Lanjutan dari makalah 'Al Qur'an dan 
Kesetaraan Gender'............
Orang –  orang Barat yang fanatik, 
menyerang Islam dengan terang- terangan dan  menjadikan isu poligami 
sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi  terhadap perempuan. Padahal 
dalam masalah poligami , Islam tidaklah  sendirian, agama Yahudi sendiri
 justru membolehkan poligami, bahkan  tanpa batas. Para Nabi yang 
disebutkan di dalam Tauratsemuanya, tanpa  terkecuali mempunyai isti 
lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam  Taurat bahwa nabi Sulaiman 
mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak.  Bahkan , bangsa- bangsa 
terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami,  seperti bangsa Atsin, 
Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada  bangsa- bangsa tersebut
 poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti  yang ada dalam ajaran
 Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina  dahulu,seorang laki- laki
 di perbolehkan berpoligami sampai 130  perempuan. Bahkan beberapa 
penguasa Cina memiliki 30.000 istri. [1]
Bahkan  dalam agama Kristen sendiri, 
walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan  secara tegas konsepsi 
poligami ini , namun dalam surat Paulus I di  dapati pernyataan bahwa 
bagi seorang petingi agama diharuskan mempunyai  istri satu saja. Dan 
ini mengisyaratkan bahwa selain petinggi agama  dibolehkan untuk 
beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan  pernyataan yang 
dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam  bidang sejarah 
pernikahan yang isinya : “ Bahwa poligami yang diakui  Gereja masih ada 
hingga abad 17 M. Dan inipun tejadi pada keadaan-  keadaan yang tidak 
bisa di dideteksi oleh Gereja dan Negara “ [2]
Di dalam Islam , konsepsi poligami telah
 diatur di dalam Q.s. Al –Nisa’ , ayat 3. Allah berfirman :
وَإِنْ  خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي 
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ  مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى 
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا  تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“ Jika  kamu takut untuk tidak bisa 
berbuat adil terhadap perempuan – perempuan  yatim ( jika mengawininya )
 , maka nikahilah perempaun- perempuan  lainnya yang kamu sukai : dua , 
tiga, empat . Jika kamu takut tidak bisa  berbuat adil maka kawinilah 
satu saja “
Di sana  ada beberapa sebab 
diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling  kuat adalah apa 
yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau  bertanya kepada 
Aisyah ra, tentang ayat tersebut : ( “ wain khiftum ala  tuqsitu 
filyatama “ ) , Aisyah berkata : “ Wahai anak saudaraku , ini  
diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia
  ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga 
mengincar  harta anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, 
wali tersebut  hendak menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam 
memberikan  maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan mahar 
perempuan-  perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya 
kecuali kalau  bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang 
sederajat dengannya,  dan memerintahkan untuk menikahi perempuan 
selainnya.Berkata Urwah ,  berkata Aisyah: “ Sesungguhnya para sahabat 
bertanya kepada Rosulullah  saw setelah ayat ini, sehingga Allah 
menurunkan ayat ( wa yastaftunaka  fi nisai ) Berkata Aisyah : “ Adapun 
firman Allah ( watarghobuna an  tankihuhunna ) artinya jika salah satu 
dari kamu tidak mau menikahi anak  yatim asuhannya, karena sedikit 
hartanya dan tidak cantik. Berkata  Aisyah : “ Maka mereka dilarang 
menikahi anak yatim jika hanya mengejar  kecantikan dan hartanya , 
kecuali kalau berbuat adil . Hal itu  dikarenakan mereka tidak mau 
menikahinya jika mereka jelek dan sedikti  hartanya “ [3]
Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbedaan pandangan :
Syekh  Muhammad Thohir Asyur di dalam 
tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan  Aisyah ra. [4]. Sebelumnya, 
Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang,  beliau cenderung juga untuk 
membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti  bahwa hanya riwayat ini 
saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan  menganggapnya riwayat yang 
paling shohih, padahal di sana ada riwayat-  riwayat lain. [5]
Sayangnya sebagian orang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran yang salah. Dengan mengikuti metode tafsir “ maudlui “ yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat menyeluruh, menurut anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa’ : 3, ayat ini semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi peringatan atau warningfain khiftum allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu saja). Ketiga, Q.S. Al Nisa’ : 129 : “ walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan nisâ’ walau harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras).
kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. agar belaku adil:
Gaya penafsiran seperti itu, walaupun ada perbedaan sedikit telah dilakukan olehQosim Amin dalam bukunya “ Tahrir al Mar’ah “[6], kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta [7], Faqihuddin Abdul Kodir, MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah[8], Dra. Maria Ulfah Anshori, Ketua Umum Fatayat NU [9], Khofifah Indar Parawangsa, mantan Ketua PP. Muslimat NU [10], M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : “ Dari Konsumerisme hingga Ekstasi Seksual,” [11] Bahkan juga oleh Syafi’I Ma’arif , Ketua Umum Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini semuanya.
Gaya  penafsiran seperti itu, menurut 
Syekh Muhammad Muhammad Madani , didalam  ilmumantiq disebut “ Safsathoh
 “ , yaitu seperti orang yang menunjuk  kepada gambar kuda, kemudian dia
 mengatakan : “ Ini kuda dan setiap kuda  pasti bisa meringkik, maka ini
 bisa meringkik “ [12]
Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan ayat dengan sistem voting tersebut telah dijadikan pijakan di dalam pelarangan poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang ke delapan belas , dan yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan membayar denda sebesar 240 ribu frank [13] . Ayat tersebut, menurut Pemerintahan Tunis, merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.[14]
Para ulama menyebutkan bahwa kata “ Adil “ pada ayat yang pertama ( Q.s al- Nisa’ : 3 ) artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal lain- lainnya yang masih di dalam kemampuan manusia. Sedang “ adil “ pada Q.s. al- Nisa’ : 129 : “ walan tastathi’u an ta’dilu baina an nisai walau harastum “ ( Kamu tidak akan bisa berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam memberikan cinta alami yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan manusia [15] .
Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada sebagian orang saja.[16] Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw , ketika beliau berdo’a kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam berpoligami : “ Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang bisa saya perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati ) [17].
Ini  juga di kuatkan dengan bunyi ayat 
berikutnya : “ fala tamilu kulla mail  fatadzaruha kal mu’alaqoh “ ( 
Maka , hendaknya janganlah engkau terlalu  cintai , sehingga yang 
lainnya menjadi terkatung- katung )
Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa dalam masalah hati, Nabi Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena bagaimanapun derajatnya seseorang , dia pasti ada kecenderungan untuk lebih mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai dengannya . Masing- masing dari diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti itu, sebagaimana telah kita rasakan bersama dengan oran – orang yang kita cintai. Dan inilah fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan dengan fitroh yang telah Ia letakkan pada diri manusia.
Karena  tidak ada kemampuan untuk 
memaksa hatinya dan membagi rata rasa cinta  tersebut , maka Allah 
mewanti- wanti rosul-Nya agar tidak terlalu  cenderung sekali kepada 
yang di cintainya dengan sikap yang membabi buta  dan sangat menyolok , 
sehinggamengakibat istri- istri lainnya  terkatung- katung. [18]
Kalau seandainya benar- benar Allah telah mengharamkan poligami dengan menggabungkan dua ayat di atas, kenapa Rosululah saw membiarkan para sahabat berpoligami dan tidak di larang sama sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun, kemudian diikuti oleh mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode penafsiran matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini telah melakukan bentuk kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami. [19]Masalah ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan poligami.
Keterangan  di atas , paling tidak , 
bisa menjawab apa yang dilontarkan oleh DR.  Nasaruddin Umar[20] dalam 
Desertasinya yang mengatakan bahwa ayat Q.s.  Al- Nisa/ 4: 129 ini dapat
 di artikan menolak poligami. Dan dari  keterangan tersebut , beliau 
menyimpulkan bahwa metode penafsiran  maudlui lebih ketat dan lebih 
tegas terhadap poligami dari pada metode  tahlili [21]. Beliau juga 
mengatakan bahwa metode maudlui secara umum  akan menghasilkan 
penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat  gender daripada 
metode tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui)  tidak banyak 
mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung  memposisikan laki- 
laki lebih dominan daripada perempuan.[22]
Penulis, sangat kurang sependapat dengan apa yang beliau ungkapkan, karena terdapat kejanggalan dan kontradiksi di dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point di bawah ini :
Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama sebenarnya , tidak sekedar menjadikan teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita temukan dalam buku- buku tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun menyebutkan juga asbanu nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus tersebut hingga terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat ) selalu menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi, tafsir IbnuKatsir dan lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah tafsir –tafsir yang ringkas, seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun menggunakan metode tafsir tahlili, tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan metode maudlui, walau tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai tafsir al Qur’an bil Qur’an, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga meihat teks-teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual dan kontekstual ) juga di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung kepada masalah-masalah hukum. Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili, tapi tidak terfokus pada teks itu saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contoh- contoh lainnya. Hal ini diakui sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita, sebagaimana yang di ungkap oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir seluruh mufassir menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna dan pesan- pesan al Qur’an, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan, yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.[23]
Kedua :  Gaya 
penafsiran yang dicontohkan oleh DR.Nasaruddin Umar dalam membahas  ayat
 poligami, yang menurutnya adalah metode Maudlui, atau metode  
penafsiran secara holistis, yakni penafsiran al Qur’an secara menyeluruh
  , pada hakekatnya belum memenuhi syarat dan banyak cacatnya. Karena  
beliau menggabungkan dua ayat yang berbeda artinya, sehingga  
menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat dari pembahasanya yang 
 tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa 
menafsirkan  ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula 
beliau juga  tidak menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al 
Nisa’ : 82 (  Apakah mereka tidak mau tadabbur ( merenungi ) al-Qur’an ,
 seandainya  al-Qur’an tersebut bukan dari sisi Allah, tentunya mereka 
akan  mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak 
 memperhatikan , bahwa menyimpulkan dua ayat poligami tersebut dengan  
metode yang beliau pakai, sebetulnya secara tidak langung menganggap  
ayat –ayat di dalam al-Qur’an saling bertentangan. Karena dalam satu  
ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat adil, sedangkan dalam  
ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga, beliau tidak
  memperhatikan dampak – dampak sosial, moral dan psikologi manusia.  
Sehingga, kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung  
kontradiksi. Intinya, metode penafsiran yang beliau anggapnya bersifat  
holistis ataupun mencakup secara keseluruhan , justru kenyataannya malah
  parsial, sedang penafsiran para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan
  hanya terfokus pada ayat tertentu, ternyata kenyataannya justru malah 
 holistis dan menyeluruh.
Adapun firman Allah yang berbunyi : “ wain khiftum ala tuqsithu fil yatama “ , syarat tersebut tidak mempunyai mafhum, sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya , rasa kawatir untuk tidak berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang untuk melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin. [24]
Yang di  katakan oleh Imam Qurtubi 
tersebut , sesuai dengan ayat lain yang  terdapat dalam( Q.s al- Nisa’ ,
 ayat : 101 ) : ( Apabila kamu bepergan  di atas bumi ini, maka tidaklah
 mengapa, kamu meng-qhosor sholatmu ,  jika kamu kawatir akan diserang 
orang- orang kafir )
Syarat  dalam ayat di atas, tidaklah 
mempunyai mafhum, artinya kekawatiran untuk  di serang orang kafir, 
bukanlah syarat untuk dibolehkan melakukan  sholat qoshor.
Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami sampai empat istri dengan syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas perempuan, karena ajaran tersebut merupakan salah satu bentuk konsepsi yang diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. Islam di dalam meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan dengan pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya, tidak melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat kepentingan satu pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya menghapus kebolehan seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri, merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki- laki dan mengekang kemampuan kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan berpoligami lebih dari empat merupakan bentuk diskriminasi dan de – humanisasi perempuan serta membunuh perasaannya yang halus.
Syarat  berlaku adil untuk dibolehkannya
 berpoligami , seperti yang disebutkan  dalam Surat anNisa’ ayat : 3, 
nampaknya kurang cukup, menurut sebagian  orang , sehingga perlu di 
tambah syarat lain yaitu “ harus dalam keadaan  darurat “. Kalau 
diteliti secara seksama syarat yang di usulkan untuk  ditambahkan dalam 
berpoligami selain berbuat adil, kurang banyak  manfaatnya, karena 
syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan  sayang nya lagi 
yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan  batasan 
dlarurat yang sebenarnya.
Sebagian  orang yang menolak adanya 
poligami, menyandarkan pendapat mereka pada  larangan Rosulullah saw 
kepada Ali untuk menikah lagi, dan memadu  putrinya, Fatimah.[25] Mereka
 mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan  bahwa Rosulullah saw sendiri
 melarang poligami.
Jadi,  metode penafsiran matematika tadi
 belumlah dianggap kuat untuk  menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya 
poligami, sehingga hadits ini ,  dimunculkan ke permukaan.
Para  ulama , alhamdulillah telah 
menerangkan kedudukan dan maksud hadits di  atas. Syekh Sayid Sabiq, 
memberikan judul pada hadist Fatimah tadi  dengan bunyi : “ Hak 
perempuan untuk mensyaratkan agar tidak dimadu “  [26]
Artinya  bahwa larangan Rosulullah 
kepada Ali untuk memadu Fatimah, bukan karena  Rosulullah melarang 
poligami. Akan tetapi Rosulullah ingin agar Ali ra  menepati syarat yang
 telah diajukan oleh Rosulullah saw, dalam hal ini  sebagai wali 
Fatimah, ketika menikahkannya dengan Fatimah. Apabila  seorang wali 
perempuan mensyaratkan kepada mempelai laki- laki agar  anaknya tidak di
 madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka syarat  itu syah dan 
wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar.  Seandainya 
dilanggar, maka istri berhak mengajukan gugatan untuk  membatalkan 
pernikahan .Begitulah , kira- kira arti dari judul yang di  tulis Syekh 
Sayid Sabiq. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah syarat  tersebut 
disebutkan dalam akad antara Ali ra. Dengan Fatimah ra  ?Jawabannya, 
bahwa para Fuqoha telah menetapkan sebuah kaidah. “ al  Masyrut ‘Urfan 
kal masyrut lafdhon “ ( sesuatu yang di syaratkan dengan  kebiasaan 
bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya walaupun Rosulullah  saw tidak
 mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan tetapi  syarat 
tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri  Nabi 
Muhammad saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks  hadist
 ini bahwa Fatimah hendak di madu dengan anknya Abu Jahal ,  pentolan 
orang musyrik yanh menjadi musuh utama Rosulullah saw.
Di sana  ada jawaban versi lain, yaitu 
larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait  dengan konspirasi politik 
yang ada di baliknya. Diriwayatkan,  Rasulullah saw berkhutbah di 
hadapan khalayak ramai, “Sejumlah keluarga  Bani Hasyim bin al-Mughirah 
meminta izin kepadaku untuk mengawinkan  putri mereka dengan Ali bi Abi 
Thalib. Ketahuilah aku tidak mengizinkan  (tiga kali).” Seperti 
disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan  tersebut karena Abu Jahal 
bermaksud ‘meminang’ Ali untuk menikahi  puterinya. Abu Jahal punya 
maksud tertentu di balik perkawinan ‘politis’  ini. Hal inilah yang 
membuat Rasulullah saw tegas melarangnya. “Tak  mungkin berkumpul puteri
 Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu rumah,”  tegas Rasulullah 
saw.[27] Seandainya larangan itu ditujukan kepada  poligami, tentulah 
beliau melarang para sahabatnya berpoligami. Kalau  itu terjadi, tak 
mungkin ada sahabat yang mau berpoligami. Namun yang  terjadi malah 
sebaliknya. Banyak para sahabat yang berpoligami.
Bersambung ke makalah 'Hikmah-hikmah 
Dibalik Poligami'...............
* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana
 , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir.
( Tulisan ini dinukil dari makalah : « 
Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Qur’an « 2003 karya ; Ahmad Zain An
 Najah, MA )
[1] DR. Musthofa Siba’I , al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qonun , Kairo: Darus Salam, 1998Cet. I hlm . 48
[2] DR. Musthofa, Siba’I , op.cit , hlm 
49
[3] HR  Bukhari , Shohih Bukhari, 
dicetak bersama Fathul Bari, karya Ibnu Hajar  al Asqolani, Kairo, Darul
 Hadits, 1998, Cet. I 8/296 no hadist : 4574 ,  lihat juga Qurtubi, al 
Jami’ liahkamil al Qur’an, Beirut, Darul Kutub  Ilmiyah, 1996, Cet. V 
5/9-10, Sayid Qutub, Fi dhilali al Qur’an, (  Beirut, Darul al Syuruq, 
1994 ) cet. XXIII, 1/ 577, Muhammad Al Thohir  bin Asyur, Tafsir Al 
Tahrir wa al Tanwir, Tunis : Dar Tunisiyah ni nasyr  , 1984 , 4/222
[4] Muhammad Al Thohir bin Asyur, op.cit
 . 4/222
[5] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al 
Adhim, Beirut : Darul Ma’rifat, 1996, Cet. XIII, 1/ 460
[6]  Tahrir al Mar’ah hlm 153-154, yang 
dinukil oleh Muhammad Bintaji di  dalam “ Makanatul Mar’ah fi al- Qur’an
 al Kariem dan al Sunah al-  Shohihah, Kairo : Darul al – Salam, 2000) 
cet. I hlm : 207
[7] DR. Nasaruddin Umar, MA , op.cit., 
hlm : 283.
[8] lihat, wawancara Ulil Abshor Abdilah
 dengan Faqihuddin di situs www. Islamlib.com ( 1/6/ 2003 ) .
[9] ibid, 28/ 4/ 2002
[10]  Dalam Acara Perspektif Perempuan ,
 sajian stasiun televisi ANTV, Sabtu  malam (09/08) yang di muat pada 
majalah Sabili edisi Agustus 2003
[11] ibid.
[12] Syekh Muhammad Madani, op. cit , 
hlm : 192
[13] DR. Muhammad Bintaji , op.cit, hlm :
 214
[14] Ibid, hlm. : 174.
[15]  Ibid,hlm 193, Muhammad Thohir bin 
Asyur, op. cit : 4/ 226 , Sayid Qutb,  op.cit, 1/ 582, Hasyim bin Hamid 
al Rifa’I , Mahasin ta’adudi zaujat , (  Jizah : Maktabah Tau’iyah 
Islamiyah, 1994 ) cet II. Hlm. 20
[16] Qurthubi, op.cit hlm 261
[17] HR  Abu Daud , Tirmidzi , Nasai, 
Ibnu Majah, Imam Ahmad, Al Hakim dan Ibnu  Hibban . Imam Al Hakim 
berkata : “ Hadist ini shohih berdasarkan syarat  yang telah di tetapkan
 Imam Muslim dan di setujui oleh Ad Dzahabi “.  Lihat Abu Daud, 
al-Sunan, Beirut, Darul Fikr, 1995 ) dicetak bersama  Aunul Ma’bud, 
karya Syamsul Hak Adhim Abadi, Kitab : Nikah, Bab : al  Qosam baina al 
Nisa’ , hadist no : 2134 , Tirmidzi, al Sunan, ( Beirut :  Darul Fikr, 
1995 ) Dicetak bersama Tuhfatul Ahwadhi karya Abdurohima  
al-Mubarfukuri, Kitab : Nikah, Bab : Ma jaa fi taswiyah baina dhoroir,  
(hadits no : 1140), Nasai, al- Sunan, ( Beirut : Darul Fikr, 1995 )  
dicetak bersama syareh : Jalaluddin Suyuti dan hasyiah : Imam Sindy ,  
Kitab : Nikah, Bab :mail rojulila ba’dhi nisaihi duna ba’dhin, ( hadist 
 no : 3949 ), Ibnu Majah, al-Sunan,Beirut , Darul Fikr, 1995 ,Kitab :  
Nikah, Bab : qismah baina Al nisa’ , (hadist no : 1971) , Imam Ahmad,  
al-Musnad, ( 7/ 207 )al-Hakim , al-Mustadrok, ( 2/ 187 ). Ibnu Hibban , 
 as-shohih,Kitab : Nikah, Bab : Al Qosm, hadist no : 4192 )
[18] .  Lihat DR. Muham. Bintaji, 
op.cit, hlm. 176, DR. Abdus Salam Madkur ,  Dirasat fi Tsaqofah 
Islamiyah, hlm 283, sebagaimana yang dikutip oleh  Hasyim bin Hamid al 
Rifa’I , op. cit., hlm 26.
[19] DR. Muh. Bintaji, op.cit. , hlm : 
174
[20]  Sengaja penulis mengambil contoh 
DR. Nasaruddin untuk mewakili kelompok  yang lain yang mempunyai 
pandangan sama dengan beliau, di karenakan  tulisan beliau adalah sebuah
 Desertasi yangdi tulis selama enam tahun  dan setelah melakukan riset 
di banyak negara.
[21] DR. Nasaruddin Umar . op. cit . 
,hlm 284
[22] Ibid hlm 285.
[23] Dr. Siti Musdah Mulia, op. cit., . 
hlm. 4
[24] Quthubi, op.cit., 5/11, DR. Muh. 
Bintaji, op.cit., hlm. 178
[25]  HR. Bukhori, Kitab : Nikahm, Bab: 
Dzabbu al Rojuli ‘an Ibnatihi fial  Ghiroh wa al Inshof.Juga 
diriwayatkan oleh Muslim, Kitab : Fadhoil al  Shohabah, Bab : Fadhoil 
Fatimah binti Nabi saw.
[26] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Kairo : 
Dar al Fath lil I’lam al Arobi, 1999, Cet. II hlm 388
[27] Jawaban ini , adalah versi yang 
dimuat di dalam majalah Sabili, edisi Agustus 2003 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar