Sunnah,
Jalan Kejayaan Dunia Akhirat
A
|
ktsaru
iqtida’an lirasuulillah (sahabat yang
paling banyak meneladani Rasulullah) begitulah Abdullah bin Mas’ud dikenal di kalangan para sahabat, pernah
mendengar orang yang bersin sembari membaca, “Alhamdulillah, wash shalaatu
wassalamu ‘ala rasulillah,”. Seketika itu, beliau menegurnya dan berkata, “Tidak
demikian yang diajarkan oleh Rasulullah! Beliau hanya bersabda, “Barangsiapa
yang bersin di antara kalian, maka hendaknya memuji Allah (membaca hamdalah),”
beliau tidak mengatakan, “Dan hendaknya bershalawat atas Rasulullah!”
Begitulah para sahabat terdahulu, senantiasa berusaha meneladani sunnah
Rasulullah kapanpun dan di manapun mereka berada. Karena mereka sadar hanya
dengan sunnah Rasulullah, hidup seseorang ataupun masyarakat akan menjadi
mulia. Sebaliknya, bila lawan dari sunnah yaitu bid’ah merajalela di setiap
lapisan, maka kebinasaanlah akhirnya. Walaupun, bid’ah itu dianggap baik oleh
seluruh manusia sehingga dengannya banyak orang yang tertipu, menganggap bahwa
amalan itu akan mengantarkannya menuju Jannah.
·
Menelisik makna sunnah dan bid’ah
Rasa
cinta atau benci adalah faktor yang menggerakkan hati untuk menerima atau
menolak, diam atau bergerak. Namun rasa itu baru muncul ketika seseorang telah
mengenali objek yang hendak dicinta atau dibenci. Tanpa mengenali, seseorang
belum memiliki keberpihakan, sedangkan salah dalam mengenali, maka akibatnya
lebih fatal lagi. Dia akan mencintai sesuatu yang mestinya dia benci dan
membenci apa yang selayaknya dia cinta. Oleh karenanya, mengenali sunnah dan lawannya
adalah sebuah kepastian yang harus dilakukan.
فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، فَتَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya, barangsiapa d iantara kalian yang hidup
sepeninggalku akan melihat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat). Maka dari itu,
hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat
petunjuk sesudahku. Berpegangteguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan
gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap perkara yang diada-adakan.
Sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu
adalah kesesatan”. (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dengan hadits ini,
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berpegang kepada sunnah sekaligus melarang
kita berbuat bid’ah. Bid’ah adalah semua keyakinan atau amalan yang dianggap
ibadah namun tidak dilandasi dalil, dan berbagai bentuk muamalah yang
bertentangan dengan dalil. Ia laksana fatamorgana di padang pasir bagi
pelakunya. Disangkanya air yang mampu menghilangkan derita dahaga, ternyata
panas api yang menambah penderitaanya. Mengenai hal ini Nabi memberikan rambu
yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu :
مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه
مسلم)
“Barangsiapa
yang beramal dengan suatu amalan yang tiada perintah (contoh)nya dari kami maka
ia tertolak.” (HR. Muslim)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyah mengatakan bahwa bid’ah lebih disukai iblis dari pada dosa besar.
Karena orang yang melakukan dosa besar pasti menyadari bahwa apa yang
dilakukannya merupakan suatu kesalahan sehingga membuat hatinya gelisah,
sehingga memungkinkan ia untuk bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah, bukan saja
tidak sadar bahwa yang dilakukan mengandung dosa, bahkan ia menyangka apa yang
dilakukannya mendatangkan pahala. Maka sulit diharapkan taubatnya. Dan
terkadang bid’ah pulalah yang menjadi perantara perbuatan-perbuatan syirik.
Seperti bid’ah-bid’ah yang dilakukan di kuburan sehingga ada yang berdoa dan
menganggungkan penghuni kubur. Naudzubillah
min dzalik.
·
Pembohong yang paling besar
Imam Malik pernah
berkata, “Orang yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam dan memandangnya
sebagai suatu kebaikan, sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad SAW
mengkhianati risalah.”
Muslim yang sehat akal
pikirannya pasti tidak akan pernah berpikir bahwa Nabi SAW menyembunyikan suatu
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SAW dengan sebaik-baiknya. Semuanya
percaya kepada Nabi bahwa beliau telah menyampaikan semua syariat yang telah
diwahyukan Allah SWT untuk disampaikan kepada ummatnya. Hal ini dikuatkan
dengan ayat Allah SWT di dalam QS. Al Maidah : 3, “Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan kepada kalian
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai aturan hidup kalian.”
Dari ayat di atas, maka
jelaslah bagi kita bahwa syariat telah sempurna, maka barangsiapa yang
melakukan bid’ah berarti menuduh Rasulullah tidak amanah dalam menyampaikan
wahyu. Bahkan yang lebih parah lagi berarti orang itu telah menuduh Allah SWT
salah dalam menurunkan ayat tersebut. Karena ketika dia melakukan kebid’ahan
berarti masih ada syariat yang belum sempurna. Padahal Allah telah menegaskan
bahwa syariat telah disempurnakan.
Perlu diketahui
bahwasannya orang yang melakukan suatu perbuatan yang tiada satu sunnah pun mencontohkannya,
berarti dia telah melakukan kedustaan yang paling besar. Karena seburuk-buruk
dusta adalah dusta atas nama Nabi Muhammad SAW
dalam hal hadits. Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang berdusta atas namaku maka ambillah tempat duduknya di neraka.” (HR.
Bukhari)
Dusta atas nama Nabi SAW adalah membuat suatu
ucapan lalu mengklaim bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Nabi Muhammad SAW.
Dalam disiplin ilmu hadits, tipuan ini disebut dengan “Wadh’u” dan
haditsnya dijuluki hadits maudhu’.
Ulama ahli hadits telah menerapkan mekanisme
detail dan teliti dalam membedakan mana hadits Nabi SAW dan mana yang dicurigai
bukan hadits nabi SAW (hadits dhaif)
atau memang benar-benar bukan hadits Nabi SAW alias maudhu’. Membuat
hadits maudhu’ merupakan kedustaan besar karena melecehkan Nabi SAW,
menyatakan diri sebagai pembuat syariat dan menyesatkan ummat. Serta sadar atau
tidak orang tersebut telah menuduh Allah
dan RasulNya belum sempurna dalam menurunkan ajaran Islam sehingga perlu ada
tambahan-tambahan lagi.
· Dibalik sunnah ada kejayaan
Sejauh apapun kita melangkah, merangkai
potongan kehidupan, merajut benang cita-cita yang diharapkan, ketika semuanya
tidak diarahkan dengan apa yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya
kita laksana membangun rumah di tepi jurang yang terjal dan dalam. Benarlah
gambaran Allah di dalam al Qur’an tentang al-Ankabut
(laba-laba), dialah salah satu makhluk pendisain yang sangat unik dan menarik.
Dengan bentuk bangunan yang sedemikian hebat dan mengagumkan. Tetapi dibalik
kemenarikan terpampang jelas kerapuhan dari bangunan yang dibuat. Demikianlah
Allah membuat ayat-ayat agar diambil pelajaran bagi orang-orang yang berakal.
Belajar dari sarang laba-laba, begitulah tamsilan (gambaran) tata kelola suatu
peradaban yang dibangun tidak dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya. Megah
dipandang tetapi rapuh dalam kehidupan. Sangat bertolak belakang dengan
peradaban Islam yang dibangun atas dasar syariat Allah, di mana nilai-nilai
ilahiyah ditanamkan di setiap pribadi masyarakatnya sehingga mental setiap
individu terbina dengan utuh. Tidak terpangaruh dengan gerusan arus kemewahan
dunia sehingga orientasinya hanya tertuju kepada Allah. Karena sejatinya
kesuksesan bukan diukur dari banyaknya bangunan yang telah didirikan, tetapi
kejayaan suatu peradaban diukur dari kemanfaatan setiap individu masyarakat
terhadap sekitarnya. Mampu menjadi rahmat bagi semesta alam menurut versi Allah
dan rasul-Nya yaitu amar ma’ruf nahi
munkar.
Imam Ibnu Al Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “Dari
seratus tiga belas atau lima belas ribu para sahabat ketika rasul wafat,
sahabat yang bergelar rijal (lelaki pilihan) hanya sebanyak 139 orang.”
Dari keterangan ini terdapat kesimpulan bahwasannya mentalitas seorang sahabat
yang rijal lebih kurang setara dengan seribu orang. Merekalah para
sahabat yang cinta sunnah dan benci bid’ah, sahabat yang tidak terkena wahn (cinta dunia dan takut mati),
sahabat yang tetap teguh memegang sunnah walau apapun datang menimpa mereka.
Merekalah generasi Thoifah Mansurah
(kelompok yang ditolong) pertama dalam Islam. Hati mereka suci dengan sentuhan
ayat ilahi, ilmunya sangat dalam, taklifnya sedikit. Allah memilih mereka
sebagai pengawal Nabi-Nya dan tonggak dien-Nya. Sehingga kita diperintahkan
untuk mengikutinya, meneladani akhlaknya semaksimal mungkin. Karena
sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.
Benarlah fakta sejarah menunjukkan, kejayaan
yang diperoleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in disebabkan mereka
memegang teguh sunnah nabi-Nya. Ambil salah satu contoh, ketika masa Umar bin
Khattab, betapa keadilan begitu dijunjung tinggi, ummat terperhatikan dengan
seksama, wilayah-wilayah di luar Arab berhasil di-Islamkan dengan sambutan yang
hangat dan kemiskinan pun dapat teratasi dengan baik. Begitu juga ketika masa
kepemimpinan keturunan Umar bin Khattab, yaitu Umar bin Abdul Aziz - yang
disebut-sebut oleh para ulama sebagai khalifah kelima -, walaupun hanya
menjabat dua setengah tahun namun kejayaan dapat terwujud di setiap sisi
kehidupan. Sampai ada ungkapan, “Serigala dan domba saling berteman dan tidak
saling menerkam” menandakan betapa terperhatikannya semua makhluk yang hidup di
bawah pemerintahan Islam. Sekali lagi ini hanya bisa terwujud bila kita kembali
kepada sunnah. Hal ini senada dengan janji Allah SWT dalam QS. An Nur : 55 yang
berbunyi : “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.” Karena sejatinya kejayaan hanya akan muncul
dengan iman dan amal shaleh, serta iman dan amal shaleh hanya bisa dihadirkan
bila kita tetap berada di atas sunnah yang telah digariskan.
Sebaliknya bila kita tidak berada di atas
sunnah, maka sesungguhnya kejayaan akan semakin menjauh dan kebinasaan akan
terus mendekat. Sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam QS. An Nahl : 112 yang
berbunyi : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari
segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena
itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan
apa yang selalu mereka perbuat.”
Nas’alullahal ‘aafiyah.
(Abu Hafizh Al Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar