DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULAN
DENGAN
duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan
perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam
memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling
mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun.
Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak
mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak
untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa
orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim
dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam
sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia
terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia
dan hormat kepadanya.
Paras
mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi,
juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam
sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas
sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar
dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak
lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang
hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang
bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah.
Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan
jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila
berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan
pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan
matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan
sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh
kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus
hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan
membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad
yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah
itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh
penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka
melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan
membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak
mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati
lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati
lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan
hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja
mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan
seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia
mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun
begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi
yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai
terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak
kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat.
Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya
keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada,
berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan
mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras,
tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini
berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada
orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya
tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang
bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah
besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia
dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.
Pergaulan
Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya
dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang
sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa
dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum
itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di
dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya diperkuat,
pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan
menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan
mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barangsiapa
yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu
dianggap tidak umum.
Tetapi
sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu
keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu
peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang
Rumawi bernama Baqum2 yang datang dari Mesir terhempas di laut dan
pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga
soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka
berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy
ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya
berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka
membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu
itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang
kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat
bantuan Baqum.
Sudut-sudut
Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu
sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak
melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat
bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak
bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan
dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai
pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan
memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah
mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan
pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan.
Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai
mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera
dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut
timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang
seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya.
Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang
saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat
takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan
yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga
Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke
dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi
nama La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’
Abu
Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di
antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa
itu ia berkata kepada mereka: “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan
orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”
Tatkala
mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu,
mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.”
Lalu
mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan
sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu.
Ia
berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya.
Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu
diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya
setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.” Mereka bersama-sama
membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan.
Lalu
Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di
tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat
dihindarkan.
Quraisy
menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11
meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka
dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat
enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam
dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang
berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi
sasaran pencurian.
Mengenai
umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang
batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur
duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima
tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama
saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang
pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu
dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan
di tempatnya dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya
dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya
sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya
pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (‘Jilatan
Darah’), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki
pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah
jatuh.
Kekuasaan
yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah
tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan
keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan
jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat
buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam
hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan
itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya
kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan
keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu – suatu hal yang tidak akan berani mereka
lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya
pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang
Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah
masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap
mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa
agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga
ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya
penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi
Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah
sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran
dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya
pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada
beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat
Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang
di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah:
Zaid b. ‘Amr, Usman bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b.
Naufal.
Mereka
satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya
tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu:
memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga
tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu.
Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”
Dari
antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon katanya
dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. ‘Ubaidullah b.
Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut
hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai
matinya. Tetapi isterinya – Umm Habiba bint Abi Sufyan – tetap dalam
Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan
Umm’l-Mu’minin.
Zaid
b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia
menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau
menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia
meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang
berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku
mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu,
tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya.”
Usman
bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Rumawi
Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada
Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan
berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi
Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta
perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke
Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
Selama
bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah
teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan
seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti:
al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta
puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang
al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan
bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan
bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah
terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada
tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap
sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan
kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan,
sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang!?
Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga
oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk-duduk
di sampingnya
Tidak
begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian
itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur
hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu
keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa
besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada
Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang
menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga
akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula.
Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan
menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa
sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
Sudah
tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya
berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula
pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi
satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen
buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat,
‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
Ia
ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua
kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.
Terhadap
anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan
mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu’).
Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-’Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams
– ibunya masih bersaudara dengan Khadijah – seorang pemuda yang
dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia
perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah
datangnya Islam – ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah –
mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti.
Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak
Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami
mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri
mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan
Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak
karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh
nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup
sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali
apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya,
bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan
masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan
orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan
merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak
berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah
mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat
manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa
demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah
hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk
dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang
yang akan menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan
rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa
dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti , dilakukan
oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah
kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia
bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu
sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.
Sudah
menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir
mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian
orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan
bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan
tahannuts.6
Di
tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna
mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di
tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dinnya serta obat penawar
hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi
kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta
mengetahui rahasia alam semesta.
Di
puncak Gunung Hira, – sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak
sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth.
Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di
tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun
dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan
keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian
kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia
akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab,
segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah
suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya
segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia
tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam
kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan
dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam
bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah
sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan
indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau
dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu,
yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan
wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha
mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung
tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir
yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang
panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan
dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk
tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.
Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula
mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang
ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan
berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak
pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu
kebaikan bagi Mekah.
Tetapi!
Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam
alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan
langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang
berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia,
dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan
kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah
benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik
benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan?
Apa
asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan
dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah
mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin
bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan
atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah
bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah
kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad
selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia ingin
melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu
memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan
Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran
yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu,
karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat
dan afiat.
Dalam
melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut
sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat.
Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang
pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan
ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan
menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat
dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya.
Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang
sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang
menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun
telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi
ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah
matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang
terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi
hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya
Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya
dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika
itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang
benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada
khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang
tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum
Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih
mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma,
yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak
yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong,
yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan
Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain
Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha
Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai
berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat
atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu
benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman
yang paling durhaka.
Muhammad
sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan
tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah
dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala
kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan
sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya
agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang
sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam
hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan
kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu
renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke
jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak
menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan
yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam
bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap
dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada
Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir
kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi
isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. dikatakannya bahwa
dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun
memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami
itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan
latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita
yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Tatkala
ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang
malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!”
Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa
seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya
lagi: “Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan
dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya …”
(Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi
kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya:
Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu
kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak
melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa
yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat
ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam
hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah
dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi
hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya,
membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan
kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu
menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan
penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar
terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah
menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi
siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang
menicptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan
kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia
memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya.
Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia
melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat
dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan
sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang
dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang
sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia
dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang
mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah
rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang
disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar
ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia
segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa
ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan
mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah,
kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah
dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh
kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.
Seperti
juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan
kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia
melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati
yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan
rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:
“O
putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang
memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi
atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab
engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau
yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong
mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad
sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh
terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat
letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian
bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa
kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi
kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah,
untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang
akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang
lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh
orang-orang kafir tidak disukai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar