Kamis, 16 Mei 2013

Isra' Mi'raj


WISATA TERDAHSYAT SEJAGAT RAYA

Langit Mekkah serasa mendung kelabu, seluruh mata memandang penuh kebencian dan kedengkian, serta pada saat itu keceriaan Rasulullah hilang beberapa saat. Ya ... itulah tahun kesedihan yang dialami Rasulullah dimulai. Dimana dua orang yang sangat dicintai dipanggil oleh Allah SWT. Abu Thalib paman beliau dan Khadijah ra Istri tercintanya, adalah dua orang yang sangat berperan dalam membantu dakwah Rasulullah. Keduanya adalah pilar kokoh yang Allah
sediakan bagi Rasulullah di fase awal kenabian. Dimana saat itu kondisi Rasulullah masih sangat lemah. Pengikut yang masih sedikit, kekuatan yang belum solid serta diplomasi yang belum terkait sama sekali dengan pihak-pihak lain. Abu Thalib sang pembela utama Rasulullah dibarisan terdepan di kota Mekkah serta Khadijah sang pendamping sejati, penghibur dikala duka dan lara serta donatur yang siap mengerahkan hartanya kapanpun diperlukan hadir seumpama oase di padang pasir. Merekalah dua orang yang sangat berarti bagi Rasulullah.
Namun betapapun besarnya cinta Rasulullah kepada dua orang tersebut hingga kehidupan mereka berdua sangat diharapkan, ternyata Allah ingin memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada Rasulullah. Yaitu mengingatkan Rasulullah bahwa sandaran yang hakiki adalah Allah, sehingga mental perjuangan diharapkan terus berpijar. Pasca wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, intimidasi serta penyiksaan
semakin bertubi-tubi. Rasulullah berusaha mencari dukungan keluar Mekkah namun bukannya air kesejukan yang diperoleh melainkan api permusuhan yang disuguhkan. Ketika di Thaif, Rasulullah harus menelan pil pahit yang sungguh menyakitkan. Dimana dakwah beliau disambut dengan cacian, hinaan serta lemparan batu yang melukai Rasulullah. Sampai-sampai membuat iba dan marah para malaikat hingga mereka ingin menimpakan gunung ke penduduk Thaif. Namun Rasulullah berkata, “Aku berdoa kepada  Allah semoga dari sulbi mereka akan lahir generasi-generasi yang siap menjadi penolong Islam yang sejati.”
Ketika ujian demi ujian serta kesedihan diatas kesedihan menimpa Rasulullah, Allah memberikan kado penghibur yang menghilangkan rasa dahaga, meleburkan duka lara serta penguat jiwa yang kian melemah. Itulah Isra’ Mi’raj, wisata terdahsyat sejagat raya.

Ikhtilaf dalam akidah
Menurut akidah ahlus sunnah wal jama’ah, mengimani Isra’ Mi’raj yang di alami oleh Rasulullah sama seperti mengimani perkara ghaib lainnya. Yakni  tanpa perlu menyibukkan  diri dengan mempertanyakan kaifiyahnya. Seperti bagaimana Rasulullah melakukan perjalanan yang jauh dalam beberapa detik sehingga tidak merusak tubuh ketika bergesekan dengan udara dalam kecepatan yang sangat tinggi? Bagaimana beliau dapat hidup tanpa oksigen ketika keluar atmosfer? Atau bagaimana beliau dapat terus bergerak melawan grafitasi bumi dan menembus atmosfer? Serta beribu-ribu pertanyaan: Mengapa ... dan bagaimana ... Sungguh semua pertanyaan itu akan terjawab, sekiranya peristiwa itu berjalan sesuai dengan hukum alam. Setelah tahu bahwa peristiwa itu terjadi diluar hukum alam dan terjadi dengan kekuasaan Dzat yang Maha Kuasa  atas segala sesuatu maka tak lama kemudian pertanyaan-pertanyaan ini semua akan melebur dalam derasnya keimanan kepada Allah.
Para sahabat berbeda pendapat mengenai Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka berpendapat, peristiwa ini dialami oleh Rasulullah SAW dalam keadaan sadar dengan tubuh kasar beliau. Pendapat inilah yang berikutnya dipegangi oleh jumhur  Ahlussunnah. Diantara para sahabat yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj dialami oleh ruh Nabi SAW saja, sementara jasad beliau tetap tinggal di Mekkah adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah RA.
Pendapat kebanyakan sahabat sejalan dengan zhahir firman Allah SWT,
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”  (QS. Al Isra’ : 1)
Perlu dicatat bahwa perbedaan pendapat dalam masalah akidah seperti ini bukan hanya dalam masalah ini saja. Dan perbedaan ini tidak sampai mengakibatkan mereka yang tidak sependapat dengan jumhur Ahlussunnah keluar dari wilayah Ahlussunnah.

Waktu Kejadian Isra’ Mi’raj
Para ahli sejarah Islam berbeda pendapat mengenai kapan peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi. Sebagian ulama mengatakan terjadi pada hari Sabtu malam, dan sebagian yang lain mengatakan terjadi pada hari Jum’at malam. Ada juga yang mengatakan terjadi pada hari Senin malam. Sebagian ulama berpendapat, peristiwa besar ini terjadi pada malam tanggal 7 Rabi’ul Awal; sebagian mengatakan pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir; sebagian mengatakan pada tanggal 17 Rabi’ul Awal, 29 Ramadhan, dan ada pula yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Yang disebut terakhir inilah yang  diketahui luas oleh banyak masyarakat Indonesia sehingga  banyak umat Islam Indonesia yang memperingatinya sebagai hari besar. Mengenai tahunnya, ada yang berpendapat terjadi pada tahun ke-5 kenabian, tahun ke-12 kenabian, dan ada yang mengatakan 17 bulan sebelum hijrah beliau ke Madinah. Ada pula yang mengatakan terjadi 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah.

Seputar Peristiwa Yang Dialami Rasulullah SAW
Hadits-hadits tentang Isra’ Mi’raj banyak sekali. Ada yang shahih, ada yang lemah dan bahkan banyak yang palsu. Untuk itulah kita mesti berhati-hati di dalam membawakannya, jika tidak ingin terjilat api neraka. Berikut ini adalah salah satu riwayat yang dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits tentang Isra’ Mi’raj yang paling shahih.
Imam al Bukhari (1/74-75) dan Imam Muslim (1/102-103) meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Abu Dzar bercerita bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tiba-tiba atap rumahku terbuka saat aku di Mekkah. Lalu Jibril turun dan kemudian membelah dadaku. Ia membersihkan dadaku dengan air zamzam. Kemudian, ia datang membawa sebuah bejana dari emas yang penuh hikmah dan iman, lalu dituangkannya ke dadaku, dan ia menutupnya. Kemudian, ia memegang tanganku lalu aku naik bersamanya ke langit dunia. Ketika aku datang ke langit dunia, Jibril berkata kepada para penjaga langit, ‘Bukakanlah’!
Penjaga langit bertanya, ‘Siapa ini?’. Jibril menjawab, ‘Jibril’. Penjaga bertanya, ‘Apakah engkau bersama seseorang?’ Jibril menjawab, ‘Ya. Aku bersama Muhammad.’
Penjaga bertanya, ‘Apakah ia telah dipanggil?’ Jibril menjawab, ‘Ya’.
Setelah penjaga pintu membuka pintu langit, naiklah kami ke atas langit dunia. Tiba-tiba di sana ada seorang laki-laki yang disebelah kanannya ada hitam-hitam. Apabila ia melihat ke sebelah kanannya, tertawalah ia. Dan apabila ia melihat ke sebelah kirinya, menangislah ia. Lalu ia berkata, ‘Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.’
Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapakah ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini Adam. Hitam-hitam yang ada dikanan dan dikirinya ini adalah anak cucunya. Golongan kanan adalah ahli surga dan hitam-hitam yang ada disebelah kirinya adalah ahli neraka. Apabila ia melihat yang ada di sebelah kanannya, ia tertawa; dan apabila ia melihat ke sebelah kirinya ia menangis.’ Lalu naiklah Jibril bersama aku ke langit kedua dan ia berkata kepada penjaga, ‘Bukakanlah!’ Penjaga langit kedua bertanya seperti penjaga langit pertama. Dan begitulah seterusnya hingga langit ke tujuh. Dimana di setiap langit beliau bertemu dengan para nabi Allah. Dilangit kedua beliau bertemu dengan Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam, dilangit ketiga bertemu Yusuf AS, dilangit keempat bertemu Idris AS, dilangit kelima bertemu Harun AS, dilangit keenam bertemu Musa AS, dan dilangit ketujuh bertemu Khalilullah Ibrahim AS.
Kemudian beliau naik lagi ke Sidratul Muntaha, lalu dibawa naik lagi ke Al Baitul-Ma’mur. Kemudian dibawa naik lagi untuk menghadap Allah SWT dan mendekat dengan-Nya, hingga jaraknya tinggal sepanjang dua ujung busur atau lebih dekat lagi. Lalu Allah mewahyukan kepada Rasulullah SAW untuk melaksanakan shalat lima puluh kali. Beliau kembali lagi hingga bertemu Musa.
“Apa yang diperintahkan kepadamu?” Tanya Musa. “Shalat lima puluh kali,” jawab beliau. “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Kembalilah menemui Rabb-mu dan mintalah keringanan kepada-Nya bagi umatmu,” kata Musa. Beliau memandang Jibril, meminta pendapatnya. Maka Jibril mengisyaratkan, dengan berkata, “Itu benar, jika memang engkau menghendaki.”
Lalu Rasulullah SAW pun kembali kepada Allah untuk meminta keringanan dan Allah pun memberikan keringanan hingga beliau bertemu dengan Musa kembali dan mengatakan hal yang sama. Lalu beliau mondar mandir menemui Musa dan Allah hingga shalat itu ditetapkan lima kali. Disebabkan Rasulullah merasa malu dan Rasulullah telah ridha dan bisa menerimanya. Hingga Rasul mendengar seruan, “Kewajiban dari-Ku telah Kutetapkan dan telah Kuringankan bagi hamba-Ku.” Dan Rasulullah juga diajak berkeliling melihat keadaan surga dengan segala kenikmatannya serta neraka dengan segala kengeriannya.

Hadiah terindah dari Allah
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam buku Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan bahwasannya dari peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah ternyata memiliki maksud-maksud yang bersifat politik, sosial dan spiritual. Pertama, Isra’ Mi’raj ke Baitul Maqdis secara pribadi dan mendirikan shalat disana. Kedua, Rasulullah SAW menjadi imam ketika beliau shalat bersama para nabi, dan para nabi mengikutinya. Ketiga, pilihan Rasulullah SAW terhadap gelas yang berisi susu  dan beliau mengabaikan gelas yang berisi khamar. Hingga Jibril berkata, “Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah membimbing umatmu.”
1.       Dimensi Politik
Sesungguhnya kepemiminan dunia hingga terjadinya mukjizat Isra’ Mi’raj ada pada kekuasaan bani Israil. Akan tetapi, orang-orang yang mengemban agama-agama tersebut sudah tidak pantas lagi untuk memimpin. Sebab mereka telah menyia-nyiakan ideologi, menjual ideologi dengan harga yang murah, dengan mendistorsi agama dan mengganti petunjuk-petunjuk yang menjadi ciri khasnya. Dengan demikian, aturan yang masih ada sudah tidak layak lagi untuk memimpin dunia, dan otomatis mereka yang mengemban untuk menegakkan aturan-aturan tersebut sudah tidak berhak lagi dengan kepemimpinan ini.
Dari sini, maka pilihan Rasulullah SAW terhadap gelas yang berisi susu mencerminkan fitrah, sehingga benarlah apa yang telah dikatakan Jibril yang mengandung maksud : bahwa peradaban yang akan dibangun adalah peradaban yang berlandaskan fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT, tetap lurus dan tidak boleh melenceng dari sumbernya dengan dikawal oleh tangan-tangan yang bersih, terpercaya dan tulus ikhlas dalam mengemban kepemimpinan yang akan diamanahkan.
Tampilnya Rasulullah menjadi imam dihadapan para nabi adalah sebagai pengakuan dari para nabi bahwa kepemimpinan dunia kedepan akan diserahkan kepada Nabi SAW. Sehingga, sejak terjadinya fakta itu maka batallah beramal  dengan nilai-nilai yang tidak berasal dari syariat Rasulullah SAW. Perubahan ini merupakan perubahan yang konstitusional (masyru’) sebab yang melakukannya adalah orang-orang yang benar-benar mewakili semua umat, para cendikiwan yang senantiasa dibimbing oleh wahyu, merekalah nabi dari para umat terdahulu.

2.       Dimensi Sosial
Sesungguhnya shalat beliau bersama para nabi, padahal mereka berbeda bangsa dan warna kulitnya, melambangkan bahwa peradaban yang sedang dibangun Rasulullah SAW akan menaungi semua kaum mukminin apapun bangsa dan warna kulitnya, tidak membeda-bedakan antara yang hitam dengan yang putih, orang arab atau orang diluar arab. Semuanya melebur dalam sebuah wadah keimanan, kemudian dituang dalam cetakan Allah yang berdasarkan syariat-Nya, hingga yang akan dinilai disisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Dengan demikian, setiap orang berhak memperoleh kedudukan yang tertinggi dihadapan Allah dan manusia, bila dia bertaqwa. Dengan tidak dimonopoli oleh suatu ras, keturunan atau kedudukan yang melekat pada diri seseorang.
3.       Dimensi Spiritual
Telah dijelaskan sebelumnya bahwasannya terjadinya Isra’ Mi’raj terjadi setelah serentetan peristiwa yang sangat menggoncangkan jiwa Rasulullah. Hingga tahun-tahun itu disebut dengan tahun kesedihan. Kepenatan, kegundahan, kegalauan serta ketakutan berkumpul menjadi satu hingga dunia terasa sempit penuh sesak. Dan disaat-saat seperti ini Allah menghibur nabi-Nya dengan memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. Ketika Nabi SAW di Mi’rajkan ke langit, seolah-olah para malaikat di langit berkata kepada beliau: “Jika bumi terasa sempit olehmu, maka langit telah membuka dadanya untukmu. Jika para orang-orang bodoh dan zalim diantara penduduk bumi menyakitimu, maka penduduk langit telah berdiri menyambut kedatanganmu.”
Semua ini telah menciptakan semangat baru yang mengalir dalam diri Rasulullah SAW dan kaum mukminin. Sehingga setelah beliau kembali dari perjalanan yang penuh barokah ini, beliau mulai menawarkan Islam dengan penuh semangat dan optimisme yang tiada bertepi kepada suku-suku dan para delegasi yang datang ke Mekkah guna berhaji. Wawlahu ‘alam. (Abu Hafizh Al Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar