Jumat, 21 Juni 2013

Jujur


Manisnya Buah Kejujuran

Kejujuran bukanlah sesuatu yang bersifat kondisional. Ia adalah sesuatu yang menghunjam di dasar hati. Inti kejujuran adalah engkau berkata jujur di wilayah yang jika seseorang berkata jujur, ia tidak akan selamat kecuali berdusta. (al-Junayd bin Muhammad)
Hati para wanita yang ditinggal oleh para sahabat yang berangkat ke medan Tabuk harap-harap cemas. Sebab pasukan yang bisa jadi mereka hadapi kini adalah pasukan Bani Ashfar, salah satu dari dua kekuatan super power saat itu.
Hati Ka’ab bin Malik juga gelisah. Tetapi tidak seperti kegelisahan para wanita Madinah. Ketidakberangkatannya kali ini adalah yang pertama sejak dia tertinggal dalam perang Badar. Dia telah tergoda oleh hawa nafsunya. Saat para sahabat berkemas-kemas untuk berangkat ke medan Tabuk, dia mengunci diri di dalam rumahnya. Ini musim buah-buahan dan pepohonan rindang menenteramkan, pikirnya. Ketika semua pasukan telah berangkat, barulah Ka’ab keluar rumah. Tak ada lelaki yang dijumpainya selain orang-orang yang tampak jelas kemunafikannya dan orang-orang lemah yang tidak memiliki kemampuan untuk berperang. Hati Ka’ab semakin gelisah.
Saat terdengar kabar kepulangan pasukan, terlintas dalam pikiran Ka’ab untuk berbohong kepada Nabi Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam supaya selamat dari hukuman beliau. Dia sempat meminta pertimbangan kepada beberapa orang kerabatnya. Banyak yang menyetujui idenya untuk berbohong itu. Namun, begitu Ka’ab diberitahu bahwa Nabi Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam telah tiba, semua pikiran busuk yang ada di benak Ka’ab lenyap. Jika dia berbohong, lantas apa beda antara dirinya dan orang-orang munafik?
Kedatangan Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam disambut suka-cita oleh wanita-wanita dan anak-anak Madinah. Mereka melantunkan sya’ir “Thala’al badru ‘alaynâ...” Gema lantunan sya’ir mereka membahana memenuhi ruang cakrawala. Pasukan Islam telah kembali dengan menyandang ‘izzah dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Seperti biasa setiap pulang dari medan peperangan Rasulullah langsung menuju masjid untuk menunaikan shalat dua rakaat. Seselesainya beliau shalat, ada 80-an orang yang menemui beliau menyampaikan alasan ketidakikutsertaan mereka ke Tabuk. Seribu satu alasan mereka ajukan. Kebohongan telah menjadi pakaian mereka sehari-hari. Dan karena Rasulullah menerima zhahir seseorang, beliau pun menerima alasan mereka.
Tiba giliran Ka’ab bin Malik. Sambil menundukkan pandangannya dia mantapkan hatinya untuk berkata jujur kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, sekiranya saya sekarang berkata bohong, demi Allah, tentu engkau akan menerima kebohongan saya, tetapi Allah akan murka. Sebaliknya, jika saya berkata jujur, tentu engkau akan murka. Tetapi dengan itu saya berharap mendapat ampunan dari Allah. Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya tidak punya alasan apa pun. Saya dalam keadaan sehat, kuat, dan lapang saat tidak turut serta ke Tabuk.”
“Kamu jujur. Pergilah sampai Allah memberikan keputusan-Nya tentang kamu!” jawab Rasulullah.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan Ka’ab sebagai hukumannya. Ka’ab diboikot. Dalam waktu singkat Ka’ab merasakan bumi menyempit baginya. Di pasar, di jalanan, dan di masjid Ka’ab bertemu dengan banyak orang. Bahkan di antara mereka ada sahabat-sahabat dekatnya. Tetapi semuanya menganggap Ka’ab tidak ada. Bagai luka dilumuri garam rasa hati Ka’ab.
Sebulan telah berlalu dan belum ada keputusan dari Allah. Semua orang masih mengacuhkannya. Karena tak tahan, Ka’ab mendatangi rumah Abu Qatadah, saudara sepupunya yang sangat dicintainya sebagaimana ia pun mencintainya. “Wahai Abu Qatadah, demi Allah, apakah menurutmu aku ini masih mencintai Allah dan Rasulnya?” tanyanya.
Abu Qatadah hanya berdiam seribu bahasa. Baru setelah Ka’ab mengulang pertanyaannya tiga kali Abu Qatadah menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Air mata Ka’ab mengalir deras begitu mendengar jawaban orang yang dicintainya itu. Ia pun pulang dengan hati remuk.
Suatu hari Ka’ab dicari-cari oleh seorang pedagang dari Syam. Pedagang itu membawa surat dari raja Ghassan.
“Sesungguhnya kami mendengar kabar, sahabatmu telah menyia-nyiakan dirimu. Bergabunglah bersama kami, dan kami akan membantu Anda.”
Ka’ab sadar, kejujurannya berbuah hukuman. Dan ia telah memilihnya dengan kesadaran penuh. Ia telah menyiapkan diri untuk menjalaninya sampai datang keputusan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Surat raja Ghassan itu dibakarnya.
Pada hari ke-40, utusan Rasulullah menemui Ka’ab. Utusan itu membawa kabar, Ka’ab harus memulangkan istrinya ke rumah orang tuanya. Bertambah berat saja hukuman yang dirasakannya.
Setelah genap 50 hari kabar gembira itu datang. Allah menurunkan firman-Nya, “...dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat mereka), hingga ketika bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit atas mereka serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah melainkan kepada-Nya; maka Allah menerima taubat mereka...” (QS. at-Taubah: 118)
Tiada nikmat yang dirasakan oleh Ka’ab melebihi nikmat turunnya ayat ini. Hatinya berbunga-bunga. Dan dengarlah janji Ka’ab, “Allah telah menyelamatkan aku karena aku berkata jujur. Setelah ini, selama sisa umurku, aku berjanji untuk tidak pernah berucap selain kejujuran.” (is/ ar-risalah.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar