Kamis, 07 Februari 2013

Tetap Mulia

TETAP MULIA WALAU TERUS DIHINA
Abu Hafizh Al Bukhari



إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ ﴿٥١﴾ يَوْمَ لَا يَنفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ ﴿٥٢﴾
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (yaitu) hari yang tiada berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah la`nat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (QS. Ghafir : 51-52)

Di penghujung tahun 2012 lalu, masih segar dalam ingatan kita ulah Sam Bacile seorang sutradara film dari negeri Paman Sam  membuat film The Innocence of Muslim yang isinya benar-benar melecehkan Nabi Muhammad. Film yang diperkirakan menghabiskan US$ 5 juta (Rp. 47,9) akhirnya menuai protes dari berbagai negara. Begitulah para pembenci Rasulullah akan senantiasa ada dari masa ke masa, silih berganti menghiasi lembaran-lembaran sejarah peradaban Islam. Substansi yang dibawa sama yaitu mencitrakan Rasulullah dalam sudut pandang yang negatif, tetapi dimainkan dengan pemain-pemain yang berbeda. Diawal-awal kemunculan Islam  ada tokoh-tokoh besar pembenci Nabi seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin khalaf dan lain-lain, sebagian tokoh mereka ada yang membenci di awal-awalnya namun happy ending dengan keislaman dan tidak sedikit pula yang mati tetap dalam kekafiran. Kemudian beberapa dasawarsa sebelum abad kedua puluh
berakhir ada Salman Rushdi dengan novelnya The Satanic. Akhir September  2005 majalah Jylland-Posten di Denmark memuat 12 karikatur buatan Kurt Westergaard yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai teroris dan gila wanita. Adalagi Geert Wilders dari Belanda dengan film Fitnah-nya. Dan masih banyak lagi.

Demikianlah kebencian yang diarahkan kepada Rasulullah. Sungguh keji perbuatan mereka, tapi sebenarnya kebencian yang mereka tampilkan belumlah seberapa dibanding dengan yang tersembunyi dalam hati mereka.
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ﴿١١٨﴾
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.  (QS. Ali Imran : 118)

Lantas apa sebenarnya makna dari “pertolongan Allah di dunia” dalam ayat di atas? Mengapa pula Nabi kita sampai terhina sedemikian rupa hingga saat ini? Lebih jauh, mengapa pula pada zaman dahulu, para nabi tetap mendapat hinaan, bahkan pengusiran, penyiksaan dan bahkan pembunuhan? Padahal Allah telah berjanji menolong mereka?

Semua pertanyaan ini wajar muncul bila persepsi “pertolongan Allah di dunia” senantiasa tergambar dalam bentuk keajaiban-keajaiban. Semisal diutusnya malaikat untuk menolong nabi yang sedang  dalam bahaya, menggigilnya musuh-musuh nabi seperti yang terjadi pada Abu Jahal yang melihat ‘monster’ unta ketika hendak mencelakakan nabi, atau matinya para pembenci nabi secara tiba-tiba akibat penyakit aneh, disambar kilat atau lain sebagainya. Namun, hal ini bisa lebih kita nalar jika dipersepsikan secara lebih mendalam. Pertolongan dari Allah dan kemenangan bukanlah semata-mata pertolongan sekejap, tapi kemenangan yang benar-benar telak.

Di dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan maksud surah Al Ghafir ayat 51 ada dua, pertama, pemberitahuan secara umum bahwa sebagian besar Rasul mendapat pertolongan dari Allah di dunia secara langsung. Tapi sebagian kecil memang ada yang tidak. Kedua, pertolongan atas musuh diberikan baik yang bisa mereka saksikan atau tidak atau bahkan baru diberikan setelah para rasul wafat. Pertolongan dan kemenangan Nabi Muhammad misalnya, tidak serta merta didapat pada saat siksaan sedang berat-beratnya di Makkah, tapi setelah beliau berada di Madinah barulah pertolongan itu hadir.

Imam As Saadi mengatakan, “Setiap kali ada nabi yang diutus lantas dibunuh oleh kaumnya, atau ada orang-orang mukmin yang dibunuh, pasti setelah masa itu berlalu, Allah akan mengutus orang-orang mukmin yang menuntut balas atas darah mereka. (Tafsir Ibnu Katsier VII/151)

Jadi hendaklah keyakinan tetap harus tertanam, manakala terjadi kasus penghinaan terhadap Nabi pasti Allah akan menolong. Pertolongan Allah bisa bermacam rupanya, bisa jadi dalam bentuk semakin terhinanya orang-orang kafir atau justru semakin bertambah banyak orang-orang yang masuk Islam. Terhina karena tidak sedikit yang menilai bahwa perbuatan menghina suatu agama adalah perbuatan menjijikan dan bodoh. Penilaian-penilaian ini datang bukan hanya dari Islam saja, tapi dari berbagai kalangan. Sehingga jika kaum muslimin tetap berpikir jernih dan tidak terpancing membalas ejekan dengan ejekan, niscaya ini akan sangat menguntungkan bagi kaum muslimin. Karena dukungan simpati pasti akan terus datang.

Bagi nabi sendiri, tiadalah akan mengurangi kemuliaan beliau walau sebanyak apapun hinaan dan ejekan ditujukan kepada beliau. Beliau akan tetap masuk surga, dicintai Allah, aliran shalawat dan salam terus mengalir kepada beliau sehingga ragam hinaan di dunia hari ini tidak  sedikitpun akan mempengaruhi kemuliaan beliau di sisi Allah.

Ada catatan penting yang harus diambil hari ini, siapa sebenarnya pihak yang tercoreng mukanya saat Islam atau nabi Muhammad dihina sedemikian rupa? Tidak lain jawabannya adalah diri kita. Hinaan itu menunjukkan kelemahan ummat dan hilangnya wibawa ummat Islam di mata orang-orang kafir. Tanpa rasa gentar, mereka mengolok-ngolok junjungan kita, menghina teladan kita dan tertawa girang karena perbuatan mereka dilindungi kekuatan kufur. Benarlah siratan Rasulullah dalam sebuah haditsnya yang menggambarkan kondisi ummat beliau di akhir jaman bak makanan yang terhidang di atas meja, dicabik-cabik orang-orang yang merubunginya tanpa bisa sedikitpun mempertahankan diri. Laksana buih yang terombang-ambing di lautan disebabkan terkena penyakit cinta dunia dan takut mati (al Wahn).
 
Sebuah tantangan terpampang di depan mata dari musuh-musuh Islam, yang semestinya menyadarkan kaum muslimin agar segera bersatu menyambutnya. Musuh Islam sudah jelas, yaitu kebatilan dan kekufuran yang dilindungi oleh penguasa zalim. Memfokuskan perjuangan untuk menegakkan Islam, menyatukan langkah dalam dakwah dan jihad adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Rangkaian kasus pelecehan akan terus terjadi bila supremasi Islam tak dibangun. Apabila kita masih belum mampu bangkit, kondisinya akan tetap sama dengan hari ini. Kita hanya bisa sakit hati, memendam marah. Tidak ada aksi yang bisa mengobati luka hati kaum mukminin dan menghilangkan marah di hati mereka.

Oleh karenanya, mari rapatkan barisan untuk kembali meneladani Rasulullah sebagai cermin yang tak pernah retak  dalam acuan menghadirkan kembali kejayaan Islam yang pernah wujud dahulu. Karena di dalam diri nabi terdapat suri teladan yang patut dijadikan contoh. (QS. Al ahzab : 21). Semoga kita bisa. Aamiin. (ABU HAFIZH AL BUKHARI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar