Mengikuti Orang Lain Tanpa Ilmu Adalah Kejahatan
Pernahkah Anda mengikuti pendapat orang lain dan mempercayainya, 
padahal Anda sebenarnya tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang itu? 
Bila persoalannya menyangkut hak orang lain, tentu lebih berbahaya 
akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman terkait 
persoalan ini:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai 
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, 
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra`: 36)
Selektif Berkata dan Berbuat
 
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna ayat di atas ialah Allah Ta’ala 
melarang ucapan yang tidak didasari ilmu. Yaitu hanya berlandaskan 
dugaan yang merupakan perkiraan dan terkaan-terkaan pikiran (khayalan) 
belaka. Allah berfirman, “Jauhilah kebanyakan dari prasangka, 
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah 
dosa.” (al-Hujurat: 12). 
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
(إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ (رواه البخاري ومسلم
“Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut penuturan Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy, penafsiran yang lebih
 mendekati kebenaran dari ayat ini adalah, “Janganlah engkau katakan 
kepada orang-orang, dan jangan kabarkan tentang orang-orang, suatu 
berita yang tidak engkau ketahui (tanpa bukti). Misalnya, menuduh mereka
 dengan sesuatu yang batil dan memberikan kesaksian yang tidak benar 
atas mereka. Itulah yang namanya ‘al-qafwu’.”
Syaikh As-Sa’diy menafsirkan ayat tersebut, “Jangan engkau ikuti apa yang engkau tidak punya pengetahuan tentangnya. Hati-hatilah (selektif) terhadap apa yang engkau katakan dan lakukan.’
Sebagian ahli ilmu yang melarang taqlid (mengikuti perkataan ulama) berdasarkan ayat ini. Imam Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthiy menyebutkan sebuah hadits terkait dengan ayat ini:
Syaikh As-Sa’diy menafsirkan ayat tersebut, “Jangan engkau ikuti apa yang engkau tidak punya pengetahuan tentangnya. Hati-hatilah (selektif) terhadap apa yang engkau katakan dan lakukan.’
Sebagian ahli ilmu yang melarang taqlid (mengikuti perkataan ulama) berdasarkan ayat ini. Imam Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuthiy menyebutkan sebuah hadits terkait dengan ayat ini:
مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ بَعَثَ
 اللهُ مَلَكًا يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ،
 وَمَنْ قَفَا مُؤْمِنًا بِشَيْءٍ يُرِيْدُ شَيْنَهُ، حَبَسَهُ اللهُ عَلَى
 جِسْرِ جَهَنَّمَ حَتىَّ يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa menjaga seorang mukmin dari (gangguan) orang munafik, 
maka Allah akan mengutus seorang malaikat yang menjaga dagingnya dari 
jilatan api neraka jahanam pada hari kiamat kelak. Dan barangsiapa 
mengucapkan  kata-kata bohong tentang seorang mukmin, dengan tujuan 
menjelek-jelekkannya, maka Allah akan menahannya di atas titian jahanam 
sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya.” (HR. Abu Dawud)
Siapkan Jawabannya!
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Terhadap penggalan kedua dari ayat di atas, ada dua penafsiran. Pertama; manusia akan ditanya tentang perbuatan-perbuatan anggota tubuhnya. Kedua; anggota-anggota badan manusia yang akan ditanya. Lalu setiap anggota badan itu memberi kesaksian tentang semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pemiliknya.
Terhadap penggalan kedua dari ayat di atas, ada dua penafsiran. Pertama; manusia akan ditanya tentang perbuatan-perbuatan anggota tubuhnya. Kedua; anggota-anggota badan manusia yang akan ditanya. Lalu setiap anggota badan itu memberi kesaksian tentang semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pemiliknya.
Imam Al-Qasimiy, mengutip keterangan Al-Muhayimiy, mengungkapkan 
hikmah didahulukannya penyebutan pendengaran (as-sam’u) daripada indera 
yang lain. Menurutnya, itu karena pendengaran merupakan perangkat utama 
yang sering difungsikan orang untuk mengumpulkan informasi sebelum 
menyebarkannya kembali melalui ucapan. Dan hati disebut belakangan sebab
 alat-alat indera manusia berakhir padanya. Tak satupun ucapan dan 
perbuatan manusia yang bisa menentang dan mempengaruhi isi hatinya.
Syaikh As-Sa’diy menerangkan tentang ayat ini bahwa seorang hamba 
yang mengerti dan menyadari bahwa kelak di akhirat dirinya akan dimintai
 pertanggungjawaban terhadap semua yang telah ia katakan dan ia perbuat 
dengan anggota badannya, semestinya mempersiapkan jawaban. Dan 
satu-satunya jalan untuk itu adalah dengan memfungsikan seluruh anggota 
badan pemberian Allah itu sebagai sarana ibadah kepada-Nya. (Hf)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar