Senin, 30 Juli 2012

Sa'id Bin Jubair

SA'ID BIN JUBAIR







Badannya kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias terhadap kebajikan dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya dan asalnya dari Habsy, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa, apalagi umurnya masih muda.

Pemuda yang beasal dari Habsyi asli dan menjadi warga Arab ini sadar betul bahwa ilmu jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah. Dan takwa adalah jalan yang menuntunnya ke surga. Oleh sebab itu dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat.

Dengan dua hal tersebut beliau mengarungi samudera kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak beliau masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang membaca buku, maka beliau tengah di mihrabnya untuk beribadah. Itulah dia manusia pilihan di zamannya, Sa’id bin Jubair.
Pemuda Sa’id ini berguru kepada banyak sahabat senior, seperti Abu Sa’id Al-Khudri, Adi bin Hatim Ath-Thayy, Abu Musa Al-As’ari, Abu Hurairah Ad-Dausi, Abdullah bin Umar maupun Ummul Mukminin Aisyah r.a. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas.

Dengan setia Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Al-Qur’an, hadits-hadits dan seluk beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorangpun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya.

Selanjutnya beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.

Beliau menjadi imam shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Al-Qur’an dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah:

“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api,” (Al-Mukmin: 70-72).

Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya dan menetes air matanya. Kemudian mengualang-ulang ayat tersebut sampa adakalanya hampir pingsan.

Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah Al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.

Orang-orang yang merindukan ilmu dan kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih dari Sa’id bin Jubeir. Beliau ditanya, “Apakah khasyah (takut) itu?” beliau menjawab, “Khasyah adalah bahwa engkau harus takut kepada Allah hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat.”

Ketika ditanya tentang dzikir, beliau berkata, “Dzikir itu adalah taat kepada Allah. Barangsiapa menyahut seruan Allah dan mentaati-Nya, berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat, maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Al-Qur’an semalam suntuk.”

Kota Kufah yang menjadi pilihan beliau untuk menetap ketika itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya, dia memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayah dan memadamkan api pembrontakan di sana sini. Menghunus pedangnya di tengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.

Sautu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang manjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin.

Ada yang berkata bahwa fitnah tesebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibu Asy-Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan.

Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dari ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. Selain itu juga ia menulis surat, minta izin sementara untuk sementara menghentikan perang. Agar dia dapat mempelajari seluk beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil memperoleh kejayaan.

Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia menuduh surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang, Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tesebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.

Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang pemerintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbai’at untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezhalimannya?” Akhirnya mereka melakukan bai’at kepada panglimanya…

Tentara Abdurrahman bin  Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu  menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Bashrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.

Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota.  Hal itu membuat kemarahan Hajjaj bin Yusuf memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara.

Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Bashrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.

Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad..wahai umat Muhammad.” Mereka bingung hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.

Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam Asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.

Perang besar antara keduanya meletus. Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj mulai berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’ats melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.

Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Di antara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.

Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu? Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima bai’atnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh.

Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetapi teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.

Menurut kabar yang tersebar penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir.

Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.

Orang tua, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”

Hajjaj, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”

Orang tua, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”

Hajjaj, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”

Orang tua, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”

Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.

Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya:

Hajjaj, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”

Kamil, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”

Hajjaj, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”

Kamil, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”

Hajjaj, “Ketiku itu, kesalahan ada di pihakmu.”

Kamil, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”

Hajjaj, “Bunuh dia!”

Lalu beliaupun dibunuh…

Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah aku lah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.

Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga,  yaitu dipenggal lehernya atau  mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.

Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.

Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terdua. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.

Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini.” Namun beliau menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.”

Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit nanti.

Tentara Khalid mengepung rumah Syaikh tersebut lalu menangkan dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj. Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahbatnya dan berkata:

“Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”

Belum lagi beliau selesai bicara, seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itupun pergi.

Sampailah utusan yang membawa Sa’id seorang imam yang zahid, abid dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf.

Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya:

Hajjaj, “Siapa namamu?”

Sa’id, “Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa).”

Hajjaj, “Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh).”

Sa’id, “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau.”

Hajjaj,  “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”

Sa’id, “Apakah yang engkau maksud Muhammad bin Abdullah?”

Hajjaj, “Benar.”

Sa’id, “Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menyampaikan nasehat Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.”

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?”

Sa’id, “Ash-Shidiq khalifah Rasulullah saw. beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi saw., tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.”

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”

Sa’id, “Beliau adalah Al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan matai sebagai syuhada.”

Hajjaj, “Bagaimana dengan Ustman?”

Sa’id, “Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur “Ruumah” dan membeli rumah untuk dirinya di surga. Beliau adalah menanti Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit, lalu terbunuh di tangan orang zhalim.”

Hajjaj, “Bagaimana dengan Ali?”

Sa’id, “Beliau adalah putra paman Rasulullah saw. dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fatimah Az-Zahrah putri Rasulullah saw, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli surga.”

Hajjaj, “Khalifah yang mana dari bani Umayah yang paling kau sukai?”

Sa’id, “Yang paling diridhai Pencipta mereka.”

Hajjaj, “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?”

Sa’id, “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zhahir dan yang tersembunyi.”

Hajjaj, “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?”

Sa’id, “Engkatu lebih tahu tentang dirimu sendiri.”

Hajjaj, “Aku ingin mendengar pendapatmu.”

Sa’id, “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu.”

Hajjaj, “Aku haru tahu dan mendengarnya darimu.”

Sa’id, “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihat hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjerumuskanmu ke neraka.”

Hajjaj, “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu.”

Sa’id, “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.”

Hajjaj, “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang engkau sukai.”

Sa’id, “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah untuk setiap cara yang engkalu lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”

Hajjaj, “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?”

Sa’id, “Ampunan itu hanyalah dari Allah, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya.”

Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan, “Siapkan pedang dan alasnya!”

Hajjaj, “Mengapa engkau tersenyum?”

Sa’id, “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.”

Hajjaj, “Bunuh dia sekarang!”

Sa’id, (Menghadap kiblat sambil membaca firman Allah), “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,” (Al-An’am: 79).

Hajjaj, “Palingkan dia dari kiblat!”

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah,” (Al-Baqarah: 115).

Hajjaj, “Sunggkurkan dia ke tanah!”

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,” (Thaha: 55).

Hajjaj, “Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernha menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah seperti dia.”

Sa’id, (mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a), “Ya Allah jangan engkau beri kesempatan ia melakukannya atas orang lain setelah aku.”

Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-bentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau, “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkammu! Ini Sa’id bin Jubair berkata, ‘Mengapa engkau membunuhku’?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri, “Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”

Kondisi itu terus berlangsung hinga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj, “Apa yang Allah perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”

Dia menjawab, “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat.”
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 185-197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar