunnah artinya jalan. Secara istilah, Sunnah berarti ilmu yang diwariskan Nabi SAW, meliputi semua perkara aqidah, fiqih, akhlaq dan lain-lain. Semua perkara yang ditunjukkan oleh dalil yang shahih, itulah sunnah yang wajib diikuti. Rasulullah SAW bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، فَتَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ  

“Sesungguhnya, barangsiapa d iantara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat). Maka dari itu, hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sesudahku. Berpegangteguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dengan hadits ini, Rasulullah SAW memerintahkan untuk berpegang kepada sunnah sekaligus melarang kita berbuat bid’ah. Bid’ah adalah semua keyakinan atau amalan yang dianggap ibadah namun tidak dilandasi dalil, dan berbagai bentuk muamalah yang bertentangan dengan dalil. Ia laksana fatamorgana di padang pasir bagi pelakunya. Disangkanya air yang mampu menghilangkan derita dahaga, ternyata panas api yang menambah penderitaanya. Mengenai hal ini Nabi memberikan rambu yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu :
مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tiada perintah (contoh)nya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan bahwa bid’ah lebih disukai iblis dari pada dosa besar. Karena orang yang melakukan dosa besar pasti menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu kesalahan sehingga membuat hatinya gelisah, sehingga memungkinkan ia untuk bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah, bukan saja tidak sadar bahwa yang dilakukan mengandung dosa, bahkan ia menyangka apa yang dilakukannya mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya. Dan terkadang bid’ah pulalah yang menjadi perantara perbuatan-perbuatan syirik. Seperti bid’ah-bid’ah yang dilakukan di kuburan sehingga ada yang berdoa dan menganggungkan penghuni kubur. Naudzubillah min dzalik.

·       Pembohong yang paling besar
Imam Malik pernah berkata, “Orang yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam dan memandangnya sebagai suatu kebaikan, sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad SAW mengkhianati risalah.”
Muslim yang sehat akal pikirannya pasti tidak akan pernah berpikir bahwa Nabi SAW menyembunyikan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SAW dengan sebaik-baiknya. Semuanya percaya kepada Nabi bahwa beliau telah menyampaikan semua syariat yang telah diwahyukan Allah SWT untuk disampaikan kepada ummatnya. Hal ini dikuatkan dengan ayat Allah SWT di dalam QS. Al Maidah : 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai aturan hidup kalian.”
Dari ayat di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa syariat telah sempurna, maka barangsiapa yang melakukan bid’ah berarti menuduh Rasulullah tidak amanah dalam menyampaikan wahyu. Bahkan yang lebih parah lagi berarti orang itu telah menuduh Allah SWT salah dalam menurunkan ayat tersebut. Karena ketika dia melakukan kebid’ahan berarti masih ada syariat yang belum sempurna. Padahal Allah telah menegaskan bahwa syariat telah disempurnakan.
Perlu diketahui bahwasannya orang yang melakukan suatu perbuatan yang tiada satu sunnah pun mencontohkannya, berarti dia telah melakukan kedustaan yang paling besar. Karena seburuk-buruk dusta adalah dusta atas nama Nabi Muhammad SAW dalam hal hadits. Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka ambillah tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)

Dusta atas nama Nabi SAW adalah membuat suatu ucapan lalu mengklaim bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Nabi Muhammad SAW. Dalam disiplin ilmu hadits, tipuan ini disebut dengan “Wadh’u” dan haditsnya dijuluki hadits maudhu’.
Ulama ahli hadits telah menerapkan mekanisme detail dan teliti dalam membedakan mana hadits Nabi SAW dan mana yang dicurigai bukan hadits nabi SAW (hadits dhaif) atau memang benar-benar bukan hadits Nabi SAW alias maudhu’. Membuat hadits maudhu’ merupakan kedustaan besar karena melecehkan Nabi SAW, menyatakan diri sebagai pembuat syariat dan menyesatkan ummat. Serta sadar atau tidak orang  tersebut telah menuduh Allah dan RasulNya belum sempurna dalam menurunkan ajaran Islam sehingga perlu ada tambahan-tambahan lagi.

·       Dibalik sunnah ada kejayaan
Sejauh apapun kita melangkah, merangkai potongan kehidupan, merajut benang cita-cita yang diharapkan, ketika semuanya tidak diarahkan dengan apa yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya kita laksana membangun rumah di tepi jurang yang terjal dan dalam. Benarlah gambaran Allah di dalam al Qur’an tentang al-Ankabut (laba-laba), dialah salah satu makhluk pendisain yang sangat unik dan menarik. Dengan bentuk bangunan yang sedemikian hebat dan mengagumkan. Tetapi dibalik kemenarikan terpampang jelas kerapuhan dari bangunan yang dibuat. Demikianlah Allah membuat ayat-ayat agar diambil pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Belajar dari sarang laba-laba, begitulah tamsilan (gambaran) tata kelola suatu peradaban yang dibangun tidak dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya. Megah dipandang tetapi rapuh dalam kehidupan. Sangat bertolak belakang dengan peradaban Islam yang dibangun atas dasar syariat Allah, di mana nilai-nilai ilahiyah ditanamkan di setiap pribadi masyarakatnya sehingga mental setiap individu terbina dengan utuh. Tidak terpangaruh dengan gerusan arus kemewahan dunia sehingga orientasinya hanya tertuju kepada Allah. Karena sejatinya kesuksesan bukan diukur dari banyaknya bangunan yang telah didirikan, tetapi kejayaan suatu peradaban diukur dari kemanfaatan setiap individu masyarakat terhadap sekitarnya. Mampu menjadi rahmat bagi semesta alam menurut versi Allah dan rasul-Nya yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
Imam Ibnu Al Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “Dari seratus tiga belas atau lima belas ribu para sahabat ketika rasul wafat, sahabat yang bergelar rijal (lelaki pilihan) hanya sebanyak 139 orang.” Dari keterangan ini terdapat kesimpulan bahwasannya mentalitas seorang sahabat yang rijal lebih kurang setara dengan seribu orang. Merekalah para sahabat yang cinta sunnah dan benci bid’ah, sahabat yang tidak terkena wahn (cinta dunia dan takut mati), sahabat yang tetap teguh memegang sunnah walau apapun datang menimpa mereka. Merekalah generasi Thoifah Mansurah (kelompok yang ditolong) pertama dalam Islam. Hati mereka suci dengan sentuhan ayat ilahi, ilmunya sangat dalam, taklifnya sedikit. Allah memilih mereka sebagai pengawal Nabi-Nya dan tonggak dien-Nya. Sehingga kita diperintahkan untuk mengikutinya, meneladani akhlaknya semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.
Benarlah fakta sejarah menunjukkan, kejayaan yang diperoleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in disebabkan mereka memegang teguh sunnah nabi-Nya. Ambil salah satu contoh, ketika masa Umar bin Khattab, betapa keadilan begitu dijunjung tinggi, ummat terperhatikan dengan seksama, wilayah-wilayah di luar Arab berhasil di-Islamkan dengan sambutan yang hangat dan kemiskinan pun dapat teratasi dengan baik. Begitu juga ketika masa kepemimpinan keturunan Umar bin Khattab, yaitu Umar bin Abdul Aziz - yang disebut-sebut oleh para ulama sebagai khalifah kelima -, walaupun hanya menjabat dua setengah tahun namun kejayaan dapat terwujud di setiap sisi kehidupan. Sampai ada ungkapan, “Serigala dan domba saling berteman dan tidak saling menerkam” menandakan betapa terperhatikannya semua makhluk yang hidup di bawah pemerintahan Islam. Sekali lagi ini hanya bisa terwujud bila kita kembali kepada sunnah. Hal ini senada dengan janji Allah SWT dalam QS. An Nur : 55 yang berbunyi : “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”  Karena sejatinya kejayaan hanya akan muncul dengan iman dan amal shaleh, serta iman dan amal shaleh hanya bisa dihadirkan bila kita tetap berada di atas sunnah yang telah digariskan.
Sebaliknya bila kita tidak berada di atas sunnah, maka sesungguhnya kejayaan akan semakin menjauh dan kebinasaan akan terus mendekat. Sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam QS. An Nahl : 112 yang berbunyi : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”  Nas’alullahal ‘aafiyah.
(Abu Hafizh Al Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar