Rabu, 12 Januari 2011

Mencintai Sejantan Ali

Mencintai Sejantan Ali

by Andri Al Maghriby on Monday, December 13, 2010 at 5:57pm


Ingatkah akan cerita ali dan Fatimah?

Aku,,, tak begitu hafal alur pasti cerita mereka, tapi sedikit tersamar, inti perjalanan mereka padu dalam sebuah ikatan pernikahan. Mungkin sedikit banyak kita bisa menemukan hikmah: keridhoan dan “kejantanan”.

Fatimah adalah putri Rasulullah saw. dan Ali adalah sepupunya. Usia mereka tak berbeda jauh, bisa dikatakan seumur, karib kecil.

Tak ada yang tahu bahwa ada rahasia yang selalu tersimpan dalam hati Ali pada hari-hari bujangnya. Rahasia itu adalah Fatimah, putri sang nabi yang sungguh mempesona. Ali tak paham apakah perasaan itu yang disebut dengan cinta, tapi apa pedulinya. Tak ada yang lebih harus ia utamakan selain cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, jadi tak perlu lah cinta itu ia pikirkan dalam-dalam.

Namun, apa yang terjadi ketika sesak tiba-tiba merangsek dalam hati Ali saat tahu bahwa abu Bakar melamar Fatimah. Laki-laki sahabat Rasulullah, yang dalam sabdanya, rasulullah berkata: jika seluruh amalan kaum muslim ditimbang dengan amalan Abu Bakar, maka timbangan itu akan tetap berat pada amal abu bakar. Ironi bagi Ali. Siapa dirinya? Seorang pemuda tanggung, miskin, dan berasal dari keluarga miskin. Mana mungkin ia sebanding
dengan sahabat setingkat Abu bakar. Ali berusaha menerima, Fathimah tentunya lebih pantas didampingi orang sehebat Abu bakar.

Namun siapa sangka, Rasulullah menolak lamaran Abu Bakar. Angin sejuk pun kembali masuk dalam ruang hati Ali. Ia kembali bersemangat mempersiapkan diri. Tapi sekali lagi ia harus bertemu dengan sesak. Kali ini Umar yang datang, melamar Fatimah. Umar… orang yang paling berani, gagah perkasa. Orang yang ketika akan berangkat hijrah, dengan berani naik ke atas ka’bah dan berkata: “Hari ini putra Al khathab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin anaknya menjadi yatim, istrinya menjadi janda, dan ibunya terus menerus berselubung duka, maka hadang lah Umar dibelakang bukit ini.”

Sekali lagi Ali sadar, siapa dirinya? Dibanding Umar yang lantang bersuara ketika akan berhijrah, ia hanya berani berhijrah kala malam datang dan bersembunyi di baling bayang-bayang saat siang menjelang. “Sungguh siapa aku? Tak sebanding dengan Umar”pikir Ali. Kembali Ali berusaha ridha dengan apa yang terjadi. Cinta tak harus memiliki bukan?

Namun, angin sejuk itu kembali Allah tiupkan pada ruang hati Ali. Lamaran Umar ditolak. Dua sahabat utama Rasulullah, yang selalu beliau sebutkan dalam perjalanan-perjalanan dakwah, beliau tolak. Sebenarnya siapa yang Rasul cari untuk dijadikan menantunya?

“mengapa engkau tak mencoba kawan?” kalimat teman-teman ansharnya itu membangunkan lamunan.

“mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

“Aku?” Tanya ali tak yakin. “Ya Engkau!”

“tapi aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa ku andalkan?”

“kami dibelakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu”

Ali pun menghadap sang nabi, maka dengan berani ia menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah, walaupun ia tahu secara ekonomi tak ada yang patut ia banggakan. Hanya ada satu set baju besi dan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap itu sungguh memalukan, atau meminta Fatimah menantikannya dibatas waktu hingga ia siap, itu terlalu kekanak-kanakan. Atau sambil mempersiapkan diri, terus menerus menguhubungi Fatimah dan memberikan janji-janji melenakan, itu lebih tak tahu diri.

Engkau pemuda sajati wahai Ali, begitu nuraninya mengingatkan. Maka jadilah Ali melamar Fatimah. Dan Rasulullah menerimanya. Ahlan wa sahlan ya Ali…

Itu cerita Ali. Emosi yang ia kenali sebagai cinta dapat ia kendalikan dalam bentuk keridhoan dan kejantanan. Ia tak buru-buru menghubungi Fatimah, meyakinkan putri Rasullah itu dengan seribu janji akan meminangnya suatu saat, tak juga memintanya menunggu di ujung waktu karena merasa belum siap. Cinta yang ia rasakan, terbungkus iman. Ia berusaha rela ketika banyak orang yang lebih hebat dari dirinya melamar Fatimah, tidak marah, tidak juga benci, hanya membandingkan siapa dirinya dibandingkan mereka. Dan akhirnya cinta itu diteruskan dengan bentuk kejantanan: melamar. Bukan pacaran atau bentuk yang lebih memalukan HTS-an.

Mencintailah sejantan Ali. Kelola cinta itu, karena cinta adalah emosi, ia seperti amarah, kesedihan, kesenangan, yang tetap bisa kita kendalikan, bukan diumbar dalam bentuk euphoria yang melenakan. Karena jodoh tak akan pergi kemana kawan. Allah telah menuliskannya di langit. Pena telah diangkat dan tinta telah kering. Ia tak akan pergi kemana, walaupun kita pergi kemana-mana. Ia akan tetap berada di sana sampai Allah memutuskan kita telah siap bertemu dengannya, maka bersabarlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar