MERUGI TIADA HENTI
AKIBAT MENIPU DIRI SENDIRI
بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ
﴿١٤﴾ وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ ﴿١٥﴾
“Bahkan
manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,
meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al Qiyamah : 14-15)
Tiadalah sesuatu yang paling berharga
dalam diri seseorang melainkan hidayah yang telah Allah berikan kepadanya. Bila
ia tetap mensyukurinya dengan amal shaleh niscaya bahagia dan selamatlah ia.
Namun bila hidayah itu disia-siakan bahkan hilang dari dirinya disebabkan
kesombongan niscaya hidup terasa hampa dan hina. Teringat satu kisah yang
dinukil dari kitab Uyunul Atsar, Imam Az Zuhri mengisahkan, Abu Jahal,
Abu Sufyan dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi sering mendatangi
rumah Nabi SAW di malam hari. Masing-masing mengambil posisi yang tidak
diketahui satu sama lain untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat al Qur’an yang
dibaca Rasulullah SAW dalam shalatnya.
Hingga ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga
memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat
kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah SAW.
Namun pada malam berikutnya, ternyata
mereka tidak berdaya menahan gejolak jiwa untuk menikmati kembali lantunan
ayat-ayat al Qur’an. Mereka bertiga kembali ke tempat yang sering mereka duduk
untuk mendengarkan ayat-ayat al Qur’an, masing-masing mereka menyangka bahwa
yang lain tidak akan datang ke rumah Rasulullah SAW lagi di sebabkan janji yang
telah di ikrarkan. Namun, ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat,
mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela
sebagaimana terjadi pada malam-malam sebelumnya.
Kejadian ini terus berulang di setiap
malamnya namun masing-masing tetap dalam kecongkakan dirinya.
Begitulah, meski
mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW, namun dari lubuk hati mereka yang
terdalam terbesit sebuah kekaguman tentang al Qur’an. Betapa indah sastra yang
ada di dalamnya, kebenarannya yang sulit terbantahkan serta isinya sungguh menakjubkan
hati setiap orang yang mendengarkannya. Berbagai alasan, argumen dan kilah
sebenarnya tidak bisa mengelabui perasaannya,
“Bahkan
manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,
meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al Qiyamah : 14-15)
Kaedah ini berlaku bagi siapapun yang
menentang kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka pada hakikatnya
hanya membohongi diri mereka sendiri tatkala lebih memilih menentang atau
menyelisihi kebenaran dari pada tunduk dan patuh terhadapnya. Mari berehat
sejenak, kita hisab diri kita serta jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri
malas untuk beramal shalih misalnya belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul
untuk membela diri. Ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, tidak ada
kendaraan, jauh tempat kajiannya, sibuk dengan pekerjaan, kurang enak badan dan
seabrek alasan lainnya yang dibuat sesyar’i mungkin agar bisa tidak hadir.
Kendatipun seperti itu cobalah bertanya pada nurani kita. Apakah semua yang
kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur hingga benar-benar tidak memiliki
kesempatan untuk menambah ilmu syar’i? Jawabnya, “Balil insaanu ‘ala nafsihi
bashirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas
dirinya sendiri, meskipun dia
mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendirilah yang tahu akan kebenaran
alasan kita sembari jujur dengan hati nurani kita.
Begitu pula bagi orang yang sudah lama
tidak terlihat di masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai argumen keluar
bertubi-tubi bak air bah menerjang agar orang lain memahami dan memakluminya.
Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi,
masjid yang jauh, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusu’ shalat di masjid,
ingin mengimami keluarga dirumah dan masih banyak alasan yang lain. Apakah
alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnyaa diri kita sendiri yang
mengetahui akan penyebab ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah.
Cukuplah jawabnya, “Balil insaanu ‘ala
nafsihi bashirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi
atas dirinya sendiri, meskipun dia
mengemukakan alasan-alasannya.
Begitu pula padahal perintah lainnya
di dalam Islam ataupun terhadap setiap kemasiatan sering dicarikan alasan oleh
pelakunya. Mungkin secara zhahir orang lain dapat ditipu dengan berbagai
argumen yang disampaikan, namun sadarkah kita bahwasannya ada Dzat yang tiada
pernah ngantuk ataupun tidur, yang senantiasa mengetahui apa yang tersembunyi
serta Maha Mendengar lagi Maha Melihat?
Sungguh indah kisah hidup yang dialami oleh seorang sahabat Rasulullah
SAW yang bernama Ka’ab bin Malik dan dua
orang lainnya yang sama-sama tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan yang benar.
Sehingga mereka di isolasi selama 50 hari tidak diajak komunikasi bahkan
Rasulullah sendiri pun melakukannya. Ka’ab bertutur, “Saat itu betapa dadaku
terasa sesak dan bumi yang luas inipun terasa sempit” lalu ia berkata lagi,
“Sesungguhnya aku di kalangan kaumku termasuk orang yang dikenal pandai dalam
berdiplomasi kalau saja aku mengutarakan suatu alasan kepada Rasulullah SAW
tentang ketidakikutanku dalam perang Tabuk niscaya beliau akan mempercayaiku.
Namun apalah artinya selamat daripada hukuman Rasulullah sementara hukuman yang
lebih besar dihadapan Allah siap menantiku”. Subhanallah begitulah para sahabat
terdahulu jujur terhadap diri sendiri bila ia telah bersalah. Sangat berbeda
dengan kondisi hari ini, disaat alasan demi alasan dengan mudahnya keluar dari
mulut seseorang. Cukuplah kita berkata, “Balil insaanu ‘ala nafsihi bashirah,
walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun dia mengemukakan
alasan-alasannya.
Apalah artinya alasan-alasan itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan?
Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah diri sendir yang rugi? Tidakkah
ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang
yang berusaha menjuerumuskan diri sendiri kepada kebinasaan. Sebagaimana sabda
Nabi saW,
كُلُّ
النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
“Setiap
manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu
menyelamatkan dirinya, ada pua yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri
termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam
konteks ini. Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan
saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita
sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia.
Saat itu benar atau tidaknya alasan kita akan dibuktikan dengan kesaksian
seluruh anggota badan.
Ibnu Abbas RA dalam menafsirkan ayat
ini berkata, makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan
atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya,
tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa
yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah SWT,
“Pada hari
(ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa
yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An Nuur : 24)
Jika kita sayang terhadap diri kita
sendiri, hendaklah kita berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Semoga Allah
senantiasa membimbing kita semua.
(Abu Hafizh Al Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar