Manisnya
Buah Kejujuran
Kejujuran
bukanlah sesuatu yang bersifat kondisional. Ia adalah sesuatu yang menghunjam
di dasar hati. Inti kejujuran adalah engkau berkata jujur di wilayah yang jika
seseorang berkata jujur, ia tidak akan selamat kecuali berdusta. (al-Junayd bin
Muhammad)
Hati para
wanita yang ditinggal oleh para sahabat yang berangkat ke medan Tabuk harap-harap cemas. Sebab pasukan
yang bisa jadi mereka hadapi kini adalah pasukan Bani Ashfar, salah satu dari
dua kekuatan super power saat itu.
Hati Ka’ab bin
Malik juga gelisah. Tetapi tidak seperti kegelisahan para wanita Madinah.
Ketidakberangkatannya kali ini adalah yang pertama sejak dia tertinggal dalam
perang Badar. Dia telah tergoda oleh hawa nafsunya. Saat para sahabat
berkemas-kemas untuk berangkat ke medan
Tabuk, dia mengunci diri di dalam rumahnya. Ini musim buah-buahan dan pepohonan
rindang menenteramkan, pikirnya. Ketika semua pasukan telah berangkat, barulah
Ka’ab keluar rumah. Tak ada lelaki yang dijumpainya selain orang-orang yang tampak
jelas kemunafikannya dan orang-orang lemah yang tidak memiliki kemampuan untuk
berperang. Hati Ka’ab semakin gelisah.
Kedatangan
Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam disambut suka-cita oleh wanita-wanita
dan anak-anak Madinah. Mereka melantunkan sya’ir “Thala’al badru ‘alaynâ...”
Gema lantunan sya’ir mereka membahana memenuhi ruang cakrawala. Pasukan Islam
telah kembali dengan menyandang ‘izzah dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Seperti biasa
setiap pulang dari medan
peperangan Rasulullah langsung menuju masjid untuk menunaikan shalat dua
rakaat. Seselesainya beliau shalat, ada 80-an orang yang menemui beliau
menyampaikan alasan ketidakikutsertaan mereka ke Tabuk. Seribu satu alasan
mereka ajukan. Kebohongan telah menjadi pakaian mereka sehari-hari. Dan karena
Rasulullah menerima zhahir seseorang, beliau pun menerima alasan mereka.
Tiba giliran
Ka’ab bin Malik. Sambil menundukkan pandangannya dia mantapkan hatinya untuk
berkata jujur kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam, “Wahai
Rasulullah, sekiranya saya sekarang berkata bohong, demi Allah, tentu engkau
akan menerima kebohongan saya, tetapi Allah akan murka. Sebaliknya, jika saya
berkata jujur, tentu engkau akan murka. Tetapi dengan itu saya berharap
mendapat ampunan dari Allah. Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya tidak punya
alasan apa pun. Saya dalam keadaan sehat, kuat, dan lapang saat tidak turut
serta ke Tabuk.”
“Kamu jujur.
Pergilah sampai Allah memberikan keputusan-Nya tentang kamu!” jawab Rasulullah.
Rasulullah
Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan Ka’ab
sebagai hukumannya. Ka’ab diboikot. Dalam waktu singkat Ka’ab merasakan bumi
menyempit baginya. Di pasar, di jalanan, dan di masjid Ka’ab bertemu dengan
banyak orang. Bahkan di antara mereka ada sahabat-sahabat dekatnya. Tetapi
semuanya menganggap Ka’ab tidak ada. Bagai luka dilumuri garam rasa hati Ka’ab.
Sebulan telah
berlalu dan belum ada keputusan dari Allah. Semua orang masih mengacuhkannya.
Karena tak tahan, Ka’ab mendatangi rumah Abu Qatadah, saudara sepupunya yang sangat
dicintainya sebagaimana ia pun mencintainya. “Wahai Abu Qatadah, demi Allah,
apakah menurutmu aku ini masih mencintai Allah dan Rasulnya?” tanyanya.
Abu Qatadah
hanya berdiam seribu bahasa. Baru setelah Ka’ab mengulang pertanyaannya tiga
kali Abu Qatadah menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Air mata Ka’ab
mengalir deras begitu mendengar jawaban orang yang dicintainya itu. Ia pun
pulang dengan hati remuk.
Suatu hari
Ka’ab dicari-cari oleh seorang pedagang dari Syam. Pedagang itu membawa surat dari raja Ghassan.
“Sesungguhnya
kami mendengar kabar, sahabatmu telah menyia-nyiakan dirimu. Bergabunglah
bersama kami, dan kami akan membantu Anda.”
Ka’ab sadar,
kejujurannya berbuah hukuman. Dan ia telah memilihnya dengan kesadaran penuh.
Ia telah menyiapkan diri untuk menjalaninya sampai datang keputusan Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ. Surat
raja Ghassan itu dibakarnya.
Pada hari
ke-40, utusan Rasulullah menemui Ka’ab. Utusan itu membawa kabar, Ka’ab harus
memulangkan istrinya ke rumah orang tuanya. Bertambah berat saja hukuman yang
dirasakannya.
Setelah genap
50 hari kabar gembira itu datang. Allah menurunkan firman-Nya, “...dan terhadap
tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat mereka), hingga ketika bumi
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun
telah terasa sempit atas mereka serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari siksa Allah melainkan kepada-Nya; maka Allah menerima taubat
mereka...” (QS. at-Taubah: 118)
Tiada nikmat
yang dirasakan oleh Ka’ab melebihi nikmat turunnya ayat ini. Hatinya
berbunga-bunga. Dan dengarlah janji Ka’ab, “Allah telah menyelamatkan aku
karena aku berkata jujur. Setelah ini, selama sisa umurku, aku berjanji untuk
tidak pernah berucap selain kejujuran.” (is/ ar-risalah.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar