ATHO' BIN ABI ROBAAH
Kita berada di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijjah tahun 97 H.
Saat dimana Baitul ‘Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyambut
panggilan Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan
kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia adapula yang muda
belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih adapula yang
hitam warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang ‘Ajam, ada raja ada
pula rakya jelata.
Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin,
raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa
mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa mengenakan apapun
selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat
biasa. Beliau layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya
turut kedua puteranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan
bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi
baunya.
Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri
seorang kepercayaannya dan bertanya, “Di manakah temanmu itu?” sambil
menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab, “Di sana, beliau
sedang berdiri untuk shalat.” Dengna diiringi kedua puteranya khalifah
bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah
bermaksud menyimak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari
berkata, “Ini adalah suatu tempat yang tidak membeda-bedakan antara
raja dan rakyat jelata, tiada yang lebih utama antara satu dengan yang
lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi
seseorang yang kusut berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan
penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.” Kemudian beliau
berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam
keadaan shalat, hanyut dalam ruku’ dan sujudnya. Sementara orang-orang
duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di
penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.
Kedua
putera mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan
lelaki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk
bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan
shalatnya.
Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang
berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk
laksana burung gagak berwarna hitam.
Setelah merampungkan
shalatnya, syaikh itu menolehkan pandangannya di mana khalifah duduk,
maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan
orang tua itu pun membalasnya dengan serupa.
Di sini khalifah
menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk
bertanya tentang manasik haji, rukun dan demi rukunya, sedang orang tua
tadi menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan
rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia
sandarkan seluruh pendapatkan kepada hadits Rasulullah saw.
Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan syaikh
tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah
berkada kepada kedua puteranya, “Berdirilah kalian!” maka berdirilah
keduanya dan mereka pun beranjak menuju tempat sa’i.
Di tengah
perjalanan Sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar
seruan para penyeru, “Wahai kaum muslimin,…tiada yang berhak berfatwa
di tempat ini kecuali Atha’ bin Rabah…jika tidak bertemu dengannya
hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.” Seorang dari pemuda itu
langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata, “Petugas amirul
mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorang pun
selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru
datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan
prioritas kepada khalifah dan tidak pula member hak penghormatan khusus
kepadanya?
Sulaiman berkata kepada putranya, “Wahai anakku,
pria yang kamu lihat dan engkaku melihat kami berlaku hormat di
hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak
berfatwa di masjidil Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas
dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku
carilah ilmu…karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi
terhormat…para budak bisa melampaui derajat para raja…”
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakana kepada
putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi
Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah sebagai seorang
budak milik seorang wanita penduduk Makkah. Hanya saja Allah memuliakan
budah Habsyah ini sejak beliau pancangkan kedua telapak kakinya di atas
jalan ilmu. Beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk
majikannya, beliau berkhidmat dengan baik dan menunaikan hak-hak
majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan waktunya untuk menyendiri
bersama Rabb-nya, beliau tenggelam dalam peribadatan yang begitu suci
dan ikhlas karena Allah.
Sepertiga lainnya beliau pergunakan
untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat
Rasulullah saw. yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari
sumbernya yang jernih.
Beliau mengambil ilmu dari Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir
dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah ‘alaihin hingga
dadanya penuh dengan ilmu fikih dan riwayat dari Rasulullah saw.
Begitu majikan penduduk makkah melihat budaknya telah menjual dirinya
kepada Allah…dan berbakat untuk menuntut ilmu maka ia cabut haknya
terhadap Atha’, dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah SWT,
dengan harapan mudah-mudahan dia dapat member manfaat bagi Islam dan
kaum muslimin.
Sejak hari itu, Atha’ bin Abi Rabah menjadikan
Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah tempat beliau
bermalam, sebagai madrasah tempat beliau memperdalam ilmu, tempat
shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan, hingga
para pakar sejarah mengatakan, “Masjid tersebut menjadi tempat tidur
bagi Atha’ bin Abi Rabah selama kurang lebih 20 tahun.”
Sampailah tabi’in yang agung ini ke derajat yang tinggi, dalam hal
ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mampu
memperoleh derajat tersebut melainkan sedikit sekali pada zaman beliau.
Telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar r.a. berkunjung ke
Makkah untuk melakukan umrah. Orang-orang mengerumuni beliau untuk
menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau
berkata, “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Makkah,
mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya masalah-masalah tersebut
padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Rabah?!”
Atha’ bin Abi Rabah mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:
Pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan
peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.
Kedua, beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya secara
sia-sia, seperti mengobrol ataupun perbuatan tak berguna lainnya.
Muhammad bin Surqah menceritakan kepada jama’ah yang mengunjungi
beliau, “Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan
bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat
karenanya?” Mereka berkata, “Mau.” Beliau berkata, “Suatu hari Atha’
bin Abi Rabah menasehatiku, ‘Wahai putra saudaraku, sesungguhnya
orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat) tidak menyukai banyak
bicara.’ Lalu aku katakan, ‘Apa yang dianggap banyak bicara menurut
mereka?’ beliau menjawab, ‘Mereka menganggap bahwa setiap ucapan
termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca al-Kitab dan
memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dan
harus diketahui, atau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana
taqarrub kepada Allah Ta’ala, atau engkau membicarakan tentang
kebutuhan dan pekerjaan yang harus dibicarakan.’ ‘Lalu beliau
memperhatikan raut wajahku seraya berkata, ‘Apakah kalian mengingkari
firman Allah Ta’ala, ‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada
(malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi
Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),’ (Al-Infithar: 10 – 11).”
Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat. “Yaitu
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan
pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir,” (Qaaf: 17-18).
Kemudian beliau berkata,
“Tidakkah salah seorang diantara kita merasa malu manakala dibukakan
lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia
mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan
agama maupun kepentingan dunianya?”
Sungguh, Allah SWT
memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah.
Diantara mereka ada yang menjadi ahli ilmu yang handal, ada yang
menjadi pengusaha dan lain-lain.
Imam Abu Hanifah an-Nu’man
menceritakan pengalaman beliau, “Aku pernah melakukan lima kesalahan
ketika melakukan manasik di Makkah, lalu seorang tukang cukur
mengajariku. Peristiwa itu terjadi ketika aku bermaksud mencukur rambut
karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang
cukur, lalu aku bertanya, “Berapa upah yang harus aku bayar untuk
mencukur rambut kepala?” tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah
memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersayaratkan itu,
duduklah dan posisikan kepala sesuka Anda.” Aku pun merasa grogi dan
duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang
cukur itu mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan akupun menuruti
kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu
aku serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang
cukur itu berkata, “Berikan bagian kanan.” Lalu aku pun menyerahkan
bagian kanan kepalaku.
Tukang cukur itu mulai memangkas
rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub.
Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata, “Mengapa Anda diam saja?
Bertakbirlah!” lalu aku pun bertakbir hingga aku beranjak untuk pergi.
Untuk kesekian kalinya tukang cukur itu menegerku, “Hendak kemanakah
Andah?” Aku katakan, “Aku hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang
cukur itu berkata, “Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu baru kemudian
pergilah sesuka Anda.” Aku pun shalat dua rakaat, lalu aku berkata
kepada diriku sendiri, “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat
seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku bertanya
kepadanya, “Darimanakah Anda mendapatkan tatacara manasik yang telah
Anda ajarkan kepadaku tadi?” orang itu menjawab, “Aku melihat Atha’
bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan
memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.”
Sungguh,
gemerlapnya dunia telah merayu Atha’ bin Abi Rabah namun beliau
berpaling dan menampiknya dengan serius. Sepanjang hayat beliau hanya
mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.
Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi
pendamping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau
takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau
mengunjungi khalifah jika beliau merasa hal itu dapat mendatangkan
manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.
Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani. “Aku pergi berhasa ayah untuk menghadapi Hisyam bin Abdul Malik, tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggani himar hitam, mengenakan baju lusuh dan memakai jubah yang telah usang, penutup kepala yang telah kusut melekat pula pada kepalanya. Pelana yang dipakai terbuat dari kayu yang murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah, “Siapakah orang ini?” Ayah berkata, “Diam kamu, dia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar, aku bertanya kepadanya, “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” beliau berkata, “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera dan mempersilahkan kami masuk. Demi Allah, aku tidak akan bisa masuk melainkan bersama Atha’. Demi melihat Atha’, Hisyam berkata, “Marhaban! Marhaban! Silahkan, silahkan…beliau terus menyambut silahkan…silahkan!” hingga Hisyam menduduk Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majelis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam.
Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara mereka berdua.
Hisyam, “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluar Allah dan tetangga Rasulullah saw., hendaknya mendapatkan pembagian rezeki dan pemberian.”
Hisyam, “Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’), “Masih adakah keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam, “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsughur (yang ribat fii sabilillah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam, “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam, (berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahlu dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak merek mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar…bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat apapun...!”
Hisyam menundukkan kepalanya sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan aku pun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami melewati pintu tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau sambil membawa sebuah bejana yang aku tidak tahu apa isinya sembari mengatakan, “Sesungguhnya amirul mukminin menyuruhkan untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab, “Tidak.” Lau beliau membaca ayat:
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahkan tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta Alam,” (Asy-Syu’ara: 109).
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.
Pada gilirannya Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang dipundaknya. Karena kebanyak bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
Sumber: Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 13-24
Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani. “Aku pergi berhasa ayah untuk menghadapi Hisyam bin Abdul Malik, tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggani himar hitam, mengenakan baju lusuh dan memakai jubah yang telah usang, penutup kepala yang telah kusut melekat pula pada kepalanya. Pelana yang dipakai terbuat dari kayu yang murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah, “Siapakah orang ini?” Ayah berkata, “Diam kamu, dia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar, aku bertanya kepadanya, “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” beliau berkata, “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera dan mempersilahkan kami masuk. Demi Allah, aku tidak akan bisa masuk melainkan bersama Atha’. Demi melihat Atha’, Hisyam berkata, “Marhaban! Marhaban! Silahkan, silahkan…beliau terus menyambut silahkan…silahkan!” hingga Hisyam menduduk Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majelis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam.
Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara mereka berdua.
Hisyam, “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluar Allah dan tetangga Rasulullah saw., hendaknya mendapatkan pembagian rezeki dan pemberian.”
Hisyam, “Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’), “Masih adakah keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam, “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsughur (yang ribat fii sabilillah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam, “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam, (berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahlu dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak merek mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’, “Benar…bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat apapun...!”
Hisyam menundukkan kepalanya sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan aku pun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami melewati pintu tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau sambil membawa sebuah bejana yang aku tidak tahu apa isinya sembari mengatakan, “Sesungguhnya amirul mukminin menyuruhkan untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab, “Tidak.” Lau beliau membaca ayat:
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahkan tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta Alam,” (Asy-Syu’ara: 109).
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.
Pada gilirannya Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang dipundaknya. Karena kebanyak bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
Sumber: Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 13-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar