Jumat, 21 Juni 2013

Ramadhan Karim


RAMADHAN
BULAN IBADAH PENUH TARBIYAH

Tak terasa setahun sudah sejak berakhirnya senja Ramadhan 1433 H dan kini Ramadhan kembali menyapa kita. Banyak ragam sikap dan cara manusia saat menyambut kedatangannya. Ada yang bergembira, ada yang biasa-biasa saja dan ada juga yang sedih dengan kedatangannya.
Bagi generasi salaf, Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mendulang sebanyak mungkin keutamaan-keutamaan yang terkandung didalamnya. Ini terlihat dari kesungguhan mereka mengisi Ramadhan. Mereka bercita-cita meraih target yang dicanangkan, yaitu takwa. Ini adalah modal utama memperoleh pertolongan Allah SWT. Dalam sebuah hadits, Aisyah Ra bercerita bahwa Nabi SAW jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya serta bersungguh-sungguh dalam beramal (HR. Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan tidak tidur demi untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Ibnu Atsir Al Jazari dalam Nihayah Gharib Al Hadits  juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan malam adalah terjaga di malam hari untuk beribadah dan menyedikitkan tidur.
Ramadhan Para Salaf Shalih
Sebagai generasi terbaik yang amat dekat dengan Rasulullah SAW, mujahadah para salaf dalam beribadah tidaklah jauh dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah, apalagi dalam mengisi bulan suci Ramadhan.
Aswad bin Yazin An Nakha’i adalah tabiin ahli ibadah. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah menyebutkan bahwa Ibrahim An Nakha’i telah berkata : “Aswad mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dalam dua hari, dia hanya tidur antara maghrib dan Isya dan dia menghatamkan al Qur’an diluar Ramadhan dalam enam bulan.
Adapun tentang Sa’id bin Zubair, Al Yafi’i menyebutkan dalam Mir’atu Jinan Bahwa Wiqa’ bin Abi Iyas mengatakan: “Sa’id bin Zubair telah mengatakan kepadaku saat bulan Ramadhan, “pegang mushaf ini.” Dan ia tidak berdiri dari duduknya hingga ia menghatamkan al Qur’an. Serta masih banyak lagi uswah yang dapat kita jadikan contoh dalam mengisi bulan Ramadhan.
Jika kita telisik keberhasilan generasi terbaik umat ini dalam mengisi waktu di bulan Ramadhan, tidaklah terfokus pada kekuatan fisik saja atau banyaknya konsumsi nutrisi dan gizi. Karena hari ini betapa banyak orang yang sehat badannya dan bergizi makanannya ternyata hanya biasa-biasa saja dalam ibadahnya. Bahkan terkadang Ramadhan dibiarkan berlalu dengan begitu saja. Ternyata selain fisik yang prima dibutuhkan juga kesungguhan hati sebagai bekal dalam menetapi Ramadhan.
Kesungguhan Ibadah terwujud ketika diawali dengan adanya tekad atau ‘aziimah. Yakni Istijma’u quwwatil iraadah ‘alal fi’il, menghimpun kekuatan kehendak untuk berbuat. Sehingga orang yang memiliki tekad tidak ingin membiarkan dirinya berleha-leha atau tertinggal dari suatu keutamaan. Bahkan tidak tanggung-tanggung ia menyusun segenap kemampuan agar mampu menunaikan suatu bentuk perbuatan, agar kesempatan yang istimewa yaitu kehidupan yang Allah berikan tidak terlewatkan begitu saja. Imam Hasan Al Bashri pernah menulis surat yang sangat indah kepada Umar bin Abdul Aziz Rahimahumallah agar memanfaatkan peluang jabatan untuk kebaikan, “Amma ba’du, barangsiapa yang mengevaluasi diri ia akan beruntung, barangsiapa yang lalai darinya akan merugi, barangsiapa yang mempertimbangkan akibat perbuatan niscaya akan selamat ...”
Ramadhan dulu dan sekarang
Kesungguhan para salaf  beribadah, terlebih dalam bulan Ramadhan, telah membentuk karakter khusus yaitu pribadi yang amat yakin dengan pertolongan Allah SWT. Inilah karakter khas yang kini mulai memudar dan bahkan nyaris sirna dalam kehidupan kaum muslimin hari ini. Sangking yakinnya dengan pertolongan Allah SWT, mereka senantiasa optimis dalam menapaki kehidupan serta optimal dalam berkarya. Hal ini terbukti dari sejarah kehidupan yang telah mereka torehkan dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Dimana ketika Ramadhan hadir, disaat kondisi dalam keadaan lapar dan haus tidak menyebabkan mereka menjadi pemalas, bahkan panggilan jihad melawan musuh-musuh Allah banyak terjadi dibulan Ramadhan. Sebut saja, perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, peristiwa Fathu Makkah terjadi pada bulan Ramadhan, perang Tabuk juga terjadi pada bulan Ramadhan, Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol) terjadi pada bulan Ramadhan tahun 92 H,  peperangan kaum muslimin melawan tentara Tartar pada perang ‘Ain Jalut juga terjadi pada bulan Ramadhan 658 H dan lain sebagainya.
Sungguh berbeda dengan keadaan yang dialami kebanyakan kaum muslimin hari ini, dimana ketika Ramadhan tiba bukannya aktifitas karya meningkat justru pada saat Ramadhan merosot dengan drastis. Angka aktifitas tidur melonjak tajam. Entah apa penyebabnya, bisa jadi salah dalam mengamalkan dalil yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang shaum adalah ibadah. Padahal hadits yang mengatakan hal yang demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Bukannya belajar berhemat justru pada saat Ramadhan pola hidup berubah menjadi pemborosan yang besar-besaran. Mulai dari pola makan yang sangat berlebihan bahkan sudah tergolong kepada kemubaziran padahal mubazir adalah temannya setan. Dan semakin mencolok ketika sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan bukannya menghidupkan malam agar mendapatkan lailatul qadr malah menghidupkan open (alat pemanggang kue, red) mengisi malamnya dengan lailatul “bakar” yaitu sibuk membuat kue.  Pola belanja yang tidak tepat sasaran bahkan menjurus ke arah sombong-sombongan dengan membeli barang-barang yang hanya untuk dipamerkan ketika hari raya agar dikatakan keren ataupun paten. Naudzubillahi mindzalik.
Agar Ibadah Terasa Mudah dan Indah
Kebersihan hati selama dibulan Ramadhan haruslah diperhatikan dengan seksama. Karena ia adalah pupuk dari pada tekad yang kuat untuk tetap beribadah kepada Allah. Sehingga semangat beribadah tetap berpijar selama dan sesudah Ramadhan. Hal ini pulalah yang membuat kita beribadah terasa nikmat, mudah dan indah. Sehingga ketika kita telah merasakan keindahannya rasa berat dan susah hilang begitu saja. Kebersihan hati dapat terus terjaga manakala kita senantiasa jauh dari maksiat. Maksiat melemahkan kekuatan hati sebagaimana penyakit melemahkan jasad. Dosa laksana kerak di hati atau kegelapan yang menutupi hati dari cahaya kebenaran. Sehingga tiada pembersih yang paling ampuh kecuali bertaubat kepada Allah SWT. Sebagaimana Nabi SAW bersabda :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ، صُقِلَ قَلْبُهُ
“Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat dosa, akan ada titik (noda) hitam di hatinya, lalu jika ia bertaubat, menyesal dan memohon ampunan niscaya kembali bersihlah hatinya”. (HR. Ibnu Majah, Hadits Hasan)
Bila hati seseorang kian bersih niscaya orang tersebut mampu membedakan secara jelas mana kebaikan dan keburukan, berpihak kepada kebenaran dan anti dalam kesesatan. Dan taubat juga menyembuhkan penyakit hati, hingga ia menjadi sehat serta ringanlah baginya untuk menjalankan ketaatan sebagai bukti keberpihakannya terhadap kebenaran.
Namun adakalanya, ketika seseorang masih semangat diawal perjalanan, lalu ia tak kunjung merasai kenikmatan dan kelezatan saat menjalankan ketaatan, kebosanan dan kelelahan justru yang hadir duluan sebelum merasakan nikmatnya taat. Maka perlu kita tahu bagaimana kiat menata hati agar ketaatan bisa dirasakan kelezatannya. Nabi SAW banyak menyebutkan bahwa keimanan memiliki kelezatan yang bisa dirasa, seperti sabda nabi :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal, apabila ada pada seseorang berarti ia telah merasakan kelezatan iman; Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selain keduanya, apabila seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan apabila ia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan ia darinya, sebagaimana bencinya ia jika dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari)
Ibadah Shaum yang merupakan ibadah istimewa di bulan Ramadhan, padanya ada kelezatan yang bisa dirasa. Bagaimana seseorang tidak merasakan kenikmatan dan kelezatan padahal Allah menjanjikan pahala dan banyak keutamaan bagi orang yang shaum. Lapar dan dahaga orang yang shaum adalah demi berkhidmat kepada Penciptanya, inilah yang disebut para ulama dengan istilah al Iltidzadz bil khidmah, mengenyam kenikmatan dengan jalan mempersembahkan sebuah pengorbanan. Sebuah usaha yang Allah memuji hamba-Nya yang mau menempuhnya dalam hadits qudsi,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
“(Hamba-Ku) sudi meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Bukhari)
Begitupula dengan ibadah-ibadah yang lainnya seperti membaca al Qur’an, shalat malam, shadaqah, dzikir, berjihad dan lain sebagainya dilakukan dengan penuh kenikmatan sebagai bentuk pengorbanan terhadap haknya Allah SWT.
Ringkasnya, hendaknya kita sambut Ramadhan dengan memperbaiki niat, membulatkan tekad, menyalakan semangat dan mulai menempuh perjalanan dengan kesungguhan tidak berleha-leha dan fokus pada tujuan akhir Ramadhan yaitu mencapai derajat taqwa disisi Allah SWT. Semoga Allah mengabulkannya.
(Abu Hafizh Al Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar