LIBERALISASI DI INDONESIA
Ide sekularisasi Islam di Indonesia pertama kali digulirkan oleh
Nurcholish Madjid pada 3 Januari 1970. Idenya itu diadopsi dari
pemikiran Harvey Cox dengan bukunya yang terkenal berjudul The Secular City.
Nurcholish mungkin tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah
bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka, maka
terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan
berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.
Harvey Cox menyebutkan bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari
dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga
komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas sekularisasi,
yaitu 'disenchantment of nature' yang dikaitkan dengan penciptaan (creation), 'desacralization of politics' dengan migrasi besar-besaran (exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan 'deconsecration of values' dengan Perjanjian Sinai. (Harvey Cox, The Secular: Secularization and Urbanization in Theological Perspective [New York: The Macmillan Company, 1967], hlm. 19-32).
Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan
agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari 'dunia lain' menuju
ke 'dunia kini'. Karena sudah menjadi suatu keharusan, kata Cox, kaum
Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab, sekularisasi
merupakan konsekuensi autentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum
Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Harvey Cox, The Secular: Secularization and Urbanization in Theological Perspective [New York: The Macmillan Company, 1967], hlm. 15).
Edisi pertama Buku The Secular City dicetak pada tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause celebre agama di luar jangkauan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan best seller
di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari
setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian
masyarakat kepada isu sekularisasi.
Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish
Madjid, yang ketika itu menjadi ketua umum Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam (PB HMI). Dan pada tanggal 12 Januari 1970 Nurcholish
Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi
di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jalan Menteng Raya 58.
Ketika itu Nurcholish meluncurkan makalah berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan
pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 21 Oktober 1992
dengan judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia".
Kini setelah 30 tahun berlangsung, arus sekularisasi dan liberalisasi
itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Arus itu
merambah ke berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan
bahkan pemikiran keagamaan. Penyebaran paham "pluralisme agama",
"dekonstruksi agama", "dekonstruksi kitab suci", dan sebagainya kini
justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi-organisasi
Islam--sebuah fenomena yang 'khas Indonesia'. Paham-paham ini menusuk
jantung Islam dan berusaha merobohkan Islam dari pondasinya yang paling
dasar.
Dari Tradisi Yahudi dan Kristen
Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini
Liberal Judaism (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu
aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama
Kristen juga sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai
salah satu "korban" liberalisasi dari peradaban Barat.
Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar
Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi
kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Tahun 380 Kristen
dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik
Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja
Katolik. Agama-agama di luar itu dilarang. Bahkan, sekte-sekte Kristen
di luar "gereja resmi" pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan yang
dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Akan tetapi, Kristen tergerus arus yang tak dapat dihindarinya, yaitu
sekularisasi dan liberalisasi. Jika dicermati lebih jauh, perekembangan
gereja-gereja di Eropa kini sudah memprihatinkan. Seorang aktivis
Kristen asal Bandung memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja
di Eropa dalam bukunya yang berjudul Gereja Modern, Mau ke Mana? (1995). Kristen benar-benar kelabakan dihantam nilai-nilai sekularisme, modernisme, liberalisme, dan 'klenikisme'.
Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99% penduduknya beragama
Kristen. Kini tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja. Mayoritas
dmereka sudah sekuler. Di Perancis yang 95% penduduknya tercatat
beragama Katolik, hanya 13%-nya saja yang menghadiri kebaktian di
gereja seminggu sekali. Di Jerman pata tahun 1987, menurut laporan Institute for Public Opinian Research,
46 persen penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan
lagi. Di Finlandia, yang 97% Kristen, hanya 3% yang pergi ke gereja
tiap minggu. Di Norwegia, yang 90% Kristen, hanya setengahnya saja yang
percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3%
yang rutin ke gereja tiap minggu.
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan
kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman
Barat--sebelum bersatu dengan Jerman Timur--terdapat 30.000 pendeta.
Tetapi, jumlah paranormal (witchcraft)
mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi
jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja
mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang
pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul Homosexuality and a Pastoral Church,
mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual
dan mengizinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau
wanita dengan wanita.
Sejumlah negara Barat telah melakukan "revolusi jingga", karena secara
resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Di berbagai negara Barat,
praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan, begitu juga
praktik-praktik perzinaan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya.
Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti.
Semua serba relatif: diserahkan kepada "kesepakatan" dan "kepantasan"
umum yang berlaku.
Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan
sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika
masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan
oleh negara. Bahkan, para pastor gereja Anglikan di New Hampshire AS
telah sepakat mengangkat seorang uskup homoseks bernama Gene Robinson
pada November 2003. Kaum Kristen yang homo itu merombak ajaran Kristen,
terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.
Progam Liberalisasi Islam
Secara sistematis, liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan
sejak awal tahun 1970-an. Secara umum ada tiga bidang penting dalam
ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi: (1) liberalisasi bidang
aqidah, dengan penyebaran pluralisme agama, (2) liberalisasi bidang
syariah, dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3)
liberalisasi konsep wahyu, dengan melakukan dekonstruksi terhadap
Al-Qur'an.
Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia,
memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu (1)
pentingnya konstektualisasi ijtihad, (2) komitmen terhadap rasionalitas
dan pembaruan, (3) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama, (4) pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi
non-sektarian negara. (Tahun 1999 disertasi Greg Barton diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia [1999: xxi]).
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui bahwa memang ada
strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi
Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama--yang jelas-jelas
merupakan paham syirik modern--dilakukan dengan cara yang sangat masif,
melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari
program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang
gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.
- Liberalisasi Aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme
Agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini,
semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama.
Atau, mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap
Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelatifannya, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang lebih
benar dari agama lain, atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang
benar.
Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh
para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut
ini pernyataan-pernyataan mereka.
- Ulil Abshar Abdalla
Ia mengatakan, "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar." (Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ia juga mengatakan, "Larangan beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam denan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." (Kompas, 18/11/2002).
- Budhy Munawar Rahman
Ia mempromosikan teologi pluralis sebagai berikut. "Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada kebenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai 'orang yang beriman', dengan makna 'orang yang percaya dan menrauh percaya kepada Tuhan'. Karena itu, sesuai QS 49: 10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman." Budhy menyimpulkan, "Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar-agama yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman--tanpa harus melihat agamanya apa--adalah sama di hadapan Allah. Karenanya, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu." (Lihat artikel Budhy Munawar Rahman berjudul "Basis Teologi Persaudaraan antar-Agama", dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm. 51-53).
- Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan (dosen UIN Yogyakarta)
Ia berpendapat, "Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin." (Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar [Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002], hlm. 44).
- Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Ia menulis, "Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama." (Lihat buku Tiga Agama Satu Tuhan [Bandung: Mizan, 1999], hlm. xix).
- Dr. Alwi Shihab
Ia menulis, "Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur'an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, denan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamanaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur'an. Sebab, Al-Qur'an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya." (Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama [Bandung: Mizan, 1997], hlm. 108-109).
- Sukidi (alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama)
Ia menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004), "Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzche menegasikan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama--entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya--adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama."
- Dr. Luthfi Assyaukanie (dosen Universitas Paramadina)
Ia menulis, "Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkap dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu." (Kompas, 3/9/2005).
- Nuryamin Aini (dosen Fak. Syariah UIN Jakarta)
Ia menulis, "Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki." (Lihat buku Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 223).
Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11, tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul "Menuju Pendidikan Islam Pluralis". Ditulis dalam jurnal ini sebagai berikut.
"Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpenaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam." (Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam: Dari Eksklusivisme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001).
Di jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis, "Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah "lawan" secara aqidah." (M. Amin Abdullah, "Pengajaran Kalam dan Teknologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama", Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no. 11, tahun 2001).
Relativisme Kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam. Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang. Dengan paham ini, seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari paham ini, lahirlah sikap keragu-raguan dalam meyakini kebenaran. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian.
Akar dari nilai-nilai ini adalah paham Sofisme pada zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu. Sehingga, berbagai peraturan yang mereka hasilkan tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.
Mereka yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah, ibarat meminum air laut yang tidak pernah menghilangkan rasa haus.
Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka; (tambahan: perhatikan akhir hayat mereka). Tidak ada kebahagiaan yang abadi yang dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Qur'an sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini: "Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka, siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al-Jaatsiyah: 23).
Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal Allah SWT telah menegaskan bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT. "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imran: 19). "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85).
Keyakinan akan kebenaran dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kiyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.
- Ulil Abshar Abdalla
- Liberalisasi Al-Qur'an
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam
di Indonesia saat ini adalah tema "dekonstruksi kitab suci". Di
kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Dr.
Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama
30 tahun menekuni bidang ini dan menulis satu buku berjudul Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testament.
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk "melirik" Al-Qur'an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al-Qur'an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan, "Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani."
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi Al-Qur'an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang bermasalah sebagaimana Bible. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum muslimin bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah, bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang bebas dari kesalahan.
Beratus-ratus tahun wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini suara-suara yang menghujat Al-Qur'an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam. Mereka menjiplak dan mengulang-ulang apa yang dahulu pernah disuarakan para orientalis.
Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, menulis, "Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat." (Jawa Pos, 11 Januari 2004).
Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul "Edisi Kritis al-Quran", yang isinya menyatakan, "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran." (Lihat makalah Taufik Adnan Amal berjudul "Edisi Kritis al-Quran", dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia [Jakarta: JIL, 2002], hlm. 78).
Di dalam buku Menggugat Otentisitas Wahyu, hasil tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang ditulis oleh Aksin Wijaya, ditulis secara terang-terangan hujatan terhadap kitab suci Al-Qur'an. "Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan sbsolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita." (Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan [Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004], hlm. 123).
Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie, juga berusaha membongkar konsep Islam tentang Al-Qur'an. Ia menulis: "Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formasilasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa." (Luthfi Assyaukani, "Merenungkan Sejarah Alquran", dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 1).
Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa 'Al-Qur'an adalah perangkap bangsa Quraisy', seperti dinyatakan oleh Sumanta Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang. Ia menulis: "Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan 'perangkap bangsa Arab', dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi 'perangkap' bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain." (Sumanto Al-Qurtubhy, "Membongkar Teks Ambigu", dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed) Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 17).
Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang Al-Qur'an secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekadar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap Al-Qur'an. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam meyerang Al-Qur'an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik Al-Qur'an dan studi hermeneutika di perguruan tinggi Islam. Di antara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammad Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Sekarang Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap Al-Qur'an dan syariat Islam.
Kaum muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika Al-Qur'an dan ilmu tafsir Al-Qur'an dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?
- Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam
bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti dibongkar
dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman.
Seperti dijelaskan Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi
Islam di Indonesia adalah "kontekstualisasi ijtihad". Salah satu hukum
yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang
keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya
antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid: "Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis .... Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran Al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya." (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xi).
Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, " Al-Qur'an menunjukkan bahwa risalah Islam--disebabkan universalitasnya--adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karna itu, Al-Qur'an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja."
Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid: "Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman." (Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd. A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal [Jakarta: Paramadina, 2003], hlm. xii).
Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholsih sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur'an.
Karya kaum liberal di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat, bahkan merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama tertulis: "Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena keududukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya." (Mun'im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama [Jakarta: Paramadina & The Asia Foundation, 2004], hlm. 164).
Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath'iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Ia menulis: "Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60: 10, pen), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya." (Musdah Mulia, Muslimah Reformis [Bandung: Mizan, 2005], hlm. 63).
Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama. Ia menulis: "Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim .... Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama, red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis." (Lihat buku Ijtihad Islam Liberal [Jakarta: JIL, 2005], hlm. 220-221).
Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas muslim, kaum liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olah ada kebutuhan mendesak kaum muslim harus kawin dengan non-muslim. Ulil Abshar Abdalla, di harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai 'penghulu swasta' yang menikahkan puluhan--mungkin sekarang sudah ratusan--pasangan beda agama.
Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim sudah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan, "Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat."
Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum Islam. Dari IAIN Yogyakarta muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, yang memuat kata-kata berikut: "Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya." (Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7).
Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. "Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita." (Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual [Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005], hlm. 15).
Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang muslim pun: "Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan."
Faktor Asing
Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan
khusus terhadap Islam. Pada masa Perang Dingin, Komunisme dianggap
sebagai musuh utama, sehingga Barat bersama-sama dengan Islam
menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan. Tetapi,
setelah komunis runtuh, musuh bagi Barat berikutnya adalah Islam.
Karena Islam dipandang sebagai musuh atau ancaman potensial bagi Barat,
maka berbagai daya upaya dilakukan untuk 'menjinakkan' dan melemahkan
Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan
proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam
lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian
dari 'tiga cara' pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu
melalui program kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.
David E. Kaplan menulis bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan
juta dollar dalam rangka kampanye untuk--bukan hanya mengubah
masyarakat muslim--tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri.
Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang
untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk
mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara
muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV,
kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik,
dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS).
(Terjemahan dari David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).
Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham
liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia
Foundation. Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan
pluralis di kalangan muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai
kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an. The Asia Foundation saat
ini mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam
yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, nonkekerasan,
dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan kewarganegaraan, HAM,
rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog
antar-agama, The Asia Foundation juga bekerja sama dengan LSM-LSM
tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di
Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama,
studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi
wanita, dan sebagainya. (http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html.
Website The Asia Foundation sampai dengan 24 Maret 2006, masih menulis
tajuk pembukanya dengan kata-kata: "REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI
INDONESIA").
Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asia Foundation di antaranya:
1. Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit majalah Syir'ah).
2. Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (Elsad) (Pluralisme agama dan demokrasi).
3. Fahmina Institute (Pluralisme gender equality).
4. Indonesia Center for Civic Education (Demokrasi).
5. International Center for Islam Pluralism (ICIP) (Pluralisme agama).
6. Indonesia Conference on Religion and Peace (Pluralisme agama).
7. Institut Arus Informasi (ISAI) (Pluralisme dan jurnalisme).
8. Jaringan Islam Liberal (JIL) (Liberalisasi pemikiran).
9. Paramadina (Pluralisme agama).
10. Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang (Demokrasi)
11. Pusat Studi Wanita-UIN- (Gender equality).
12. Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) (Gender equality).
13. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) (Penerbitan buku-buku pluralisme).
14. Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme agama, dekonstruksi syariah).
15. Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme agama).
16. Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.
Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah
diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. "AS perlu menciptakan
lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal
menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan
teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap
atau membunuh mereka." (Harian Republika, 3/12/2005).
Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta
kaki tangannya di Indonesia, berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan
program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara
besar-besaran. Tetapi, sayangnya ada saja sebagian kalangan umat dan
lembaga Islam yang terpengaruh oleh iming-iming duniawi dari
lembaga-lembaga asing yang sedang bergentayangan mencari mangsa bersama
para kaki tangannya di Indonesia.
Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan yang lainnya adalah pelopor
liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat. Adapun Harun
Nasution adalah pelopor liberalisasi Islam di kampus-kampus Islam.
Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Jakarta, Harun mulai melakukan
gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam
studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.
Pada Agustus 1973 rektor IAIN se-Indonesia mengadakan rapat di
Ciumbuluit Bandung. Hasil dari rapat itu adalah Departemen Agama RI
memutuskan buku karya Harun Nasution sebagai buku wajib rujukan mata
kuliah Pengantar Agama Islam. Buku kontroversial yang ditulis Harun itu
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Harun Nasution ketika itu mengakui tidak semua rektor menyetujuinya.
Sejumlah rektor senior menentang keputusan tersebut. Tetapi, entah
mengapa keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama,
sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon
tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya',
Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya: "Laporan Rahasia tersebut
berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya,
dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan
terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat
Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di
Indonesia." (HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya' [Jakarta: Bulan Bintang, 1977], hlm. 13).
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi
akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat
Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasihatnya tidak diperhatikan, ia
menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977
lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.
Nasihat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini,
mengingat buku Harun itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal,
baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Salah satu contoh kesalahan
fatal itu seperti berikut. Harun menempatkan Islam sebagai agama yang
posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion
(agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama
wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain. Agama-agama lain, selain
Islam, merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical and cultural religion).
Harun menyebut agama-agama monoteis--yang dia istilahkan juga sebagai
'agama tauhid'--ada empat: Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga
agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak
termasuk dalam rumpun ini. Harun menambahkan bahwa kemurnian tauhid
hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Adapun kemurnian tauhid agama
Kristen dengan adanya paham Trinitas, sebagaimana diakui oleh ahli-ahli
perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi. (Lihat Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya [Jakarta: UI Press, cet
ke-6, 1986], Jilid I, hlm. 15-22).
Kesimpulan Harun bahwa agama Yahudi itu sebagai agama tauhid murni,
seperti halnya agama Islam, adalah kesimpulan yang ngawur dan tidak
berdasar. Kalau Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa di dalam
Al-Qur'an disebutkan bahwa Yahudi itu kafir ahlul kitab? Kesimpulan
Harun itu jelas mengada-ada. Sejak lama Prof. Rasjidi sudah memberikan
kritik keras bahwa uraian Dr. Harun yang terselubung uraian ilmiah
sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam. Bahayanya
adalah memudarkan keimanan atau kayakinan seseorang terhadap kebenaran
agama yang dipeluknya.
Namun anehnya, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak
digubris oleh petinggi Depag dan IAIN. Malah, bukannya bersikap kritis,
banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun Nasution secara tidak
proporsional. Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:
"Karena itu, beliau diteladani oleh para intelektual maupun generasi
berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru
diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam
menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di
Indonesia.Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya;
Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi,
Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid,
Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma'arif, Muhammad Amien Rais dan
Kuntowijoyo .... Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam
tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia."
(Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional [Ciputat Press, 2005], hlm. xvi-xvii).
Meskipun bukan bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan
memberikan pujian berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun
Nasution: "Usaha dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan
Islamic Studies di Indonesia patut dihargai. Harun seyogyanya dianugerahi sebagai tokoh Islamic Studies di Inonesia." (Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional [Ciputat Press, 2005], back cover).
Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku Harun itu sebenarnya
juga sudah perlu direvisi total. Tetapi, sekali lagi, kesalahan yang
fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang
mengandung 'virus pemikiran' itu diajarkan secara terus-menerus, bisa
dipahami, jika kerusakan yang sudah semakin parah itu telah menular ke
mana-mana. Entah mengapa, masalah yang serius dan separah ini sekian
lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Hingga kini
belum ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara
resmi meminta pemerintah menarik kembali buku Harun Nasution tersebut.
Kini telah kita ketahui bahwa ternyata umat Islam Indonesia benar-benar
sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai
krisis dan keterpurukan, umat Islam direkayasa, dirusak, dan diserbu
besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran
liberal. Sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam sedang dibongkar
habis-habisan.
Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini justru berasal dari
individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal
menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Para
ulama yang seharusnya menjaga agama justru malah merusak agama. Inilah
zaman fitnah, zaman yang tidak jelas lagi mana yang haq dan mana yang
bathil.
Rasulullah saw. sudah pernah mengingatkan: "Yang
merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang
bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk, dan
sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik." (HR Ad-Darimy).
Juga, sabdanya, "Termasuk
di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah
tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang
munafik tentang Al-Qur'an." (HR Thabarani dan Ibn Hibban).
Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran
ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak orang yang tergoda oleh
berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan
kekuatan Islam dari dalam.
Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah
tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik
pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi
Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah
menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari
asasnya, baik aqidah Islam, Al-Qur'an, maupun syariat Islam.
Kita harus membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita
dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon
pertolongan kepada Allah SWT.
"Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan
kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu
bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya.
Allahumma amin."
Sumber: Diringkas dari Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, Adian Husaini, M.A. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2007), hlm. 1-72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar