Kamis, 19 Juli 2012

Betah Berdiri Shalat

BETAH BERDIRI SHALAT RINGAN MENANTI HISAB





Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam  membaca firman Allah,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
” (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (QS al-Muthaffifin 6)
Lalu beliau bersabda, “Bagaimana nasib kalian saat Allah mengumpulkan kalian sebagaimana mengumpulkan anak panah di wadahnya selama 50.000 tahun, kemudian Allah tidak memperhatikan kalian.” (HR al-Hakim, beliau mengatakan shahih, adz-Dzahabi menyepakatinya begitupun dengan al-Albani))

Yaumun ‘Azhim, Hari yang Berat

Betapa berat peristiwa itu, tak terkira gerahnya penghuni makhsyar kala itu. Banyak wajah tertunduk,
banyak hati gentar dan ketakutan, sedangkan jasad merasakan kelelahan. Karena dalam jangka waktu yang lama mereka berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin sementara matahari didekatkan jaraknya di atas kepala hingga satu mil. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ
“Matahari didekatkan kepada manusia pada Hari Kiamat hingga jaraknya dari mereka hanya satu mil. “(HR Muslim)
Sulaim bin Amir yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan, “Demi Allah aku tidak tahu maksud satu mil. Apakaha yang dimaksud mil adalah satuan jarak, ataukah ‘mil’ yang biasa dipakai manusia untuk bercelak mata.”
Taruhlah kita ambil makna ‘mil’ dalam hadits tersebut adalah satuan jarak, maka alangkah dekatnya jarak tersebut. Bandingkanlah jarak jarak matahari dengan bumi sekarang ini. Di antara ilmuwan mengatakan bahwa jarak antara keduanya adalah 149.680.000 km atau 93.026.724 mil. Pun begitu, kita sering mengeluh kegerahan. Lantas bagaimana keadaan manusia yang berdiri selama 50.000 tahun dengan tanpa alas kaki dan tanpa pakaian, sementara matahari hanya 1 mil saja di atas kepalanya?
Ketika itu, terjadilah banjir keringat sesuai dengan kondisi amal masing-masing tatkala di dunia. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْجَامًا “ ، قَالَ : وَأَوْمَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى فِيهِ
“Maka manusia akan berkeringat sesuai dengan kadar amal mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya mencapai kedua mata kakinya, ada yang mencapai kedua lututnya. Dan di antara mereka ada yang keringatnya mencapai pinggangnya, dan adapula yang tenggelam oleh keringatnya –dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam  mengisyaratkan dengan tangannya ke mulut beliau.” (HR.Muslim)
Untuk peristiwa itulah seharusnya kita siapkan perbekalan ”liyaumin ’azhiem”, pada hari yang besar, hari yang dahsyat dan berat.

Ringan Bagi Orang yang Beriman

Dengan berbagai peristiwa yang menakutkan, juga jangka waktu yang begitu lama tersebut, tidak semua manusia mengenyam rasa pahit dan derita. Ada orang-orang yang diringankan keadaannya oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman. Ketika mereka telah bersungguh-sungguh untuk berdiri menghadap Allah ketika shalat di dunia, maka Allah akan meringankan mereka, pada hari di mana umumnya manusia berdiri berdiri dengan berat di hadapan Allah pada hari Kiamat.
Imam Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa seseorang berkata, “Alangkah lamanya hari (di makhsyar) itu?” Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَلَى الْمُؤْمِنِ، حَتَّى يَكُونَ أَخَفَّ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ يُصَلِّيهَا فِي الدُّنْيَا “
“Demi yang jiwaku ada di tangannya, sesungguhnya hal itu akan diringankan atas orang mukmin, hingga ia rasakan lebih ringan dari (menjalankan) shalat wajib ketika di dunia.” (HR Ahmad, al-Haitsami mengatakan sanadnya hasan)
Subhanallah, sekian lama berdiri hanya dirasakan seperti berdiri satu kali shalat wajib, yang hanya berlangsung beberapa menit saja.
Orang-orang yang mengharapkan ringan urusannya di saat berdiri pada hari Kiamat menanti hisab, mereka akan berusaha konsisten dan khusyuk tatkala berdiri dalam shalat. Baik di waktu shalat wajib, maupun ketika shalat-shalat nafilah. Seperti tokoh tabi’in, Amir bin Abdillah at-Tamiimi RHM, tatkala ditanya, “Apakah Anda menyadari situasi ketika Anda sedang berdiri shalat?” Beliau menjawab, “Ya, saya sadar sedang berdiri di hadapan Allah, dan pada saatnya nanti pasti akan memasuki satu di antara dua tempat, jannah atau neraka.” Orang itu berkata, “Bukan itu maksud saya, tetapi apakah Anda mendengar apa yang kami perbincangkan saat Anda shalat?” Beliau menjawab, “Tombak menembus tubuhku lebih aku sukai dari pada saya mendengarkan apa yang kalian perbincangkan sewaktu sedang shalat.”
Rasa khusyuk, menjadikan para ahli ibadah betah berdiri shalat. Dan seberapa mampu seseorang untuk berdiri shalat, tidak dipengaruhi oleh kekuatan fisik. Berapa banyak orang yang bertubuh kekar dan gagah, namun terasa berat dan lemah untuk berdiri shalat. Namun ada pula di antara hamba Allah yang sudah lanjut usia, lemah tubuhnya, namun terasa nyaman saat berdiri di hadapan Allah. Seperti yang dialami oleh Abu Ishaq as-Sabi’i (wafat 127 H), “Sudah lemah tubuhku, dan telah senja usiaku, sehingga hari ini aku hanya mampu membaca Surat al-Baqarah dan surat Ali Imran saja saat berdiri shalat.” Allahu akbar, padahal dua surat itu hampir mencapai 3 juz.
Begitulah kekuatan hati berbicara. Ketika hati sudah cinta, apa yang dirasa berat dijalani orang, baginya akan terasa ringan. Bagaimana mereka tidak mencintai shalat, padahal itu adalah momen istimewa bertemu dengan Kekasih sejatinya. Bagaimana tidak bersemangat seseorang yang bertemu dengan Penciptanya? Pemberi rejeki di dunia dan yang kuasa memasukkan hamba-Nya ke dalam jannah, tempat segala keinginan akan terpenuhi? Bagaimana mungkin seseorang akan melewatkan kesempatan emas dan bergegas untuk menyudahi perjumpaan dengan Kekasih yang paling dicintainya? Antusias mereka melebihi antusias para pecandu bola saat menyaksikan pertandingan bola.
Bagaimana pula seseorang berani sembrono dan main-main di kala shalat, sedangkan dia sedang bermunajat di hadapan Allah saat sedang shalat? Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ ، فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ ، وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ ، تَحْتَ قَدَمِهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian sedang shalat, maka dia sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah ia meludah di hadapannya, jangan pula di sebelah kanannya, akan tetapi hendaknya di sebelah kirinya dan di bawah telapak kakinya.” (HR Muslim)

 Tak Peduli, Bengkak Kaki karena Lamanya Berdiri

Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah insan yang paling nyata cintanya kepada Allah. Beliau juga mencintai shalat yang menjadi konsekuensi cinta seorang hamba kepada Penciptanya. Maka, beliau sangat menikmati saat-saat berkomunikasi kepada Allah waktu shalat. Telapak kaki yang bengkak lantaran lamanya berdiri shalat tak dirasakannya, karena terlalu remeh untuk bisa mengusik kelezatan saat bermunajat kepada Allah. Suatu malam, Hudzaifah bin Yaman RA shalat bersama Rasulullah SAW. Ketika itu beliau SAW membaca Surat al-Baqarah, an-Nisa’ dan Ali Imran, sehingga secara keseluruhan sekitar lima seperempat juz. Hudzaifah juga mengisahkan, “Setiap beliau bertemu dengan ayat tentang rahmat, beliau memohon rahmat, ketika sampai pada ayat tasbih, beliau bertasbih, ketika sampai ayat ancaman, beliau memohon perlindungan kepada Allah.”  Sedangkan beliau membacanya dengan tartil, ayat demi ayat secara perlahan.
Syeikh Utsaimin memberikan gambaran tentang seberapa lama shalat Nabi SAW dalam kontek kekinian, “Di musim dingin misalnya, di mana panjangnya waktu malam selama 12 jam, sedangkan Nabi SAW shalat dua pertiga malam kurang sedikit. Maka terhitung kira-kira Nabi shalat malam sekitar 7 jam lamanya.”
Ini beliau lakukan, meskipun dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Ketika Aisyah radiyallahu ‘anha bertanya tentang alasan beliau melaksanakannya, beliau menjawab,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْداً شَكُوْرًا
“Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari)
Alangkah jauh generasi ini dengan panutannya. Kebanyakan mereka tidak berdiri shalat melainkan sebentar, pun disertai dengan kelalaian hati dan kosongnya penghayatan.
Ini tak lain disebabkan karena lunturnya kecintaan kepada Allah, dan ada kekasih atau sesuatu yang lebih mereka cintai daripada Allah.  Ia lebih sering mengingat kekasihnya daripada Rabbnya, lebih mengutamakan ridha kekasihnya daripada ridha Rabbnya. Lebih suka dekat dengan kekasihnya daripada dekat dengan Rabbnya. Lebih takut kekasihnya yang marah daripada Allah yangg murka. Mayoritas perhatian dan waktu tertuju untuk kekasihnya, sedangkan Allah mendapat sisanya. Dan ia begitu bersemangat dan penuh antusias saat bertemu kekasihnya, namun tatkala bertemu Allah saat shalat serasa tersiksa, ia laksana berdiri di atas bara, dan ingin sesegera mungkin untuk menyudahinya. Wal ‘iyaadzu billah. (Abu Umar Abdillah)[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar