Ibnu Taimiyyah Tujuh Kali Dipenjara: Ideologi yang Tak Pernah Terbui
(an-najah.net) – Orang yang dipenjara tidak selalu identik dengan 
pelaku kejahatan dan dosa. Yusuf as, misalnya, merupakan sosok yang 
diabadikan oleh Allah di Al-Qur’an, sebagai insan mulia, namun dipenjara
 bukan karena kesalahan yang diperbuatnya. Tidak bermaksud menyamakan, 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga harus menerima ujian di penjara 
selama tujuh kali, dengan total waktu mencapai lima tahun.
Ia dipenjara karena tuduhan palsu yang dibuat-buat karena kedengkian,
 fitnah, dan kebencian tanpa alasan. Namun, pengalamannya ini telah 
mewariskan banyak keajaiban. Dengan itu ia justru meninggalkan banyak 
pengaruh dan tulis yang mengabadikan namanya.
Berikut ini kronologi Ibnu Taimiyyah di penjara:
Di Damaskus pada 693 H, ia hanya sebentar di penjara, namun dampak 
dan hasilnya cukup besar. Kejadiannya berawal dari seorang Nasrani 
bernama Assaf yang disaksikan oleh kaum muslimin, menghina Nabi saw. 
Ketika berita ini sampai kepada Ibnu Taimiyyah, ia pun segera menemui 
Zainuddin Al-Fariqi, guru di Darul Hadits pada masanya. Keduanya 
akhirnya sepakat untuk mengangkat persoalan itu kepada pejabat 
pemerintah di Damaskus, Izzuddin Ubaik.
Assaf akhirnya didatangkan bersama kuasa hukumnya sekaligus yang 
menyewa dirinya untuk menghina Nabi saw. Namun, karena kalah dalam 
persidangan, Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Zainuddin justru mendapatkan 
hukuman. Keduanya dilempari dengan batu. Penguasa setempat juga ikut 
melempari keduanya di hadapan Assaf. Kemudian, ia memanggil keduanya dan
 meminta kerelaan atas perbuatannya.
Assaf yang beragama Nasrani itu mengaku-aku telah masuk Islam. Namun,
 dalam perjalanannya ke Hijaz, ia dibunuh oleh keponakannya sendiri. Ini
 mungkin pembalasan dari Allah atas kezalimannya terhadap dua orang 
saleh tersebut.
Dalam peristiwa ini, Ibnu Taimiyyah menulis sebuah buku yang terkenal
 dengan judul: Ash-Sharimul Maslul ala Syatimir Rasul (Pedang Terhunus 
atas Penghina Rasul saw).  Kitab ini menjadi rujukan setiap umat ini 
mendapati orang yang menghina para nabi dan utusan Allah.
Penjara Kedua
Kali ini ia dipenjara di Kairo, selama satu tahun setengah, mulai 
Jumat 26 Ramadhan 705 H sampai Jumat 23 Rabiul Awwal 707. Pada awalnya 
ia di tempatkan di Penjara Burj, dan kemudian ditransfer ke Penjara 
Qal’atul Jabal.
Di penjara ini ia tidak sendirian, tetapi bersama dengan Abdullah, 
Abdurrahman, dan muridnya Ibrahim Al-Ghayani. Mereka bertiga ini memang 
selalu bersama Ibnu Taimiyyah  dalam perjalanannya ke Kairo.
Penyebabnya, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam 
Al-Bidayah wan Nihayah pada rangkuman peristiwa Tahun 705, adalah 
persoalan tauhid asma’ wa sifat, yaitu tentang Arsy, Kalam, dan Nuzul 
(turunnya Allah).
Ibnu Taimiyyah menunjukkan sikap heroik dan kejujuran dalam memenang 
keyakinan tentang Allah yang mengisi jiwa dengan iman dan kesungguhan 
untuk beramal.
Ketika ia dikeluarkan dari penjara, saudaranya Abdullah, yang 
dihormati manusia ketika itu menyebut orang-orang yang memenjarakannya 
sebagai orang yang zalim dan suka permusuhan. Namun, Ibnu Taimiyyah 
tidak menyukai itu dan mengatakan kepadanya, “Katakanlah: Ya Allah, 
berilah mereka cahaya yang menuntun ke jalan kebenaran.”
Penjara ketiga
Di Mesir, selama dua pekan, mulai 3/10/707 sampai 18/10/707 H.
Penyebabnya karena ia menulis sebuah buku tentang istighatsah yang 
dikenal dengan bantahan atas pemikiran para pengikut Abu Bakar Al-Arabi,
 tokoh sufi.
Penjara keempat
Di Mesir juga, di Ruang Demarkasi, selama dua bulan atau lebih, mulai Syawal  707 sampai awal 708 H.
Penyebabnya karena provokasi yang dikendalikan oleh kelompok sufi 
mistis Al-Hululi, yang mengambil keuntungan dari kedekatan mereka dengan
 penguasa setempat waktu itu.
Penjara kelima
Di Alexandria pada 1/3/709 sampai 8/10/709 H, yakni selama tujuh 
bulan. Ia dipenjara karena makar dari para pendukung tokoh sufi yang 
dikuatkan oleh penguasa ketika itu.
Mereka bertekad untuk membuang Ibnu Taimiyyah ke Siprus, dan 
mengancam akan dibunuh. Ketika ancaman itu disampaikan kepadanya, ia  
menjawab dengan ungkapan yang mengesankan, “Kalau aku dibunuh, itu 
adalah kesyahidan bagiku. Bila aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. 
Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, 
mereka akan menyambut seruanku. Kalau mereka memenjarakan diriku, maka 
itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba yang bagaimana 
pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal.”
Mereka pun putus asa dan meninggalkan Ibnu Taimiyyah.
Allah telah berjanji untuk membela orang beriman. Hanya beberapa 
bulan di penjara, Raja Nasir Muhammad bin Qalawun berkuasa menggantikan 
si pengkhianat, Jaishankar. Qalawun membebaskan Ibnu Taimiyyah 
memanggilnya agar pindak ke Kairo. Ia pun mendapatkan kehormatan dan 
kemuliaan di sisi Raja. Raja meminta fatwa kepadanya agar para ulama 
yang berpihak kepada Jaishankar dibunuh saja.
Namun, Ibnu Taimiyyah tahu keinginan Raja bahwa ia hanya ingin 
terbebas dari gangguan mereka dan balas dendam atas dirinya. Ia pun 
berkata, “Mereka adalah orang-orang mulia di kerajaanmu. Kalau engkau 
membunuh mereka, engkau tidak akan mendapatkan pengganti.”
Setelah tinggal di Kairo, masyarakat dari banyak lapisan selalu 
meminta fatwa kepadanya agar orang-orang yang memusuhinya diperangi. 
Namun, ia menjawab, “Saya telah memaafkan siapa pun yang menyakitiku. 
Adapun orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allahlah yang akan 
membalasnya.”
Ia kemudian kembali ke Damaskus, didampingi oleh Sultan untuk 
memerangi bangsa Tatar pada 8/10/719 H. Tujuh tahun lamanya ia 
meninggalkan Damaskus karena dipenjara empat kali selama dua setengah 
tahun.
Penjara keenam
Kali ini bada di Damaskus selama hampir enam bulan, mulai Kamis 
12/7/720 sampai Senin 10/1/721 H. Penyebabnya adalah persoalan sumpah 
perceraian.
Di penjara ini ia menulis banyak makalah dan buku, di antaranya 
adalah bantahan terhadap persoalan sumpah dalam perceraian itu sendiri.
Penjara ketujuh
Di Damaskus selama dua tahun tiga setengah bulan, mulai dari Senin 
6/8/726 sampai Senin malam 20/11/728 H. Di penjara inilah ia wafat dan 
jenazahnya dikeluarkan menuju pemakamannya. Penyebabnya adalah persoalan
 ziarah ke tempat-tempat suci.
Dalam persoalan ziarah ini, Syaikhul Islam menyampaikan dua pendapat,
 yaitu pendapat Imam Malik yang melarang ziarah kecuali ke tiga masjid: 
Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha. Kedua adalah pendapat 
sebagian penganut mazhab Syafi’i dan Hambali yang membolehkan hal itu. 
Sebenarnya, tidak ada alasan lain untuk memusuhi Ibnu Taimiyyah selain 
karena hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Semoga Allah memberikan 
tempat yang baik bagi Ibnu Taimiyyah atas keteguhannya meski dicela. 
[is].

Tidak ada komentar:
Posting Komentar