Selasa, 10 Juli 2012

Penyimpangan Perjuangan


Penyimpangan Perjuangan, Berawal dari Kerusakan Aqidah





“Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah sumber kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar manusia seperti hewan, bahkan lebih sesat dan lebih buruk dari binatang.”
Ungkapan di atas adalah kesimpulan Syaikh DR. Shalih al-Fauzan, seorang pakar aqidah kontemporer. Urgensi aqidah shahihah telah ditegaskan dalam sirah Nabi Muhammad saw. Tema dakwah awal beliau selama kurang lebih 13 tahun di Makkah, adalah seputar masalah aqidah tauhid. Selebihnya tentang akhlak dan cinta akhirat.
Kesimpulan ini diperkuat dengat ayat-ayat yang turun pada fase Makkah (Makkiyah). Hampir seluruh ayat Makkiyah menekankan kemurnian aqidah dari berbagai macam penyimpangan.
Ini menunjukkan bahwa aqidah merupakan asas perjuangan yang sangat menentukan bagi masa depan umat Islam. Maka, sebelum kewajiban iqamatuddin yang lebih berat, seperti jihad, haji, puasa dan selainnya dibebankan kepada umat Islam, Rasulullah  saw terlebih dahulu meluruskan aqidah para sahabatnya.
Beliau saw menyadari, kelak mereka akan dibebani syari’at iqamatuddin yang lebih berat. Seakan-akan beliau ingin mengajarkan kepada umatnya, kelurusan aqidah dan ibadah adalah pondasi perjuangan serta titik tolak kelurusan manhaj pergerakan Islam.

Berawal dari Penyimpangan
Sebaliknya, penyimpangan dalam aqidah dan ibadah adalah faktor utama penyimpangan gerakan atau organisasi Islam. Penyimpangan ini bisa ditandai dengan ketidakjelasan manhaj yang ditempuh, bahkan bisa berujung pada kerjasama dengan orang kafir dalam memusuhi Islam dan umatnya.
Sejarah telah mencatat banyak bukti tentang ini. Salah satunya, penyimpangan aqidah sekte Syi’ah. Hal itu menjadi faktor dominan yang menyebabkan mereka bekerjasama dengan  orang-orang kafir dalam menumpahkan darah umat Islam.
Pada tahun 331 H, orang-orang Syi’ah bekerja sama dengan Tozon –salah satu panglima Tartar- dalam memerangi umat Islam di Baghdad. Ibnu Katsier rhm menuturkan kejadian ini, “Pada tahun ini (331 H), banyak sekali orang-orang Syi’ah di Baghdad. Mereka sering mengumandangkan yel-yel, ‘Siapa yang berani menyebut seorang sahabat dengan panggilan yang buruk maka ia akan mendapat perlindungan.”
Mereka juga membunuh Perdana Menteri Nizhamul Muluk. Seorang pemuda Syi’ah berpura-pura meminta sumbangan ke rumah Nizhamul Muluk. Saat beliau mengulurkan tangan memberikan bantuan, pemuda Syi’ah tersebut menusuknya hingga meninggal.
Di tahun 498 H, mereka membantai jama’ah haji dari Khurasan dan India yang sedang  sahur di kota Rayy. Beberapa hari sebelumnya, mereka membunuh Abu Ja’far bin Al-Masyat, salah satu imam dalam Madzhab Syafi’i pada zaman itu. Juga membunuh Khalifah Abbasiyah, Al-Mustarsyid Billah. Raja Damaskus, Buri bin Tigtikin juga meninggal di tangan Syi’ah. Imam An-Naisaburi dan al-Harawi, meninggal setelah ditusuk oleh orang-orang Syi’ah.
Pernah ada seorang Muslim di Mesir dibunuh oleh orang-orang Syi’ah. Lalu mayatnya diarak-arak keliling kota. Sebabnya, mereka memergoki lelaki itu membaca kitab hadits Al-Muwatha’, karya Imam Malik.
Tidak mungkin menghitung satu-persatu kekejaman Syi’ah di lembaran ini. Syaikh Dr. Muhammad Abdah, telah membahasnya dengan baik dalam bukunya, “Akankah Sejarah Terulang.”
Kelak, penyimpangan aqidah, ibadah dan kekejaman Syi’ah terhadap umat Islam ini terulang kembali. Yaitu pada masa kekuasaan Ayatullah Khumaini di Iran dan Hasan Nasrullah bersama Hizbullah-nya di Lebanon.
Demikian juga yang terjadi di India pada masa penjajahan Inggris. Sekte Ahmadiyah yang sangat jauh menyimpang dalam aqidah dan praktek ibadah, menjadi tangan kanan Inggris menghadang jihad umat Islam. Berbagai syubhat untuk menghalangi laju dakwah Islam dikarang, seperti; jihad tidak ada hingga ada izin dari imam atau hingga kemunculan Imam Mahdi.
Pun demikian dengan ormas dan jama’ah Islam di berbagai belahan dunia hari ini, termasuk di Persada Nusantara. Penyimpangan aqidah dan ibadah pada diri mereka, menyebabkan mereka mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk memerangi Islam.
Sama seperti sekte-sekte sesat sebelumnya, untuk melegitimasi kezhaliman orang kafir atas umat Islam, ormas dan jama’ah tersebut menciptakan berbagai macam syubhat. Seperti menuduh para da’i dan ulama yang tegas menentang kebid’ahan, kesyirikan dan kezhaliman orang-orang kafir serta antek-anteknya dari kalangan penguasa lalim, dengan sebutan Khawarij, atau Salafi Wahabi. Tuduhan terakhir ini, sekarang lagi populer.

Ulama Rabbani
Kesesatan aqidah berbagai sekte sesat itu bisa dilawan dengan ilmu dan bashirah ulama Rabbani. Yaitu para ulama yang menyampaikan al-haq sesuai Al-Quran dan Sunnah serta menyingkap setiap kemunafikan dan kezindikan yang menyusup ke dalam tubuh umat Islam. Inilah yang ditakutkan oleh aliran, kelompok dan ormas yang menyempal dari aqidah serta ibadah shahihah.
Kehadiran da’i dan ulama Rabbani dalam pergerakan Islam adalah mimpi yang sangat menakutkan bagi jama’ah dan kelompok yang menyimpang dari aqidah-tauhid. Ulama Rabbani ini memadukan antara keberanian menyampaikan kebenaran dengan kezuhudan terhadap dunia. Ilmu yang mendalam membuat mereka hanya takut kepada Allah swt. Tentang sifat ini, Allah menjelaskan
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (Fathir: 28)
Ulama Rabbani ini telah hadir dalam medan perjuangan Islam di masa lalu dan akan senantiasa hadir bersama pejuang kebenaran dimanapun mereka berada, hingga akhir zaman. Rasulullah  saw menjelaskan
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku, selalu unggul di atas kebenaran. Orang-orang yang membenci mereka tidak akan mampu membahayakan mereka. Keadaan mereka akan senantiasa seperti itu, hingga ketentuan Allah (kiamat) datang.” (HR. Muslim)
Pada masa Sultan Nuruddin Zanki, ulama Rabbani hadir mengawal beliau dalam berjuang menegakkan Islam. Beliau adalah Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Ulama kharismatik penyebar aqidah ahlu sunnah.
Keluhuran akhlak dan kegagahan Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk kota Konstatinopel, tidak lepas dari jasa alim Rabbani, Syaikh Syamsuddin ‘Aaq. Sejak muda, Sultan al-Fatih dididik dengan akhlak mulia oleh Syaikh ‘Aaq. Beliaulah yang mendukung dan memberikan arahan-arahan kepada Sultan Muhammad al-Fatih dalam penaklukan Konstatinopel.
Saat pasukan Islam merayakan kemenangan atas Byzantium, mereka berhasil merebut kota Konstatinopel, Sultan al-Fatih berkata, “Kegembiraanku bukan karena kita mampu menaklukkan kota ini, akan tetapi kegembiraanku adalah karena adanya laki-laki ini –Syaikh ‘Aaq- pada zamanku.”
Syaikh ‘Aaq mengingatkan Sultan dan pasukan Islam untuk tidak berlarut dalam kemenangan dan tidak terlena dengan dunia. Pernah suatu hari, Sultan al-Fatih mengirim 1000  dinar emas kepada beliau sebagai hadiah, namun dengan halus beliau menolaknya. Di sini kezuhudan beliau teruji.
Dari sejarah Nusantara, kisah serupa pun muncul. Keberanian dan keistiqamahan Sultan Ageng Tirtayasa berjihad melawan kafir Belanda, tidak lepas dari bimbingan Syaikh Yusuf, ulama mujahid mantan panglima Sultan Hasanuddin.
Sementara Pangeran Diponegoro yang bergelar, Khalifatullah Amirul Mukminin Panotogomo ing Tanah Jawi, selalu didampingi ulama mujahid, Kyai Mojo dan Kyai Ghozali dari Solo. Kemurnian aqidahnya menjadikan beliau tidak sudi bekerja sama dan tunduk dibawah kekuasaan Kristen Belanda. Kedalaman ilmu diennya, membuat beliau menuntut Belanda agar hengkang dari tanah jawa, sehingga umat Islam bebas menerapkan syari’at Islam.

Aqidah Shahihah
Demikianlah, kelurusan aqidah dan ibadah telah mengantarkan para ulama dan pemimpin Islam meraih kemulian dunia dan akhirat. Bagaimanapun, kelurusan aqidah dan ibadah adalah syarat mutlak kebangkitan umat Islam. Ibarat pondasi rumah, aqidah adalah faktor utama kekokohan para pejuangnya di medan perjuangan.
Syaikh DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi pakar sejarah dan aqidah Islam telah melakukakan penelitian terhadap bangkit dan runtuhnya umat Islam, sejak zaman khulafa’ rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Murabithin hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyah. Penelitian beliau yang dituang dalam beberapa bukunya berkesimpulan; kebangkitan umat Islam berawal dari kelurusan aqidah, ibadah dan penerapan syari’at Islam terutama al-Wala’ wal Baro.’ Juga bersihnya masyarakat dari bid’ah dan khurafat.
Sebagai contohnya, kebangkitan Daulah Zankiyah dan Murabithun, berawal dari penyebaran aqidah ahlu sunnah wal jama’ah serta penerapan syari’at Islam di negeri mereka.
Sebaliknya, keruntuhan dan kemunduran masyarakat Islam terjadi ketika aqidah dan ibadah telah menyimpang serta tersebarnya berbagai macam kebid’ahan dan khurafat. Keruntuhan Daulah Utsmaniyah adalah salah satu contohnya. Di penghujung kekuasaannya, bid’ah dan khurafat tersebar di wilayah Turki. Tarian sufi, pengagungan terhadap pohon keramat dan kuburan menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dengan sebagian besar masyarakat Turki Utsmani. Wajarlah jika daulah ini mengalami nasib mengenaskan, runtuh dari dalam. *(Akrom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar