3
Jalan Keselamatan
Suatu hari ada seorang sahabat ('Uqbah bin 'Aamir) datang kepada
rasulullah saw dan bertanya :
يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ ؟
"Wahai
rasulullah apa yang bisa membuat diriku tenang, tentram, enjoy, serta selamat
baik dunia maupun akhirat ?"
قَالَ
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
Rasulullah saw menjawab : "(Amsik 'alaika lisanak) Jagalah lisanmu,
(Walyasa'ka baituk) luaskanlah rumahmu, (Wabki 'ala khathi'atik) dan tangisilah
perbuatan salahmu." (Diriwayatkan Turmudzy)
Dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jalan, manhaj, konsep,
cara agar seseorang itu selamat sehingga merasa tenang, tentram, dan tuma'ninah
dalam menghadapi segala permasalahan ada tiga perkara :
1.
Menjaga lisan.
Lisan itu bagaikan kuda, keduanya bisa mencelakakan dan bisa
menyelamatkan pemiliknya. Hingga kemudian apabila seorang faaris (penunggang
kuda) sembarang naik tanpa mengetahui kaifiyah (cara) mengendalikan
tunggangannya maka ia akan mudah terlempar jatuh dari kudanya tadi. Begitu pula
lisan, jika seseorang sembarangan dalam menggunakan lisannya tanpa ada kendali
niscaya ia akan mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan
sehingga bisa
menjerumuskannya kedalam jahannam.
Makanya,
amatlah benar Rasulullah saw ketika berjanji dengan bersabda :
مَنْ
يَضْمَنُ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنُ لَهُ
الْجَنَّةَ
"Barangsiapa
yang mampu menjaga apa yang ada diantara kedua rahangnya (lisannya) dan apa
yang ada diantara kedua kakinya (kemaluannya) dengan baik, aku berani menjamin
bahwa dia pasti akan masuk surga," (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim
dari Sahl bin Sa'ad)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa , ia
berkata : "Aku pernah bertanya : 'Wahai rasulullah, siapakah muslim yang
paling utama ?' beliau menjawab 'Muslim yang muslim lainnya terbebas dari
gangguan lisan dan tangannya."
Bahkan rasulullah menjelaskan bahwa keistiqamahan iman seseorang
tergantung pada lisannya, sabda beliau :
لا
يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلا يَسْتَقِيمُ
قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
"Keimanan
seseorang hamba tidak dianggap istiqamah sebelum hatinya istiqamah. Dan hati
itu tidak dianggapa istiqamah sebelum lidahnya istiqamah."
(Diriwayatkan Ahmad dari Anas bin Malik)
Kemudian rasulullah juga mengindikasikan bahwa seseorang itu akan selalu
dan senantiasa menjaga lisannya jika ia mengaku bahwa dirinya beriman kepada
Allah dan hari akhir. Beliau bersabda :
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
"Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam". (Diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Imam Nawawi berkata
: "Maksud Hadits ini jelas, yaitu agar seseorang tidak mengeluarkan
kata-kata, kecuali yang baik yakni perkataan yang ada manfaatnya, tahu kapan
perlu berbicara dan tahu kapan tidak perlu berbicara. Menurut sunnah, seseorang
hendaknya menahan diri dari banyak bicara, sebab perkataan yang asalnya mubah
sekalipun terkadang bias menjurus kepada haram atau makruh, dan yang demikian
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sementara keselamatan lisan
merupakan sesuatu yang mahal harganya."
Makanya tidak aneh
jika para ulama salaf saleh sangat berhati-hati dengan lisan yang mereka
miliki. Sebagaimana
penuturan Salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mas'ud r.a, beliau mengatakan
:
مَا
شَيْءٌ أَحْوَجُ إِلَى طُوْلِ سِجْنٍ مِنْ لِسَانِي
"Tidak ada yang lebih berhak untuk
dipenjarakan secara berkepanjangan selain dari lisanku". Karenanya
alangkah baiknya seseorang lebih mengutamakan dan memprioritaskan indera lain
(pendengaran) dari pada yang satu ini (lisan). Seorang sahabat (Abu Darda r.a)
berkata : "Aktifkanlah dua telingamu daripada mulutmu. Karena engkau
diberi dua telinga dan satu mulut, agar engkau lebih banyak mendengar daripada
berbicara."
Shamit bin 'Ajalan mengatakan :
يَا
ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا سَكَتَّ فَأَنْتَ سَالِمٌ فَإِذَا تَكَلَّمْتَ فَخُذْ حَذْرَكَ
إِمَّا لَكَ وَ إِمَّا عَلَيْكَ
"Wahai anak adam, sesungguhnya
selama engkau diam engkau akan selamat, maka apabila engkau berbicara
berhati-hatilah, karena perkataan itu akan menjadi penolong bagimu atau menjadi
boomerang bagimu."(Jami' Ulum wal Hikam, hal 135). Abu Bakar bin Ayasy
berkata :
أَرَى
فِــي النَفْعِ السُّكُوْتِ السَّـــــلاَمَةَ
"Saya melihat manfaat diam adalah
keselamatan" maka inilah diantara salah satu kunci keselamatan bagi
seorang hamba.
2.
Melapangkan tempat tinggal.
Maksudnya
adalah melazimi (mendiami)
rumah/tempat tinggalnya dengan menyibukkan diri dalam berbagai ketaatan kepada
Allah yakni dengan memperbaiki rumah tangga yang ada, seperti menjaga diri dan keluarga
agar senantiasa taat kepada apa yang telah Allah swt syariatkan. Syaikh Shalih al Munajjid
menyebutkan, Rumah Adalah Nikmat.
Allah swt berfirman :
"Dan
sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal."
(An-Nahl : 80) Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah swt menyebutkan kesempurnaan nikmatNya atas
hambaNya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan
tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung dan memanfaatkannya
dengan berbagai macam manfaat"1.
Adapun rasa syukur
atas nikmat ini bias kita wujudkan dengan memperbaiki rumah tangga, diantaranya
dengan mengamalkan ayat Allah swt:
ياأيها
الذِيْنَ ءَامَنُــوا قــُــــــــــوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نـــَارًا
"Hai
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka"
(Qs. at-Tahrim : 6).
Ali r.a.
berkata : didik dan ajarilah mereka. Ibnu Abbas r.a. mengatakan :
اعْمَلُــــوا
بطاعةِ اللهِ، وَاتَّقُوا مَعَاصِي الله، ومُروا أهلِيـْــكم بالذكرِ، يُنجِيكم اللهُ
مِن النار.
“Beramallah dengan
memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan jauhi maksiat, serta perintahkan
keluargamu untuk selalu mengingat Allah, niscaya Allah menyelamatkanmu dari api
neraka”. Dan Ibnu Katsir berkata bahwa makna ayat ini adalah hadits
rasulullah :
مُرُوا
الصَّبِي بِالصَّلاة إذا بلغ سبعَ سنينَ، فَإذا بلغَ عشرَ سنينَ فاضربوهُ عليهَا (رواه الإمام أحمد، وأبو داود، والترمذي)
Para fuqaha’ menambahkan : “Hal
ini juga berlaku pada shaum dan ibadah lainnya, sebagai bentuk latihan, sehingga ketika mencapai baligh mereka sudah
terbiasa dengan ibadah, taat kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan dan
meninggalkan kemungkaran.
Kemudian mengamalkan sabda Rasulullah saw berikut
:
مثلُ البيتِ
الذي يُذكرُ الله فيهِ و البيت الذي لاَ يُذكرُ الله فيهِ مثلُ الحَيِّ وَ المَيِّتِ
"Perumpamaan rumah yang
di dalamnya ada dzikrullah, dan rumah yang tidak ada dzikrullah di dalamnya
adalah (laksana) perumpamaan antara yang hidup dengan yang mati". (Hadits
riwayat Muslim dan Abu Musa)
Rasulullah menegaskan dalam hadits lain : "Janganlah kalian
jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan! Sesungguhnya setan lari dari rumah
yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah".(HR. Muslim). Karenanya
rumah harus dijadikan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam dzikir,
baik itu dzikir dalam hati maupun dengan lisan, shalat, atau membaca shalawat
dan Al-Qur'an, atau mempelajari ilmu-ilmu
agama, atau membaca buku-buku lain yang bermanfaat.
3.
Menangisi kesalahan yang telah diperbuat.
Karena setiap bani adam pasti melakukan kesalahan, maka akan amat sangat
pantas jika diri mereka menangisinya. Kalaulah misalkan seseorang tidak bisa menangisi kesalahannya, minimal bersegera
beristigfar dan kembali mengingat Allah serta menyesali dan
menghitung-hitung kesalahan yang telah diperbuat. Umar bin Khathab r.a berkata
:
حَاسِبُوْا
أَنفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِّنوُا أَنفسَكم قَبلَ أن تُوَزَّنوا،
فإنه أَخَفَّ عليكم في الحساب غدًا أَن تحاسبوا أنفسكم اليومَ
“Hisablah diri kalian sebelum kalian
dihisab, dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena
sesungguhnya hisab yang kalian lakukan hari ini akan meringankan hisab kalian pada
hari esok (akhirat) ”. Bahkan Rasulullah saw bersabda :
((يَا أَيُّهَا النَّاسُ
تُوْبُوْا إِلَى اللهِ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ))
“Wahai manusia! Bertaubatlah
kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”(
HR. Muslim 4/2076). Dan sabdanya :
((وَاللهِ إِنِّيْ لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي
الْيَوْمِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً))
“Demi Allah! Sesungguhnya aku
minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh
puluh kali.”(HR. Bukhari). Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata “al-Fawaid” :
التوبَةُ
مِن الذَّنبِ كَشُرب الدواءِ للعَليل وَرُبَّ عِلَّةٍ كَانَتْ سَبَبُ الصِّحَةِ
“Bertaubat dari dosa bagaikan
meminum obat untuk menangkal penyakit dan berapa banyak obat yang karenanya
orang menjadi sehat”. Ibunda Aisyah r.a mengatakan :
طُوْبي
لمن وَجَد في صَحِيفَتِه استغَفارًا كَثيرا
“Beruntunglah
orang-orang yang mendapati dalam
catatan amal perbuatannya memuat banyak istigfar” (Tazkiyatu
an-Nafs, hal 51). Wallahu A’lam bish Shawab
Referensi :
- Al-Qur’an al-Karim dan terjemahannya.
- ‘arba’uuna nashihah liislahil buyut’, Shalih al Munajjid.
- Kamus al-Mukhtar, Tim Kajian al-Kitabah.
- Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah.
- Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi.
- Tuhfatul ahwadzi (Syarh Turmudzy), Muhammad Abdurrahman Bin Abdurrahhim.
- al-Fawaid, Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
- Tafsir Ibnu Katsier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar