RAMADHAN
BULAN IBADAH PENUH TARBIYAH
Tak terasa setahun
sudah sejak berakhirnya senja Ramadhan 1433 H dan kini Ramadhan kembali menyapa
kita. Banyak ragam sikap dan cara manusia saat menyambut kedatangannya. Ada
yang bergembira, ada yang biasa-biasa saja dan ada juga yang sedih dengan
kedatangannya.
Bagi generasi
salaf, Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mendulang sebanyak mungkin
keutamaan-keutamaan yang terkandung didalamnya. Ini terlihat dari kesungguhan
mereka mengisi Ramadhan. Mereka bercita-cita meraih target yang dicanangkan,
yaitu takwa. Ini adalah modal utama memperoleh pertolongan Allah SWT. Dalam
sebuah hadits, Aisyah Ra bercerita bahwa Nabi SAW jika memasuki sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya
serta bersungguh-sungguh dalam beramal (HR. Muslim).
Imam Nawawi
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan tidak tidur demi untuk
melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Ibnu Atsir Al Jazari dalam Nihayah
Gharib Al Hadits juga menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan malam adalah terjaga di malam hari untuk beribadah
dan menyedikitkan tidur.
Ramadhan Para
Salaf Shalih
Sebagai generasi
terbaik yang amat dekat dengan Rasulullah SAW, mujahadah para salaf
dalam beribadah tidaklah jauh dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah,
apalagi dalam mengisi bulan suci Ramadhan.
Aswad bin Yazin An
Nakha’i adalah tabiin ahli ibadah. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
menyebutkan bahwa Ibrahim An Nakha’i telah berkata : “Aswad mengkhatamkan Al
Qur’an di bulan Ramadhan dalam dua hari, dia hanya tidur antara maghrib dan
Isya dan dia menghatamkan al Qur’an diluar Ramadhan dalam enam bulan.
Jika kita telisik
keberhasilan generasi terbaik umat ini dalam mengisi waktu di bulan Ramadhan,
tidaklah terfokus pada kekuatan fisik saja atau banyaknya konsumsi nutrisi dan
gizi. Karena hari ini betapa banyak orang yang sehat badannya dan bergizi
makanannya ternyata hanya biasa-biasa saja dalam ibadahnya. Bahkan terkadang
Ramadhan dibiarkan berlalu dengan begitu saja. Ternyata selain fisik yang prima
dibutuhkan juga kesungguhan hati sebagai bekal dalam menetapi Ramadhan.
Kesungguhan Ibadah
terwujud ketika diawali dengan adanya tekad atau ‘aziimah. Yakni Istijma’u
quwwatil iraadah ‘alal fi’il, menghimpun kekuatan kehendak untuk berbuat.
Sehingga orang yang memiliki tekad tidak ingin membiarkan dirinya berleha-leha
atau tertinggal dari suatu keutamaan. Bahkan tidak tanggung-tanggung ia
menyusun segenap kemampuan agar mampu menunaikan suatu bentuk perbuatan, agar
kesempatan yang istimewa yaitu kehidupan yang Allah berikan tidak terlewatkan
begitu saja. Imam Hasan Al Bashri pernah menulis surat yang sangat indah kepada
Umar bin Abdul Aziz Rahimahumallah agar memanfaatkan peluang jabatan untuk
kebaikan, “Amma ba’du, barangsiapa yang mengevaluasi diri ia akan beruntung,
barangsiapa yang lalai darinya akan merugi, barangsiapa yang mempertimbangkan
akibat perbuatan niscaya akan selamat ...”
Ramadhan dulu
dan sekarang
Kesungguhan para
salaf beribadah, terlebih dalam bulan
Ramadhan, telah membentuk karakter khusus yaitu pribadi yang amat yakin dengan
pertolongan Allah SWT. Inilah karakter khas yang kini mulai memudar dan bahkan
nyaris sirna dalam kehidupan kaum muslimin hari ini. Sangking yakinnya dengan
pertolongan Allah SWT, mereka senantiasa optimis dalam menapaki kehidupan serta
optimal dalam berkarya. Hal ini terbukti dari sejarah kehidupan yang telah
mereka torehkan dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Dimana ketika
Ramadhan hadir, disaat kondisi dalam keadaan lapar dan haus tidak menyebabkan
mereka menjadi pemalas, bahkan panggilan jihad melawan musuh-musuh Allah banyak
terjadi dibulan Ramadhan. Sebut saja, perang Badar yang terjadi pada bulan
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, peristiwa Fathu Makkah terjadi pada bulan
Ramadhan, perang Tabuk juga terjadi pada bulan Ramadhan, Thariq bin Ziyad
berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol) terjadi pada bulan Ramadhan tahun 92
H, peperangan kaum muslimin melawan
tentara Tartar pada perang ‘Ain Jalut juga terjadi pada bulan Ramadhan 658 H
dan lain sebagainya.
Sungguh berbeda
dengan keadaan yang dialami kebanyakan kaum muslimin hari ini, dimana ketika
Ramadhan tiba bukannya aktifitas karya meningkat justru pada saat Ramadhan
merosot dengan drastis. Angka aktifitas tidur melonjak tajam. Entah apa
penyebabnya, bisa jadi salah dalam mengamalkan dalil yang menyebutkan bahwa tidurnya
orang yang shaum adalah ibadah. Padahal hadits yang mengatakan hal yang
demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Bukannya belajar berhemat
justru pada saat Ramadhan pola hidup berubah menjadi pemborosan yang
besar-besaran. Mulai dari pola makan yang sangat berlebihan bahkan sudah
tergolong kepada kemubaziran padahal mubazir adalah temannya setan. Dan semakin
mencolok ketika sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan bukannya menghidupkan
malam agar mendapatkan lailatul qadr malah menghidupkan open (alat
pemanggang kue, red) mengisi malamnya dengan lailatul “bakar”
yaitu sibuk membuat kue. Pola belanja
yang tidak tepat sasaran bahkan menjurus ke arah sombong-sombongan dengan
membeli barang-barang yang hanya untuk dipamerkan ketika hari raya agar
dikatakan keren ataupun paten. Naudzubillahi mindzalik.
Agar Ibadah Terasa
Mudah dan Indah
Kebersihan hati
selama dibulan Ramadhan haruslah diperhatikan dengan seksama. Karena ia adalah
pupuk dari pada tekad yang kuat untuk tetap beribadah kepada Allah. Sehingga
semangat beribadah tetap berpijar selama dan sesudah Ramadhan. Hal ini pulalah
yang membuat kita beribadah terasa nikmat, mudah dan indah. Sehingga ketika
kita telah merasakan keindahannya rasa berat dan susah hilang begitu saja.
Kebersihan hati dapat terus terjaga manakala kita senantiasa jauh dari maksiat.
Maksiat melemahkan kekuatan hati sebagaimana penyakit melemahkan jasad. Dosa
laksana kerak di hati atau kegelapan yang menutupi hati dari cahaya kebenaran.
Sehingga tiada pembersih yang paling ampuh kecuali bertaubat kepada Allah SWT.
Sebagaimana Nabi SAW bersabda :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ
نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ، صُقِلَ
قَلْبُهُ
“Sesungguhnya
orang mukmin itu apabila berbuat dosa, akan ada titik (noda) hitam di hatinya,
lalu jika ia bertaubat, menyesal dan memohon ampunan niscaya kembali bersihlah
hatinya”. (HR. Ibnu Majah, Hadits Hasan)
Bila hati seseorang
kian bersih niscaya orang tersebut mampu membedakan secara jelas mana kebaikan
dan keburukan, berpihak kepada kebenaran dan anti dalam kesesatan. Dan taubat
juga menyembuhkan penyakit hati, hingga ia menjadi sehat serta ringanlah
baginya untuk menjalankan ketaatan sebagai bukti keberpihakannya terhadap
kebenaran.
Namun adakalanya,
ketika seseorang masih semangat diawal perjalanan, lalu ia tak kunjung merasai
kenikmatan dan kelezatan saat menjalankan ketaatan, kebosanan dan kelelahan
justru yang hadir duluan sebelum merasakan nikmatnya taat. Maka perlu kita tahu
bagaimana kiat menata hati agar ketaatan bisa dirasakan kelezatannya. Nabi SAW
banyak menyebutkan bahwa keimanan memiliki kelezatan yang bisa dirasa, seperti
sabda nabi :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ
الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal,
apabila ada pada seseorang berarti ia telah merasakan kelezatan iman; Apabila
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selain keduanya, apabila
seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan apabila ia benci
kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan ia darinya, sebagaimana
bencinya ia jika dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari)
Ibadah Shaum yang
merupakan ibadah istimewa di bulan Ramadhan, padanya ada kelezatan yang bisa
dirasa. Bagaimana seseorang tidak merasakan kenikmatan dan kelezatan padahal
Allah menjanjikan pahala dan banyak keutamaan bagi orang yang shaum. Lapar dan
dahaga orang yang shaum adalah demi berkhidmat kepada Penciptanya, inilah yang
disebut para ulama dengan istilah al Iltidzadz bil khidmah, mengenyam
kenikmatan dengan jalan mempersembahkan sebuah pengorbanan. Sebuah usaha yang
Allah memuji hamba-Nya yang mau menempuhnya dalam hadits qudsi,
يَدَعُ
شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
“(Hamba-Ku) sudi
meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Bukhari)
Begitupula dengan
ibadah-ibadah yang lainnya seperti membaca al Qur’an, shalat malam, shadaqah,
dzikir, berjihad dan lain sebagainya dilakukan dengan penuh kenikmatan sebagai
bentuk pengorbanan terhadap haknya Allah SWT.
Ringkasnya,
hendaknya kita sambut Ramadhan dengan memperbaiki niat, membulatkan tekad,
menyalakan semangat dan mulai menempuh perjalanan dengan kesungguhan tidak
berleha-leha dan fokus pada tujuan akhir Ramadhan yaitu mencapai derajat taqwa
disisi Allah SWT. Semoga Allah mengabulkannya.
(Abu Hafizh Al
Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar