WISATA TERDAHSYAT SEJAGAT RAYA
Langit
Mekkah serasa mendung kelabu, seluruh mata memandang penuh kebencian dan
kedengkian, serta pada saat itu keceriaan Rasulullah hilang beberapa saat. Ya
... itulah tahun kesedihan yang dialami Rasulullah dimulai. Dimana dua orang
yang sangat dicintai dipanggil oleh Allah SWT. Abu Thalib paman beliau dan
Khadijah ra Istri tercintanya, adalah dua orang yang sangat berperan dalam
membantu dakwah Rasulullah. Keduanya adalah pilar kokoh yang Allah
sediakan
bagi Rasulullah di fase awal kenabian. Dimana saat itu kondisi Rasulullah masih
sangat lemah. Pengikut yang masih sedikit, kekuatan yang belum solid serta
diplomasi yang belum terkait sama sekali dengan pihak-pihak lain. Abu Thalib
sang pembela utama Rasulullah dibarisan terdepan di kota Mekkah serta Khadijah
sang pendamping sejati, penghibur dikala duka dan lara serta donatur yang siap
mengerahkan hartanya kapanpun diperlukan hadir seumpama oase di padang pasir.
Merekalah dua orang yang sangat berarti bagi Rasulullah.
Namun
betapapun besarnya cinta Rasulullah kepada dua orang tersebut hingga kehidupan
mereka berdua sangat diharapkan, ternyata Allah ingin memberikan pelajaran yang
sangat berharga kepada Rasulullah. Yaitu mengingatkan Rasulullah bahwa sandaran
yang hakiki adalah Allah, sehingga mental perjuangan diharapkan terus berpijar.
Pasca wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, intimidasi serta penyiksaan
semakin
bertubi-tubi. Rasulullah berusaha mencari dukungan keluar Mekkah namun bukannya
air kesejukan yang diperoleh melainkan api permusuhan yang disuguhkan. Ketika di
Thaif, Rasulullah harus menelan pil pahit yang sungguh menyakitkan. Dimana
dakwah beliau disambut dengan cacian, hinaan serta lemparan batu yang melukai
Rasulullah. Sampai-sampai membuat iba dan marah para malaikat hingga mereka
ingin menimpakan gunung ke penduduk Thaif. Namun Rasulullah berkata, “Aku
berdoa kepada Allah semoga dari sulbi
mereka akan lahir generasi-generasi yang siap menjadi penolong Islam yang
sejati.”
Ketika
ujian demi ujian serta kesedihan diatas kesedihan menimpa Rasulullah, Allah memberikan
kado penghibur yang menghilangkan rasa dahaga, meleburkan duka lara serta
penguat jiwa yang kian melemah. Itulah Isra’ Mi’raj, wisata terdahsyat sejagat
raya.
Ikhtilaf
dalam akidah
Menurut
akidah ahlus sunnah wal jama’ah, mengimani Isra’ Mi’raj yang di alami oleh
Rasulullah sama seperti mengimani perkara ghaib lainnya. Yakni tanpa perlu menyibukkan diri dengan mempertanyakan kaifiyahnya.
Seperti bagaimana Rasulullah melakukan perjalanan yang jauh dalam beberapa
detik sehingga tidak merusak tubuh ketika bergesekan dengan udara dalam
kecepatan yang sangat tinggi? Bagaimana beliau dapat hidup tanpa oksigen ketika
keluar atmosfer? Atau bagaimana beliau dapat terus bergerak melawan grafitasi
bumi dan menembus atmosfer? Serta beribu-ribu pertanyaan: Mengapa ... dan
bagaimana ... Sungguh semua pertanyaan itu akan terjawab, sekiranya peristiwa
itu berjalan sesuai dengan hukum alam. Setelah tahu bahwa peristiwa itu terjadi
diluar hukum alam dan terjadi dengan kekuasaan Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu maka tak lama kemudian
pertanyaan-pertanyaan ini semua akan melebur dalam derasnya keimanan kepada
Allah.
Para
sahabat berbeda pendapat mengenai Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah SAW.
Kebanyakan mereka berpendapat, peristiwa ini dialami oleh Rasulullah SAW dalam
keadaan sadar dengan tubuh kasar beliau. Pendapat inilah yang berikutnya
dipegangi oleh jumhur Ahlussunnah.
Diantara para sahabat yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj dialami oleh ruh Nabi
SAW saja, sementara jasad beliau tetap tinggal di Mekkah adalah Ummul Mukminin
‘Aisyah RA.
Pendapat
kebanyakan sahabat sejalan dengan zhahir firman Allah SWT,
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha” (QS. Al Isra’
: 1)
Perlu
dicatat bahwa perbedaan pendapat dalam masalah akidah seperti ini bukan hanya
dalam masalah ini saja. Dan perbedaan ini tidak sampai mengakibatkan mereka
yang tidak sependapat dengan jumhur Ahlussunnah keluar dari wilayah
Ahlussunnah.
Waktu
Kejadian Isra’ Mi’raj
Para
ahli sejarah Islam berbeda pendapat mengenai kapan peristiwa Isra’ Mi’raj
terjadi. Sebagian ulama mengatakan terjadi pada hari Sabtu malam, dan sebagian
yang lain mengatakan terjadi pada hari Jum’at malam. Ada juga yang mengatakan
terjadi pada hari Senin malam. Sebagian ulama berpendapat, peristiwa besar ini
terjadi pada malam tanggal 7 Rabi’ul Awal; sebagian mengatakan pada tanggal 27
Rabi’ul Akhir; sebagian mengatakan pada tanggal 17 Rabi’ul Awal, 29 Ramadhan,
dan ada pula yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab.
Yang disebut terakhir inilah yang
diketahui luas oleh banyak masyarakat Indonesia sehingga banyak umat Islam Indonesia yang memperingatinya
sebagai hari besar. Mengenai tahunnya, ada yang berpendapat terjadi pada tahun
ke-5 kenabian, tahun ke-12 kenabian, dan ada yang mengatakan 17 bulan sebelum
hijrah beliau ke Madinah. Ada pula yang mengatakan terjadi 3 tahun sebelum
hijrah ke Madinah.
Seputar
Peristiwa Yang Dialami Rasulullah SAW
Hadits-hadits
tentang Isra’ Mi’raj banyak sekali. Ada yang shahih, ada yang lemah dan bahkan
banyak yang palsu. Untuk itulah kita mesti berhati-hati di dalam membawakannya,
jika tidak ingin terjilat api neraka. Berikut ini adalah salah satu riwayat
yang dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits tentang Isra’ Mi’raj yang paling
shahih.
Imam
al Bukhari (1/74-75) dan Imam Muslim (1/102-103) meriwayatkan dari Anas bin
Malik, ia berkata bahwa Abu Dzar bercerita bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Tiba-tiba atap rumahku terbuka saat aku di Mekkah. Lalu Jibril turun
dan kemudian membelah dadaku. Ia membersihkan dadaku dengan air zamzam.
Kemudian, ia datang membawa sebuah bejana dari emas yang penuh hikmah dan iman,
lalu dituangkannya ke dadaku, dan ia menutupnya. Kemudian, ia memegang tanganku
lalu aku naik bersamanya ke langit dunia. Ketika aku datang ke langit dunia, Jibril
berkata kepada para penjaga langit, ‘Bukakanlah’!
Penjaga
langit bertanya, ‘Siapa ini?’. Jibril menjawab, ‘Jibril’. Penjaga bertanya,
‘Apakah engkau bersama seseorang?’ Jibril menjawab, ‘Ya. Aku bersama Muhammad.’
Penjaga
bertanya, ‘Apakah ia telah dipanggil?’ Jibril menjawab, ‘Ya’.
Setelah
penjaga pintu membuka pintu langit, naiklah kami ke atas langit dunia.
Tiba-tiba di sana ada seorang laki-laki yang disebelah kanannya ada
hitam-hitam. Apabila ia melihat ke sebelah kanannya, tertawalah ia. Dan apabila
ia melihat ke sebelah kirinya, menangislah ia. Lalu ia berkata, ‘Selamat datang
Nabi yang shalih dan anak yang shalih.’
Aku
bertanya kepada Jibril, ‘Siapakah ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini Adam. Hitam-hitam
yang ada dikanan dan dikirinya ini adalah anak cucunya. Golongan kanan adalah
ahli surga dan hitam-hitam yang ada disebelah kirinya adalah ahli neraka.
Apabila ia melihat yang ada di sebelah kanannya, ia tertawa; dan apabila ia
melihat ke sebelah kirinya ia menangis.’ Lalu naiklah Jibril bersama aku ke
langit kedua dan ia berkata kepada penjaga, ‘Bukakanlah!’ Penjaga langit kedua
bertanya seperti penjaga langit pertama. Dan begitulah seterusnya hingga langit
ke tujuh. Dimana di setiap langit beliau bertemu dengan para nabi Allah.
Dilangit kedua beliau bertemu dengan Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam,
dilangit ketiga bertemu Yusuf AS, dilangit keempat bertemu Idris AS, dilangit
kelima bertemu Harun AS, dilangit keenam bertemu Musa AS, dan dilangit ketujuh
bertemu Khalilullah Ibrahim AS.
Kemudian
beliau naik lagi ke Sidratul Muntaha, lalu dibawa naik lagi ke Al
Baitul-Ma’mur. Kemudian dibawa naik lagi untuk menghadap Allah SWT dan mendekat
dengan-Nya, hingga jaraknya tinggal sepanjang dua ujung busur atau lebih dekat
lagi. Lalu Allah mewahyukan kepada Rasulullah SAW untuk melaksanakan shalat
lima puluh kali. Beliau kembali lagi hingga bertemu Musa.
“Apa
yang diperintahkan kepadamu?” Tanya Musa. “Shalat lima puluh kali,” jawab
beliau. “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Kembalilah
menemui Rabb-mu dan mintalah keringanan kepada-Nya bagi umatmu,” kata Musa.
Beliau memandang Jibril, meminta pendapatnya. Maka Jibril mengisyaratkan,
dengan berkata, “Itu benar, jika memang engkau menghendaki.”
Lalu
Rasulullah SAW pun kembali kepada Allah untuk meminta keringanan dan Allah pun
memberikan keringanan hingga beliau bertemu dengan Musa kembali dan mengatakan
hal yang sama. Lalu beliau mondar mandir menemui Musa dan Allah hingga shalat
itu ditetapkan lima kali. Disebabkan Rasulullah merasa malu dan Rasulullah
telah ridha dan bisa menerimanya. Hingga Rasul mendengar seruan, “Kewajiban
dari-Ku telah Kutetapkan dan telah Kuringankan bagi hamba-Ku.” Dan Rasulullah
juga diajak berkeliling melihat keadaan surga dengan segala kenikmatannya serta
neraka dengan segala kengeriannya.
Hadiah
terindah dari Allah
Prof.
Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam buku Sirah Nabawiyah-nya menjelaskan
bahwasannya dari peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah ternyata
memiliki maksud-maksud yang bersifat politik, sosial dan spiritual. Pertama,
Isra’ Mi’raj ke Baitul Maqdis secara pribadi dan mendirikan shalat disana. Kedua,
Rasulullah SAW menjadi imam ketika beliau shalat bersama para nabi, dan para
nabi mengikutinya. Ketiga, pilihan Rasulullah SAW terhadap gelas yang
berisi susu dan beliau mengabaikan gelas
yang berisi khamar. Hingga Jibril berkata, “Kamu telah membimbing menuju
fitrah, kamu telah membimbing umatmu.”
1. Dimensi Politik
Sesungguhnya kepemiminan dunia hingga terjadinya mukjizat
Isra’ Mi’raj ada pada kekuasaan bani Israil. Akan tetapi, orang-orang yang
mengemban agama-agama tersebut sudah tidak pantas lagi untuk memimpin. Sebab
mereka telah menyia-nyiakan ideologi, menjual ideologi dengan harga yang murah,
dengan mendistorsi agama dan mengganti petunjuk-petunjuk yang menjadi ciri
khasnya. Dengan demikian, aturan yang masih ada sudah tidak layak lagi untuk
memimpin dunia, dan otomatis mereka yang mengemban untuk menegakkan
aturan-aturan tersebut sudah tidak berhak lagi dengan kepemimpinan ini.
Dari sini, maka pilihan Rasulullah SAW terhadap gelas yang
berisi susu mencerminkan fitrah, sehingga benarlah apa yang telah dikatakan
Jibril yang mengandung maksud : bahwa peradaban yang akan dibangun adalah
peradaban yang berlandaskan fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT, tetap
lurus dan tidak boleh melenceng dari sumbernya dengan dikawal oleh
tangan-tangan yang bersih, terpercaya dan tulus ikhlas dalam mengemban
kepemimpinan yang akan diamanahkan.
Tampilnya Rasulullah menjadi imam dihadapan para nabi adalah
sebagai pengakuan dari para nabi bahwa kepemimpinan dunia kedepan akan
diserahkan kepada Nabi SAW. Sehingga, sejak terjadinya fakta itu maka batallah
beramal dengan nilai-nilai yang tidak
berasal dari syariat Rasulullah SAW. Perubahan ini merupakan perubahan yang
konstitusional (masyru’) sebab yang melakukannya adalah orang-orang yang
benar-benar mewakili semua umat, para cendikiwan yang senantiasa dibimbing oleh
wahyu, merekalah nabi dari para umat terdahulu.
2. Dimensi Sosial
Sesungguhnya shalat beliau bersama
para nabi, padahal mereka berbeda bangsa dan warna kulitnya, melambangkan bahwa
peradaban yang sedang dibangun Rasulullah SAW akan menaungi semua kaum mukminin
apapun bangsa dan warna kulitnya, tidak membeda-bedakan antara yang hitam
dengan yang putih, orang arab atau orang diluar arab. Semuanya melebur dalam
sebuah wadah keimanan, kemudian dituang dalam cetakan Allah yang berdasarkan
syariat-Nya, hingga yang akan dinilai disisi Allah adalah mereka yang paling
bertaqwa.
“Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13)
Dengan demikian, setiap orang berhak
memperoleh kedudukan yang tertinggi dihadapan Allah dan manusia, bila dia
bertaqwa. Dengan tidak dimonopoli oleh suatu ras, keturunan atau kedudukan yang
melekat pada diri seseorang.
3. Dimensi Spiritual
Telah dijelaskan sebelumnya
bahwasannya terjadinya Isra’ Mi’raj terjadi setelah serentetan peristiwa yang
sangat menggoncangkan jiwa Rasulullah. Hingga tahun-tahun itu disebut dengan
tahun kesedihan. Kepenatan, kegundahan, kegalauan serta ketakutan berkumpul
menjadi satu hingga dunia terasa sempit penuh sesak. Dan disaat-saat seperti
ini Allah menghibur nabi-Nya dengan memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.
Ketika Nabi SAW di Mi’rajkan ke langit, seolah-olah para malaikat di langit
berkata kepada beliau: “Jika bumi terasa sempit olehmu, maka langit telah
membuka dadanya untukmu. Jika para orang-orang bodoh dan zalim diantara
penduduk bumi menyakitimu, maka penduduk langit telah berdiri menyambut
kedatanganmu.”
Semua ini telah menciptakan semangat
baru yang mengalir dalam diri Rasulullah SAW dan kaum mukminin. Sehingga
setelah beliau kembali dari perjalanan yang penuh barokah ini, beliau mulai
menawarkan Islam dengan penuh semangat dan optimisme yang tiada bertepi kepada
suku-suku dan para delegasi yang datang ke Mekkah guna berhaji. Wawlahu ‘alam.
(Abu Hafizh Al Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar