Jumat, 21 Juni 2013

Menipu Diri


MERUGI TIADA HENTI
AKIBAT MENIPU DIRI SENDIRI

بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ ﴿١٤﴾ وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ ﴿١٥﴾
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,  meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al Qiyamah : 14-15)
Tiadalah sesuatu yang paling berharga dalam diri seseorang melainkan hidayah yang telah Allah berikan kepadanya. Bila ia tetap mensyukurinya dengan amal shaleh niscaya bahagia dan selamatlah ia. Namun bila hidayah itu disia-siakan bahkan hilang dari dirinya disebabkan kesombongan niscaya hidup terasa hampa dan hina. Teringat satu kisah yang dinukil dari kitab Uyunul Atsar, Imam Az Zuhri mengisahkan, Abu Jahal, Abu Sufyan dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi sering mendatangi rumah Nabi SAW di malam hari. Masing-masing mengambil posisi yang tidak diketahui satu sama lain untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat al Qur’an yang dibaca Rasulullah SAW dalam shalatnya.  Hingga ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah SAW.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka tidak berdaya menahan gejolak jiwa untuk menikmati kembali lantunan ayat-ayat al Qur’an. Mereka bertiga kembali ke tempat yang sering mereka duduk untuk mendengarkan ayat-ayat al Qur’an, masing-masing mereka menyangka bahwa yang lain tidak akan datang ke rumah Rasulullah SAW lagi di sebabkan janji yang telah di ikrarkan. Namun, ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela sebagaimana terjadi pada malam-malam sebelumnya.
Kejadian ini terus berulang di setiap malamnya namun masing-masing tetap dalam kecongkakan dirinya.
Begitulah, meski mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW, namun dari lubuk hati mereka yang terdalam terbesit sebuah kekaguman tentang al Qur’an. Betapa indah sastra yang ada di dalamnya, kebenarannya yang sulit terbantahkan serta isinya sungguh menakjubkan hati setiap orang yang mendengarkannya. Berbagai alasan, argumen dan kilah sebenarnya tidak bisa mengelabui perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,  meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al Qiyamah : 14-15)
Kaedah ini berlaku bagi siapapun yang menentang kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka pada hakikatnya hanya membohongi diri mereka sendiri tatkala lebih memilih menentang atau menyelisihi kebenaran dari pada tunduk dan patuh terhadapnya. Mari berehat sejenak, kita hisab diri kita serta jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri malas untuk beramal shalih misalnya belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul untuk membela diri. Ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, tidak ada kendaraan, jauh tempat kajiannya, sibuk dengan pekerjaan, kurang enak badan dan seabrek alasan lainnya yang dibuat sesyar’i mungkin agar bisa tidak hadir. Kendatipun seperti itu cobalah bertanya pada nurani kita. Apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur hingga benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk menambah ilmu syar’i? Jawabnya, “Balil insaanu ‘ala nafsihi bashirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,  meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendirilah yang tahu akan kebenaran alasan kita sembari jujur dengan hati nurani kita.
Begitu pula bagi orang yang sudah lama tidak terlihat di masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai argumen keluar bertubi-tubi bak air bah menerjang agar orang lain memahami dan memakluminya. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi, masjid yang jauh, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusu’ shalat di masjid, ingin mengimami keluarga dirumah dan masih banyak alasan yang lain. Apakah alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnyaa diri kita sendiri yang mengetahui akan penyebab ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Cukuplah jawabnya,  “Balil insaanu ‘ala nafsihi bashirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,  meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Begitu pula padahal perintah lainnya di dalam Islam ataupun terhadap setiap kemasiatan sering dicarikan alasan oleh pelakunya. Mungkin secara zhahir orang lain dapat ditipu dengan berbagai argumen yang disampaikan, namun sadarkah kita bahwasannya ada Dzat yang tiada pernah ngantuk ataupun tidur, yang senantiasa mengetahui apa yang tersembunyi serta Maha Mendengar lagi Maha Melihat?  Sungguh indah kisah hidup yang dialami oleh seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama  Ka’ab bin Malik dan dua orang lainnya yang sama-sama tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan yang benar. Sehingga mereka di isolasi selama 50 hari tidak diajak komunikasi bahkan Rasulullah sendiri pun melakukannya. Ka’ab bertutur, “Saat itu betapa dadaku terasa sesak dan bumi yang luas inipun terasa sempit” lalu ia berkata lagi, “Sesungguhnya aku di kalangan kaumku termasuk orang yang dikenal pandai dalam berdiplomasi kalau saja aku mengutarakan suatu alasan kepada Rasulullah SAW tentang ketidakikutanku dalam perang Tabuk niscaya beliau akan mempercayaiku. Namun apalah artinya selamat daripada hukuman Rasulullah sementara hukuman yang lebih besar dihadapan Allah siap menantiku”. Subhanallah begitulah para sahabat terdahulu jujur terhadap diri sendiri bila ia telah bersalah. Sangat berbeda dengan kondisi hari ini, disaat alasan demi alasan dengan mudahnya keluar dari mulut seseorang. Cukuplah kita berkata, “Balil insaanu ‘ala nafsihi bashirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,  meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Apalah artinya alasan-alasan  itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah diri sendir yang rugi? Tidakkah ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha menjuerumuskan diri sendiri kepada kebinasaan. Sebagaimana sabda Nabi saW,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
“Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pua yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini. Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia. Saat itu benar atau tidaknya alasan kita akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota badan.
Ibnu Abbas RA dalam menafsirkan ayat ini berkata, makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah SWT,
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An Nuur : 24)
Jika kita sayang terhadap diri kita sendiri, hendaklah kita berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua.
(Abu Hafizh Al Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar